
SERANGKAIAN aksi demonstrasi di berbagai daerah akhirnya mengerucut dalam apa yang disebut 17+8 tuntutan rakyat. DPR juga sudah menjawab tuntutan tersebut lewat 6 poin kesepakatan. Di antaranya, menghentikan pemberian tunjangan perumahan anggota DPR terhitung sejak 31 Agustus 2025. Kedua, moratorium kunjungan kerja ke luar negeri terhitung sejak 1 September 2025 kecuali menghadiri undangan kenegaraan. Ketiga, memangkas besaran tunjangan dan fasilitas anggota DPR. Ketua DPR Puan Maharani juga berjanji akan memimpin langsung reformasi tersebut.
Ada angin segar dari sikap tersebut. Akan tetapi, semua janji itu perlu dikawal lebih lanjut oleh publik. Sebab, ini tak hanya bicara soal kesadaran dan tanggung jawab moral-etis pribadi anggota parlemen, tapi juga terkait dengan diskursus berbagai kepentingan di internal DPR yang ikut mewarnai pelaksanaan tugas dan fungsinya.
INDOLENSI KOMITMEN
Tahun 1989 Robert Dahl pernah membuat sebuah pernyataan ‘positif’-nya bahwasanya elite mengetahui yang terbaik untuk masyarakat sekaligus memiliki keahlian untuk melaksanakan program politik (Dryzek, 2013). Dengan kata lain, elite, secara mikro politik, tahu apa yang dibutuhkan rakyat. Dahl menganggap good fight (niat baik)–dengan sendirinya–ada di diri politisi.
Namun, itu terjadi jika mereka memiliki kapabilitas dan integritas untuk bekerja serta didukung oleh sistem kerja yang sehat dan demokratis. Di luar itu, para elite rentan terjebak dalam sikap dan perilaku tuna-kritis dan taat buta terhadap berbagai kompromi kepentingan.
Sentral keretakannya jelas ada pada indolensi komitmen dan kesungguhan DPR sebagai perpanjangan suara rakyat di dalam menjaga reputasinya selaku wakil atau perpanjangan suara dan kepentingan rakyat. Maka, sensitivitas krisis terhadap gawe publik memang bukan hanya urusan intensional, tapi kolektif.
Dulu, misalnya, pernah ada usulan pemotongan setengah gaji DPR yang diinisiasi oleh Fraksi NasDem, PPP, dan PAN untuk membantu masyarakat dalam penanganan pagebluk covid-19. Tetapi hal tersebut oleh Senayan hanya disambut sepi. Ada ketua fraksi yang malah terang-terangan tak setuju usulan pemangkasan gaji anggota DPR (Media Indonesia, 31/3/2020).
Padahal usulan tersebut sebuah sikap humanistis (FA Hayek, Law, Legislation and Liberty,1976) dalam konteks empati dan bela rasa (compassion) dengan rakyat. Jadi, bukan soal jumlah kontribusi gajinya yang tak seberapa, tapi soal komitmen dan ikhtiar merawat prinsip moral-empati kepublikan sebagai roh yang mengikat rakyat dan wakilnya.
Ini menunjukkan visi populis kolektif anggota dewan perlu terus dibangun di tengah ‘rekalibrasi’ suara dan kepentingan rakyat yang makin deras. Meminjam perspektif klasik Gabriel Abcarian perihal ‘teori perwakilan’, sebagai politisi yang terpanggil mewakili suara dan kepentingan rakyat (trustee), DPR memang perlu mempertimbangkan subjek, situasi politik di luar dirinya dalam memutuskan sikap.
Pertimbangan tersebut dalam kerangka Abcarian sangat subtil, artinya untuk menjadikan seorang wakil rakyat, sosok politisi yang politico (mempertimbangkan keputusan dari banyak perspektif) atau menjadi seorang delegate (menyuarakan apa yang diinginkan atau diinstruksi oleh rakyat). Bukan sekadar partisan, yang ketika menduduki kursi kekuasaan, seketika itu pula suara rakyat perlahan-lahan ditinggalkan.
