Ini Tips Bagi Orangtua untuk Menangani Anak dengan Potensi Alergi Makanan

Ini Tips Bagi Orangtua untuk Menangani Anak dengan Potensi Alergi Makanan
Ilustrasi(Freepik)

DOKTER spesialis anak yang tergabung dalam Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr. Endah Citraresmi, Sp.A, Subsp.A.Im(K) membagikan tips bagi orangtua yang memiliki anak dengan potensi alergi makanan.

Menurut Endah, apabila anak mengalami gejala yang dicurigai diakibatkan oleh alergi makanan, ada baiknya orangtua menghentikan

pemberian makanan tersebut.

“Jadi, hentikan dulu bahan makanan terkait, dan kemudian lihat gejala yang ada. Apakah membaik dengan sendirinya? Kalau memang tidak membaik dan perlu bantuan tenaga kesehatan silahkan langsung segera ke IGD. karena kalau tidak ditangani mungkin anaknya menderita,” kata Endah, dikutip Kamis (18/9).

Pada anak yang menderita alergi makanan biasanya ada gejala penyakit yang timbul baik itu pada kondisi kulit, pencernaan, maupun pada saluran nafas.

Ada dua reaksi yang mungkin timbul yaitu reaksi cepat yang biasanya terjadi satu jam setelah paparan makanan dan reaksi lambat yang terjadi setelah lebih dari dua jam anak terpapar makanan.

Beberapa reaksi cepat dari alergi makanan yang timbul biasanya kulit kemerahan, gatal, biduran (urtikaria), bengkak pada bagian bibir atau kelopak mata (angioderma), muntah, nyeri perut, hingga anafilaksis.

Sementara reaksi tipe lambat dari alergi makanan yang timbul biasanya kulit kering disertai gatal-gatal dan kemerahan (dermatitis atopik), diare, BAB berdarah, muntah, nyeri perut dan biasanya semua ini dapat berlangsung dalam jangka waktu yang lama.

Endah menjelaskan apabila gejala-gejala yang mungkin timbul akibat alergi makanan pada anak disertai dengan kondisi lain seperti sesak

nafas, dehidrasi, dan penurunan kesadaran maka itu artinya anak perlu segera dibawa ke IGD.

“Selain itu, apabila anak terlihat sangat terganggu, gelisah, misalnya gatal-gatal sampai tidak bisa tidur itu harus ke IGD atau konsultasi langsung ke dokter,” ujarnya.

Dokter yang juga bagian dari Bidang Ilmiah Unit Kerja Koordinasi (UKK) Alergi Imunologi IDAI itu mengatakan apabila gejala yang ada dapat membaik maka orangtua dapat membuat catatan khusus atau food diary.

Ia mencontohkan apabila orangtua mencurigai anak mengalami diare setelah mengonsumsi susu sapi, orangtua dapat mencatat waktu maupun tanggal pemberian susu sapi tersebut. 

Selain itu, orangtua bisa mencatat berapa kali anak melakukan BAB dalam kondisi diare itu.

Apabila orangtua menghentikan konsumsi bahan makanan terkait dan terjadi perbaikan kondisi tubuh pada anak, hal itu juga perlu dicatat.

“Semua data tersebut harus dibawa dan dikonsultasikan ke dokter. Diskusi bersama dokter itu penting untuk menegakkan diagnosis karena tetap saja ada faktor kebetulan. Bisa saja ternyata anak tidak alergi makanan, justru ternyata gejalanya karena infeksi lain,” ungkap Endah.

Membahas penyakit alergi makanan, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) mencatat di 2020 secara global sekitar 220 juta orang di seluruh dunia memiliki alergi makanan, hal ini juga tidak terkecuali pada anak-anak yang merupakan kelompok rentan.

Dalam jurnal bertajuk Food allergy in children-the current status and the way forward, yang dirilis pada 2022, dijelaskan bahwa secara global 4% anak-anak di seluruh dunia mengalami alergi makanan. Prevalensi kasusnya terus meningkat dalam dua dekade terakhir.

Secara global ditemukan beberapa bahan pangan yang sering menimbulkan alergi makanan pada anak di antaranya susu sapi, telur, kacang-kacangan, makanan laut dengan cangkang seperti kepiting, udang, lobster, ikan, dan gandum.

Kondisi alergi makanan pada anak memberikan beberapa dampak signifikan di antaranya stres dan kecemasan, kualitas hidup yang menjadi buruk karena pembatasan pola makan, malnutrisi karena terbatasnya bahan makanan untuk dikonsumsi, dan mengancam jiwa apabila reaksi berat tidak ditangani dengan baik. (Ant/Z-1)

[OTOMOTIFKU]