Puskesmas Jadi Panglima

Puskesmas Jadi Panglima
Hamim Pou Pengamat Kebijakan dan Inovasi, mantan kepala daerah, Nusa Strategika Institute(Dok.Pribadi)

PAGI itu, di sebuah kelurahan di pinggir kota, seorang ibu muda menuntun anaknya yang pucat ke Puskesmas. Anak itu mengeluh perutnya melilit, matanya sayu, dan berat badannya tak pernah beranjak seperti teman-teman sebaya. Si ibu menyodorkan botol air minum isi ulang yang disimpan rapat; katanya, air ledeng di rumah sering keruh.

Petugas menerima mereka dengan ramah, lalu melakukan pemeriksaan sederhana. Tidak lama, lembar penyuluhan pun berpindah tangan: cacingan, diare berulang, dan anjuran perilaku hidup bersih yang terdengar biasa, tetapi di rumah mereka, air bersih dan sanitasi yang baik justru adalah barang mewah.

Di luar, seorang bapak menunggu giliran untuk menebus obat hipertensi. Ia bercerita pendek: “Kalau musim hujan, selokan cepat meluap. Anak-anak sering sakit.” Di ruang tunggu itulah, saya kembali diingatkan bahwa kesehatan selalu berangkat dari hulu—air, sanitasi, lingkungan, dan kebiasaan kecil di rumah—sebelum ia tiba di kamar rawat kelas berapa pun.

Tulisan Iqbal Mochtar di Media Indonesia, Senin 22 September 2025, mengingatkan kita pada paradoks menyakitkan: di satu sisi, kita merayakan fasilitas berteknologi tinggi dan rumah sakit megah; di sisi lain, anak-anak masih jatuh sakit bahkan wafat karena penyakit klasik seperti cacingan. Saya bersyukur tulisan tersebut mengusik kenyamanan publik. Ia memantik sesuatu yang sudah lama saya rasakan sejak memimpin daerah: bahwa indikator keberhasilan pembangunan kesehatan bukan seberapa kinclong mesin yang dibeli, melainkan seberapa jarang keluarga kecil di kampung harus bolak-balik ke fasilitas kesehatan karena masalah yang sebenarnya bisa dicegah.

Data terbaru meneguhkan intuisi itu. Menurut BPS, akses rumah tangga terhadap air minum layak pada 2024 telah mencapai sekitar 92,64% secara nasional; sebuah kemajuan, namun sekaligus pengingat bahwa masih ada jutaan warga yang belum terlindungi. Pada waktu yang sama, rumah tangga yang memiliki akses terhadap sanitasi layak berada di kisaran 83,60% pada 2024; praktik buang air besar sembarangan (BABS) memang turun, tetapi masih sekitar 3,20% rumah tangga melakukannya—angka kecil dalam persentase, namun besar dampaknya bagi kesehatan lingkungan setempat. Semua angka ini mempertegas jurang kota–desa dan antardaerah: ada provinsi yang hampir mencapai universal, ada pula wilayah yang tertinggal jauh.

Di sisi keselamatan ibu, estimasi kelompok PBB (MMEIG) menempatkan rasio kematian ibu Indonesia sekitar 173 per 100.000 kelahiran hidup (2020, model); estimasi nasional berbasis Sensus Penduduk 2020 di angka 189. Kita masih berjalan, tetapi target SDGs di bawah 70 mengingatkan bahwa laju kita harus dipercepat.

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sendiri sudah menutup hampir seluruh penduduk—sekitar 98–99% per Agustus 2025—sebuah capaian besar yang mesti kita jaga. Namun, aliran belanjanya masih lebih ramah pada pengobatan. Laporan pemantauan 2024 menunjukkan porsi promotif–preventif baru sekitar satu koma sekian persen dari total beban jaminan, sementara klaim kuratif tingkat lanjutan mendominasi.

Ketika uang negara lebih banyak mengalir saat orang sudah sakit, pesan kebijakannya tersirat: “Datanglah ketika terlambat.” Kita perlu membalik pesan itu menjadi “Datanglah sebelum sakit”—dan itu berarti mengubah cara kita membayar dan mengukur keberhasilan.

