
KOORDINATOR Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman mengkritisi praktik rangkap jabatan wakil menteri (wamen) yang juga menduduki posisi komisaris di badan usaha milik negara (BUMN).
Boyamin mengatakan bahwa praktik rangkap jabatan seperti itu tidak hanya menimbulkan konflik kepentingan, tetapi juga berpotensi menjadi akar praktik korupsi.
“Apapun bagi saya, rangkap jabatan itu pasti akan menimbulkan konflik kepentingan, jadi tidak boleh ada rangkap jabatan menteri dan wamen dengan dalih apapun. Dan konflik kepentingan itulah yang kemudian menjadi nyawanya korupsi,” kata Boyamin saat dikonfirmasi, Kamis (18/9).
MAKI mendesak lembaga penegak hukum khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk lebih tegas menyikapi dan mengkaji persoalan rangkap jabatan.
Menurutnya, praktik rangkap jabatan tidak hanya melanggar ketentuan perundang-undangan tetapi juga mencederai prinsip antikorupsi dari pejabat publik.
“KPK dan penegak hukum lainnya secara tegas harus memperingatkan pemerintah bahwa ini akan berdampak buruk karena mengurangi efektivitas kinerja pemerintah, serta membuat BUMN tidak produktif,” kata Boyamin.
Ia mencontohkan potensi benturan kepentingan bila seorang wakil menteri dalam negeri menjabat komisaris di bank daerah. Menurutnya, hal ini akan membuat kementerian, BUMN maupun BUMD tidak produktif.
“Komisaris itu adalah jabatan profesional mewakili pemegang saham. Tapi ketika nanti berbenturan, misalnya wakil menteri dalam negeri jadi komisaris bank daerah, sementara pengawasan bank daerah itu juga di bawah Kementerian Dalam Negeri. Nah, bagaimana? Itu akan terjadi konflik kepentingan,” ujarnya.
Boyamin menekankan, seorang wakil menteri seharusnya fokus penuh membantu menterinya di kementerian agar berbagai program pemerintah dapat berjalan lebih efektif.
“Wakil menteri harus tugas full untuk portofolio kementerian, membantu menterinya. Dengan jadi komisaris itu akan konflik kepentingan. Dan itu tidak baik untuk manajemen pemerintahan,” katanya.
Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) telah melarang rangkap jabatan, meskipun memberi waktu penyesuaian maksimal dua tahun.
“MK secara resmi sudah melarang rangkap jabatan meskipun diberi kesempatan penyesuaian waktu dua tahun. Tapi itu maksimal, jadi harusnya wamen yang rangkap jabatan harus lepas salah satu jabatannya, bukan justru Presiden melantik wamen baru yang memiliki jabatan komisaris,” kritiknya.
Ia menambahkan, praktik rangkap jabatan juga akan mencederai kepercayaan publik terhadap jalannya pemerintahan. “Praktik rangkap jabatan menimbulkan konflik kepentingan dan tidak memberikan contoh perilaku yang baik kepada masyarakat,” pungkasnya. (Dev/P-2)
[OTOMOTIFKU]