Hari Keadilan Ekologis Diharapkan tak Sekadar Seremonial

Hari Keadilan Ekologis Diharapkan tak Sekadar Seremonial
Musikus Nugie, Ketua Walhi NTT Umbu Wulang Tanaamah Paranggi, Direktur Eksekutif Walhi Zenzi Suhadi, Bupati Sumba Timur Yonathan Hani, Ketua DPD RI Sultan Bachtiar Najamudin, dan Bupati Sumba Barat Daya Ratu Wulla dalam peresmian Tuga Keadilan Ekologis d(Indriyani/MI)

 

HARI keadilan ekologis digagas dalam rangkaian Pekan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) ke-XIV yang digelar Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) di Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sabtu (20/9). Momentum tersebut diharapkan dapat menjadi titik balik dalam menentukan kebijakan yang lebih berkeadilan bagi masyarakat.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Zenzi Suhadi mengatakan peradaban dan alam Indonesia harus dipulihkan dari dampak model pembangunan eksploitatif. Ia menuturkan Hari Keadilan Ekologis tidak mengikuti hari-hari yang hanya jadi peringatan seremonial. Namun, untuk memperkuat konsolidasi gerakan lingkungan hidup serta membangun aliansi lintas sektor dan lintas negara untuk menghentikan perusakan lingkungan dan penindasan terhadap rakyat. 

“Momentum ini bisa jadi titik balik bersamaan dengan pendeklarasian Hari Keadilan Ekologis. Kita membagun sesuatu yang akan diikuti,” ujar Zenzi di Lapangan Sandalwood, Sabtu (21/9). Agenda tersebut juga merupakan puncak Pekan Raya Lingkungan Hidup Ke-14 yang digelar Wahana Walhi bersama lebih dari 800 aktivis lingkungan dari seluruh Indonesia serta sejumlah perwakilan dunia. Turut hadir Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Sultan Bachtiar Najamudin, Wakil Bupati Sumba Timur Yonathan Hani, Musikus Nugie, dan Bupati Sumba Barat Daya Ratu Wulla.

Adapun Pulau Sumba dipilih sebagai lokasi untuk mendeklarasikan Hari Keadilan Ekologi karena pulau tersebut mewakili tantangan masyarakat yang hidup di pulau kecil dan rentan terhadap perubahan iklim. Di sisi lain, masyarakat di Pulau Sumba mampu mempertahankan 7 sendi peradaban nusantara antara lain sistem pangan, tenun, dan arsitektur rumah tradisional yang masih menjaga kearifan lokal.

Ketua DPD RI Najamudin mengatakan krisis iklim semakin nyata dirasakan. Hal itu, kata dia, ditandai dengan curah hujan terbatas dengan intensitas tidak menentu sehingga petani kesulitan memprediksi waktu tanam. Ia berharap dengan diinisiasinya Hari Keadilan Ekologis, pemerintah, masyarakat sipil, aktivis, dan pihak terkait dapat bersama-sama menyusun langkah dalam pengurangan risiko perubahan iklim. 

“Ini bukan hanya peringatan melainkan pengingat bahwa bumi rumah kita dan generasi mendatang berhak atas bumi ini. Masyarakat adat jembatan akan masa depan dalam menjaga alam,” ucap dia. (H-4)

[OTOMOTIFKU]