
UNIVERSITAS Airlangga (UNAIR) menegaskan pentingnya perlindungan terhadap sektor padat karya, termasuk Industri Hasil Tembakau (IHT), sebagai bagian dari upaya mendukung target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8% yang dicanangkan Presiden Republik Indonesia.
Komitmen ini disampaikan dalam diskusi publik bertema “Dampak Ekonomi dan Sosial Industri Padat Karya di Jawa Timur” yang digelar di Surabaya. Diskusi multi-pihak ini dihadiri oleh perwakilan industri, akademisi, dan pemerintah termasuk Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Pemerintah Kabupaten Bojonegoro, dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur.
Diskusi ini merupakan tindak lanjut dari riset UNAIR tahun 2022 yang mengungkapkan dampak nyata keberadaan pabrik Sigaret Kretek Tangan (SKT) terhadap masyarakat sekitar. Sebanyak 76,9% warga di sekitar pabrik SKT mengaku memperoleh manfaat langsung, mulai dari peluang kerja hingga peningkatan pendapatan. Aktivitas ekonomi yang ditimbulkan juga mendorong pertumbuhan 94,7% usaha lokal seperti warung makanan dan minuman, layanan transportasi, dan toko kelontong.
Lebih jauh, studi tersebut mencatat efek ekonomi berganda dari pabrik SKT mencapai 3,8 kali lipat. Artinya, setiap Rp1.000 yang dihasilkan mampu menciptakan perputaran ekonomi sebesar Rp3.800 di masyarakat.
Dalam diskusi tersebut, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNAIR, Prof. Badri Munir Sukoco, menyoroti peran strategis SKT dalam menopang ekonomi daerah dan menyerap tenaga kerja dalam jumlah signifikan. Pernyataan ini sejalan dengan studi UNAIR pada tahun 2024 di Blitar dan Bojonegoro yang menunjukkan bahwa 97% pekerja mengakui kondisi ekonomi membaik setelah bekerja di SKT, termasuk untuk membiayai pendidikan anggota keluarga ke tingkat yang lebih tinggi.
Data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Timur mencatat terdapat 1.352 unit IHT di provinsi ini, dengan penyerapan tenaga kerja mencapai 387.000 orang di sektor hulu dan 90.000 orang di sektor hilir.
Prof. Badri juga menambahkan pentingnya peran IHT bagi ekonomi nasional “IHT memiliki peran signifikan dalam pendapatan negara melalui cukai hasil tembakau (CHT), secara historis lebih dari 90% penerimaan cukai didapatkan dari CHT dan 10% APBN penerimaan negara didapatkan dari CHT”.
Mengutip pernyataan Menteri Keuangan, Bapak Purbaya Yudhi Sadewa, Prof Badri juga mendukung gagasan pengkajian ulang kebijakan CHT yang saat ini dinilai sudah sangat membebankan industri legal.
“Menteri Keuangan kemarin menyatakan apakah IHT mau dibiarkan mati pelan-pelan atau seperti apa? Pak Menteri sudah memberi statement bahwa 57% beban cukai itu sudah seperti Firaun karena terlalu tinggi dan perlu dikaji ulang,” ungkapnya dilansir dari keterangan resmi, Senin (22/9).
Ketua Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman – Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM SPSI) Jawa Timur, Purnomo, turut menekankan pentingnya perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan pekerja di sektor SKT.
Ia menyoroti urgensi dalam penyusunan kebijakan cukai hasil tembakau (CHT) yang mempertimbangkan dampak pada penyerapan tenaga kerja. “Jangan dinaikkan cukai rokok untuk tiga tahun ke depan karena kalau naik terus bagaimana nasib buruh? Cukai dan pajak sudah terlalu tinggi, pemerintah perlu menyusun kebijakan cukai yang melindungi sawah ladang para buruh dan masyarakat kecil, apalagi tingkat pengangguran di Indonesia juga tinggi” ujar Purnomo.
Dukungan terhadap SKT sebagai industri yang berkontribusi nyata dalam pertumbuhan ekonomi daerah juga datang dari Sekretaris Daerah Kabupaten Bojonegoro, Bapak Kusnandaka Tjatur Prasetija yang hadir dalam diskusi selaku perwakilan Bupati Bojonegoro, Setyo Wahono.
“Bojonegoro merupakan sentra tembakau di Jawa Timur. Terdapat 37 pabrik rokok yang menyerap 17.000 tenaga kerja, menggerakkan UMKM ekonomi lokal, dan juga berkontribusi bagi pendapatan daerah karena kami juga mendapatkan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT),” ujarnya.
Pernyataan ini sejalan dengan temuan riset UNAIR tahun 2024 di Bojonegoro, yang mengungkap bahwa 68% responden dari masyarakat sekitar pabrik menyatakan keberadaan SKT berdampak besar terhadap keberhasilan usaha mereka. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) seperti warung makan, toko kelontong, dan jasa lainnya mengalami peningkatan omzet dan jumlah pelanggan berkat aktivitas pabrik.
Sejalan dengan pembicara lain, Bapak Kusnandaka juga menyampaikan kekhawatirannya terkait tingginya beban cukai dan pajak rokok yang berdampak bagi penurunan kinerja IHT di Bojonegoro serta pertumbuhan industri ilegal. “Dengan bertambahnya beban cukai dan pajak, ternyata di masyarakat itu berdampak ke menurunnya tembakau di Bojonegoro. Namun perlu kita akui bahwa ada pelaku yang tidak terbebani oleh pajak dan cukai (red: pelaku rokok ilegal) dan perlu ditertibkan” pungkasnya.
Diskusi publik ini menjadi momentum penting untuk menyuarakan urgensi perlindungan terhadap sektor SKT sebagai bagian dari strategi pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Dengan kontribusinya yang nyata terhadap penyerapan tenaga kerja dan penguatan ekonomi lokal, SKT layak mendapat perhatian lebih dalam perumusan kebijakan fiskal nasional.
Sejalan dengan studi UNAIR tahun 2022 dan 2024 yang mengungkap peran penting SKT dalam memberikan peluang, meningkatkan kesejahteraan sosial, dan mendorong perputaran ekonomi lokal, UNAIR berharap hasil diskusi ini dapat menjadi masukan strategis bagi pemerintah dalam menjaga keberlangsungan sektor padat karya yang telah terbukti berdampak luas bagi masyarakat.
Dari FGD multi pihak ini dapat disimpulkan bahwa peran IHT di Jawa Timur sangat signifikan baik terhadap PDRB, penyerapan tenaga kerja dari hulu ke hilir khususnya pada segmen SKT, serta kontribusi pada perekonomian daerah melalui DBHCHT. Di tingkat nasional, IHT juga memiliki kontribusi penting terhadap pendapatan negara melalui cukai dan pajak. Oleh karena itu, diperlukan perumusan kebijakan CHT yang berkeadilan untuk melindungi sektor padat karya dan penegakan hukum terhadap rokok ilegal untuk optimalisasi pendapatan negara. (H-2)
[OTOMOTIFKU]