KPPOD Perda KTR Diminta Kalkulasi Dampak Ekonomi

KPPOD: Perda KTR Diminta Kalkulasi Dampak Ekonomi
Warga beraktivitas di dekat papan informasi larangan merokok di kawasan Blok M, Jakarta.(MI/Usman Iskandar)

Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) merespons proses pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang KTR yang saat ini tengah digodok oleh DPRD DKI Jakarta. 

Analis Kebijakan KPPOD Eduardo Edwin Ramda menyatakan bahwa pembahasan Ranperda sudah memasuki pasal-pasal penting, termasuk soal sanksi, namun banyak masukan dari dunia usaha tampaknya diabaikan. 

“Tidak ada tanda tanda masukan terkait pasal bermasalah akan ditakedown, padahal pasal ini akan berdampak pada perekonomian daerah. Kalau mau Jakarta Kota Global, buat siapa? Kalau kebijakan ini eksesif dan menekan perekonomian, tentu visi kota global tidak akan terwujud akibat sentimen negatif terhadap ekosistem investasi,” ujarnya dalam diskusi publik bertajuk Menyeimbangkan Kesehatan dan Ekonomi: Update Ranperda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) DKI Jakarta, di kantor Apindo, Jakarta Selatan, hari ini.

Eduardo memperingatkan bahwa ada potensi efek sistemik dari kebijakan KTR seperti gelombang PHK dan penurunan omzet usaha, terutama karena pengaturan yang terlalu kompleks dan tidak realistis. 

“Kajian KPPOD pada tahun 2019 menunjukkan bahwa pengaturan yang terlalu ketat justru membuat tingkat kepatuhannya rendah, dan tidak menyentuh akar persoalan konsumsi rokok,” bebernya. 

Dari sisi hukum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Ali Ridho menggarisbawahi bahwa Ranperda ini mengandung banyak kelemahan. 

“Naskah akademik tidak sinkron, banyak aturan muncul tanpa dasar yang jelas, termasuk larangan iklan dan radius penjualan. Jika disahkan dalam kondisi seperti ini, sangat mungkin akan dibatalkan Mahkamah Agung karena bertentangan dengan UU di atasnya,” ujarnya. 

Ia juga mengingatkan bahwa UU 17/2023 tidak memberikan dasar hukum untuk sejumlah sanksi administratif yang dirancang dalam Ranperda, sehingga pembahasan ini sebaiknya menunggu arahan dari pusat.

Sementara itu, Asraf Razak dari Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) menyatakan bahwa rokok adalah produk legal dan selama ini menjadi bagian dari hajat hidup masyarakat. 

“Kami berharap pembuatan kebijakan mempertimbangkan masukan dari dunia usaha. Kami punya hak untuk didengar. Jangan sampai regulasi ini membuat perdagangan rokok seolah menjadi aktivitas ilegal,” tegasnya.

Arini dari PHRI DKI Jakarta, menambahkan bahwa pelaku usaha perhotelan juga terdampak oleh regulasi yang dinilai minim sosialisasi dan pengawasan. 

“Permintaan kamar khusus merokok dari konsumen, termasuk dari kalangan pejabat, masih tinggi. Jika aturan baru ini diterapkan, akan menambah beban investasi dan operasional bagi pelaku usaha,” ungkapnya. 

Ia menyarankan agar pemerintah memperkuat monitoring dan evaluasi terhadap regulasi yang lama sebelum membuat aturan baru yang tidak perlu.

Menanggapi berbagai pandangan tersebut, Intan Kusumawati dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta menjelaskan bahwa saat ini proses pembahasan Ranperda KTR telah berada di tangan legislatif. 

“Kami ingin semua pihak sama-sama percaya bahwa legislatif dan eksekutif ingin memberikan yang terbaik untuk seluruh warga Jakarta. Kesehatan adalah syarat untuk ekonomi yang produktif dan berkelanjutan,” pungkasnya. (Far/P-1)

[OTOMOTIFKU]