Di lapangan, kita punya mesin perubahan yang tak selalu difoto: Puskesmas. Indonesia memiliki lebih dari sepuluh ribu Puskesmas hingga pelosok; jejaring sosial–kesehatan yang tak tertandingi. Di sini bidan mengenal ibu hamil satu per satu, sanitarian paham lorong-lorong rawan genangan, perawat berkeliling sekolah memantau kesehatan anak. Karena itu Puskesmas harus menjadi panglima pencegahan: command center kesehatan masyarakat yang memimpin edukasi, pemantauan perilaku, penataan lingkungan, skrining dini, dan rujuk-balik yang hidup.

Paradigma nasional sudah diarahkan melalui enam pilar Transformasi Kesehatan—kerangka yang benar—tetapi pilar layanan primer dan pembiayaan perlu “diarusutamakan” agar pencegahan benar-benar menjadi mesin utama.

Di Bone Bolango, pengalaman saya sederhana namun mengubah cara pandang. Kami mendorong Puskesmas berstatus BLUD untuk mengalokasikan pendapatan layanan menjadi operasi luar gedung: kelas ibu dan remaja putri, inspeksi sanitasi rumah tangga, verifikasi depot air minum isi ulang, dan kunjungan sekolah untuk deworming serta edukasi cuci tangan. Pendekatan ini membuat lintasan hulu–hilir menjadi satu paket: skrining dini di sekolah dan posyandu, rujukan cepat ke RSUD bila perlu, lalu rujuk-balik untuk kontrol rutin di keluarga. Kami belajar bahwa keberhasilan bukan soal acara seremonial, melainkan konsistensi kunjungan, catatan risiko yang rapi, dan kehadiran tenaga kesehatan di tempat yang benar pada waktu yang tepat.

Isu cacingan—yang disorot dalam tulisan Iqbal—adalah contoh kuat mengapa hulu menentukan nasib hilir. Di wilayah dengan prevalensi sedang–tinggi, pedoman POPM menganjurkan pemberian obat cacing massal berkala, bahkan dua kali setahun, disertai perbaikan air dan sanitasi. Itu pekerjaan lintas sektor yang harus dipimpin dari Puskesmas, dieksekusi desa/kelurahan, dan dijaga kualitasnya oleh dinas teknis serta dunia pendidikan. Tanpa air minum aman dan sanitasi aman, ulang-alik anak ke Puskesmas akan terus terjadi, dan RSUD akan terus mengobati konsekuensi yang sebenarnya bisa dicegah di rumah dan sekolah.

Apa artinya semua ini bagi arsitektur kebijakan? Pertama, pagari belanja promotif–preventif di lini Puskesmas melalui BOK/DAK Nonfisik dan skema JKN berbasis kinerja; jangan sekadar menganjurkan, tetapkan ambang minimal agar pos ini tidak diutak-atik selera proyek tahunan. Kunci sebagian kapitasinya untuk operasi lapangan: kelas ibu dan remaja putri, inspeksi sanitasi rumah tangga, standardisasi depot air minum isi ulang, serta kontrol rutin penyakit kronis berbasis keluarga.

Kedua, ubah indikator keberhasilan Puskesmas agar benar-benar berorientasi hulu: cakupan air dan sanitasi aman di wilayah kerja, skrining TB laten, cakupan kontrol hipertensi/diabetes, cakupan skrining kanker serviks berbasis IVA/DNA-HPV, dan capaian POPM kecacingan—bukan semata jumlah kunjungan.

