Pemerintah Diminta Fokus Berantas Rokok Ilegal

Pemerintah Diminta Fokus Berantas Rokok Ilegal
Pemberantasan rokok ilegal di Jawa Tengah.(Antara)

INDUSTRI tembakau kembali menjadi sorotan publik setelah pemerintah memutuskan untuk tidak menaikkan pajak pada tahun 2026. Keputusan itu dipandang sebagai sinyal positif oleh kalangan pekerja dan anggota DPR, yang menilai langkah tersebut dapat meredakan tekanan terhadap industri. Namun, mereka menekankan bahwa kebijakan cukai hasil tembakau (CHT) juga harus mendapat perhatian serius agar mampu menjaga keberlangsungan tenaga kerja sekaligus menekan peredaran rokok ilegal yang semakin marak.

Pimpinan Daerah Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman (FSP RTMM) Jawa Timur, Purnomo, menyambut baik keputusan pemerintah menahan kenaikan pajak. 

“Kami melihat kebijakan tidak naiknya pajak di 2026 sebagai bentuk respons positif dari pemerintah setelah mendengar suara dari rakyat. Aksi di 107 titik kemarin jelas menunjukkan keresahan rakyat kecil, termasuk pekerja dan petani,” ujarnya dilansir dari keterangan resmi, Senin (22/9). 

Ia menegaskan bahwa konsistensi kebijakan juga harus diterapkan pada CHT. 

“Menurut kami, moratorium (penundaan kenaikan) cukai rokok selama tiga tahun ke depan adalah langkah paling realistis dan adil untuk situasi sekarang. Dengan moratorium, ada kepastian untuk pekerja bisa tetap bekerja dan industri bisa menjaga keberlangsungan,” jelasnya.

Purnomo menambahkan bahwa moratorium bukanlah bentuk kelonggaran bagi industri, melainkan perlindungan terhadap jutaan keluarga yang menggantungkan hidup pada sektor itu. 

“Kebijakan ini bukan soal memberi ‘keringanan’ pada industri tembakau, tapi soal melindungi jutaan keluarga yang menggantungkan hidup pada sektor ini,” tegasnya.

Dari sisi legislatif, Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Harris Turino, turut menyoroti kondisi sulit yang dihadapi pelaku usaha di industri tembakau. Ia mengingatkan bahwa kenaikan tarif CHT yang agresif dapat memukul industri, terutama pabrik-pabrik yang kini tengah berjuang mempertahankan operasional.

“Paling tidak kan kelihatan pabrik-pabrik rokok besar kesulitan kalau terjadi kenaikan cukai di tahun depan, apalagi kalau kenaikannya sifatnya adalah agresif,” ujar Harris dalam Rapat Kerja dengan Kementerian Keuangan.

Menurutnya, bahkan kenaikan sebesar 10% saja sudah sangat memberatkan. “Sehingga kalau dinaikkan 10% berarti dari Rp1.760 (harga rokok per batang plus cukai) menjadi Rp840 tambahannya, enggak ada lagi ruang bagi perusahaan-perusahaan untuk sekedar menutup biaya produksinya,” jelasnya.

Harris menegaskan bahwa Komisi XI berharap pemerintah menahan kenaikan tarif CHT, dan lebih fokus pada pemberantasan rokok ilegal. “Caranya bagaimana? Yang jelas seperti teman-teman katakan pemberantasan rokok ilegal, kalau ini bisa diberantas pasti kenaikannya (penerimaan cukai) luar biasa, Pak,” imbuhnya.

Di tengah dorongan dari banyak pihak agar pemerintah menahan kenaikan tarif CHT pada periode 2026-2029, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menilai struktur tarif cukai rokok saat ini sudah terlalu memberatkan. Menurutnya, beban tarif yang tinggi telah memengaruhi kinerja industri tembakau sekaligus ekosistem yang menopangnya. Kondisi tersebut juga berdampak pada kontribusi cukai terhadap penerimaan negara.

“Ada cara mengambil kebijakan yang agak aneh untuk saya. Saya tanya kan, cukai rokok gimana? Sekarang berapa? Rata-rata 57%, tinggi amat, banyak banget,” kata Purbaya.

Desakan terhadap moratorium kenaikan cukai tidak hanya mencerminkan kepentingan industri, tetapi juga menyangkut keberlangsungan jutaan tenaga kerja yang bergantung pada sektor industri tembakau. Industri ini menyerap sekitar 6 juta tenaga kerja, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, kebijakan fiskal ke depan diharapkan mampu menjaga keseimbangan antara penerimaan negara dan perlindungan terhadap sektor padat karya. (E-4)

[OTOMOTIFKU]