Aristoteles dalam bukunya, Politics, menegaskan bahwa empati adalah fondasi berpikir politisi dalam mempertimbangkan suatu keputusan agar status dan fungsinya mampu memberi kontribusi bagi kemaslahatan bersama (eudaimonia). Tanpanya, makna politisi dalam diri seorang wakil rakyat akan lenyap.
Sikap tersebutlah yang disebut magnanimity (dalam Annabel Lyon, The Golden Mean, 2009. Suatu upaya moral untuk menyatu dan terlibat dengan pergumulan masyarakat yang diwakilinya sebagai cerminan empati dan kerendahan hati politisi.
KOMUNIKASI POLITIK
Komitmen DPR mereformasi diri adalah sebuah pijakan awal untuk memperkuat kembali DPR selaku institusi yang dihormati rakyat dalam konteks demokrasi. Reformasi tidak sebatas personal, tetapi juga pada kelembagaan terkait dengan struktur, budaya, sistem, dan manajemen yang ada.
Karena itu, reformasi DPR harus dimulai dengan menjawab 17+8 tuntutan rakyat. Satunya kata dan perbuatan mesti tumbuh dalam upaya rekognisi para wakil rakyat dalam menjalankan fungsinya. Dengan begitu, penampilan eksistensial lembaga ini akan mendapat ruang legitimasi publik yang makin baik.
DPR harus mulai membangun apa yang oleh Harrod Laswell dan Stephen W Littlejohn sebut komunikasi politik yang deliberatif dengan rakyat. Komunikasi ekstensif tersebut penting untuk meleburkan logika dan pemahaman bersama rakyat-wakilnya yang kerap senjang selama ini. Setiap sikap dan agenda atau program mereka harus secara transparan dan real-time diketahui masyarakat lewat berbagai kanal dan teknologi komunikasi (media massa, media sosial, portal khusus).
Karena DPR adalah rumahnya rakyat sekaligus sebagai sahibulbait, maka sidang-sidang pembahasan hal-hal strategis yang dijalankan oleh dewan mesti terbuka diikuti rakyat. Semangatnya ialah politik inklusi agar dewan kita terbiasa dengan respons-kritik, gagasan yang bersumber dari rakyat. Ini menuntut kemampuan DPR dalam membangun kapasitas diskursus-analitis terhadap berbagai isu sentral masyarakat yang membutuhkan respons cepat dan dialog transformatif-populis.
Ini koheren dengan makna parlemen yang berasal dari kata ‘parle’ yang dalam bahasa Prancis berarti ‘berbicara’. Budaya berdiskusi anggota parlemen yang rasional, inspiratif, tidak menyinggung, sebaliknya menghargai rakyat, adalah prinsip utama.
Tak kalah pentingnya, harus ada komitmen DPR mentransformasi pola gagasan konvensional-naratif menjadi sesuatu yang konkret untuk diyakini rakyat secara adekuat. Misalnya, pencabutan tunjangan, moratorium kunjungan kerja ke luar negeri, atau pemberian sanksi tegas kepada anggota dewan yang bermasalah harus diikuti dengan realisasi konkret sebagai pegangan anual rakyat.
Kewajiban rakyat mengawal 17+8 tuntutan rakyat bukan hanya tentang menagih janji politik, tetapi juga untuk ikut mendukung kerja reformasi DPR agar tidak terdistorsi dalam perjalanan waktu kemudian karena kejenuhan orientasi dan disfungsionalitas sistem.
Oleh karena itu, pemenuhan tuntutan oleh DPR tadi harus menjadi sikap serupa di level eksekutif, yudikatif, hingga DPRD. Dengan demikian, aspirasi rakyat mendapatkan rekognisi daulatnya. Sementara itu, di saat yang sama, DPR kita semakin tajam dan amanah dalam mengelola mandat rakyat.
[OTOMOTIFKU]