Ketiga, beri fleksibilitas manajerial yang nyata bagi Puskesmas (terutama BLUD) untuk mengonversi sebagian pendapatan menjadi operasi luar gedung yang lincah, terukur, dan akuntabel. Keempat, restrukturisasi peran RSUD dari gedung menjadi gerakan. Keunggulan RSUD tidak selalu berarti mesin termewah; keunggulan bisa hadir dari protokol yang dipatuhi, jejaring rujukan dua arah yang hidup, dan tim yang bertahan di daerah. RSUD dapat memilih unggulan berbasis beban penyakit—TB–DM, onkologi ginekologi berbasis skrining, kardiometabolik, stroke—dan memastikan jalur layanan yang utuh: skrining di Puskesmas, konfirmasi dan tata laksana di RSUD, rujuk-balik kontrol di komunitas.

Dengan begitu, belanja alat menjadi bermakna karena mengikat hasil, bukan sekadar menambah koleksi. Kelima, investasikan serius pada manusia. Pemerataan dokter spesialis perlu kontrak pendidikan berbasis kebutuhan wilayah melalui skema ikatan dinas yang adil, peluang karier, fasilitas riset sederhana, dan dukungan keluarga.

Tanpa ini, semua rancangan rontok. Kita sedang berlomba dengan waktu: setiap tahun yang kita tunda adalah jam belajar anak yang hilang, pendapatan keluarga yang merosot, dan anggaran kesehatan yang membengkak untuk kuratif yang seharusnya bisa dihindari.

Pada akhirnya, semuanya kembali pada cara kita memaknai kemewahan. Apakah kemewahan itu lobi rumah sakit yang berkilau dan mesin berharga miliaran, atau ibu yang tidak perlu lagi memilih antara membeli air galon dan obat untuk anaknya? Saya memilih yang kedua. Di situlah martabat kebijakan diuji: apakah ia sanggup membuat hal-hal paling mendasar menjadi mudah bagi yang paling rentan.

Mari kita jawab ajakan Iqbal Mochtar dengan tindakan yang setara keberanian: dorong pencegahan sebagai arus utama, arsiteki pembiayaan yang berpihak pada hulu, jadikan Puskesmas sebagai panglima gerakan, dan minta RSUD berpihak menjadi unggulan yang relevan—bukan monumen.

Sore itu, anak kecil tadi pulang dari Puskesmas sambil memegang buku saku cara cuci tangan dan jadwal minum obat. Petugas mengantar kader untuk meninjau sumber air dan jamban, memberi saran sederhana yang bisa dilakukan keluarga dan RT setempat. Tidak ada peresmian bangunan, tidak ada pita yang dipotong. Hanya percakapan, kunjungan, dan tindak lanjut. Namun dari hal-hal yang tampak sepele itulah, angka sakit berkurang, jam belajar pulih, dan senyum kembali merekah. Jika kebijakan berorientasi hulu kita jalankan dengan tekun, esok pagi anak itu berangkat sekolah tanpa melilit perut; ibunya bisa menabung sedikit; dan Puskesmas menjadi tempat kita merayakan kesehatan yang sesungguhnya: bukan gedung yang memukau, melainkan gerakan yang menyelamatkan.

Rujukan Terpilih

• BPS – Indikator Perumahan dan Kesehatan Lingkungan 2024 (Susenas Maret 2022–2024), rilis 31 Desember 2024.

• BPS – Tabel: Akses Sumber Air Minum Layak menurut Provinsi (2024).

• Goodstats.id – ‘Akses Air Minum Layak RI 2024: 92,64%’ (4 Desember 2024) – merujuk BPS.

• Katadata/DataBoks – ‘Akses Sanitasi Layak 2024: 83,60%’ – merujuk publikasi BPS 2024.

• BPS – Tabel: Akses Sanitasi Layak menurut Provinsi/kuintil pengeluaran (2024).

• Goodstats.id – ‘BABS Terbuka Turun ke 3,20% (2024)’ – merujuk Susenas BPS.

• BPJS/Indonesia.go.id – Kepesertaan JKN mencapai ~98,65% (1 Agustus 2025).

• MMEIG (WHO–UNICEF–UNFPA–World Bank–UNDESA) – ‘Trends in Maternal Mortality’ (rilis 11 Maret 2025); UNFPA–BPS ‘Mortalitas (SP2020)’. (H-4)

 

[OTOMOTIFKU]