
Peneliti Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Haykal menilai banyak persoalan penyelenggaraan Pemilu 2024 berakar dari kebijakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tidak konsisten dan kerap bertentangan dengan prinsip transparansi maupun ketentuan undang-undang.
Menurutnya, masalah besar muncul sejak tahap awal, terutama dalam penyusunan Peraturan KPU (PKPU). Ia mencontohkan aturan soal keterwakilan 30% perempuan dalam pencalonan legislatif dan syarat pencalonan mantan narapidana.
Keduanya sempat tidak bermasalah dalam rancangan, tetapi berubah ketika PKPU diundangkan. “Entah kenapa dan entah dari mana kemudian pada saat ditetapkan atau pada saat diundangkan sebagai PKPU yang berlaku, ada pasal-pasal atau ketentuan-ketentuan yang kemudian tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang kita anut,” ujar Haykal saat menyampaikan rilis pernyataan sikap penataan ulang kelembagaan pemilu #ResetKPU secara daring, Minggu (21/9).
Selain itu, ia menyoroti kegagalan KPU menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 80 Tahun 2022. Putusan tersebut memerintahkan penataan ulang alokasi kursi dan daerah pemilihan, namun tidak ditindaklanjuti meski kajian teknis sudah dibuat. Hal ini, menurutnya, mengganggu integritas Pemilu 2024 sejak awal.
Haykal juga mengkritik mundurnya keterbukaan informasi, khususnya soal dana kampanye. Jika pada Pemilu 2014 dan 2019 publik masih bisa mengakses detail sumbangan, maka pada 2024 akses itu ditutup. “Informasi-informasi yang selama ini dibuka itu kemudian ditutup oleh KPU. Hal ini tentu saja menciptakan kesulitan bagi masyarakat untuk mengawasi proses kampanye yang sangat vital,” jelasnya.
Penutupan informasi itu dinilai berkontribusi terhadap maraknya pelanggaran yang terbukti dalam sengketa hasil pemilu di MK, termasuk praktik politik uang dan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
Menurut Haykal, berbagai masalah ini memperlihatkan bahwa pengambilan keputusan di tubuh KPU sarat persoalan, baik dalam penyusunan PKPU maupun dalam penerapan prinsip keterbukaan publik. Keputusan Nomor 731 yang memicu polemik pascapemilu menjadi bukti lemahnya pertimbangan aspek kepentingan publik dalam kebijakan KPU.
Ia menegaskan, perlu ada evaluasi mendalam terhadap proses pengambilan keputusan di KPU. “Sumber permasalahan utama dari banyaknya permasalahan yang terjadi dalam proses penyelenggaraan pemilu kita itu adalah berkaitan dengan pengambilan kebijakan yang bermasalah dan juga tidak sesuai dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu,” tutur Haykal. (Mir/P-1)
[OTOMOTIFKU]