
GURU Besar Fakultas Pertanian IPB University, Prof Baba Barus, menegaskan perlunya perlindungan lahan sawah sebagai fondasi ketahanan pangan Indonesia.
Saat ini, ia mencatat ada 3 juta hektare sawah di Indonesia yang belum masuk dalam kategori lahan yang dilindungi secara formal.
Prof Baba Barus menekankan bahwa laju konversi lahan yang terus terjadi harus ditekan melalui kebijakan yang tegas, konsisten, dan berbasis pada tata ruang.
“Indonesia memiliki sekitar 7,3 juta hektare sawah. Secara teori, jumlah ini cukup. Akan tetapi, dalam kenyataannya distribusi dan pemanfaatannya tidak merata,” Prof Baba dalam paparannya dalam diskusi daring yang digelar Forum Mahasiswa Pascasarjana IPB University.
“Hasil perhitungan cepat kami menunjukkan 23 provinsi mengalami defisit, sementara hanya 14 provinsi yang surplus,” ungkapnya.
Ia menambahkan, persoalan pangan tidak hanya soal ketersediaan, tetapi juga akses, distribusi, hingga daya beli masyarakat.
“Kalau kita bicara angka global, Indonesia seakan tidak kekurangan beras. Namun, isu distribusi dan kemampuan membeli menjadi tantangan lain,” ujarnya.
Lebih lanjut, Prof Baba menjelaskan bahwa konversi sawah di Indonesia diperkirakan mencapai 100–150 ribu hektare per tahun. Kebijakan perlindungan lahan sebenarnya sudah ada sejak 1990-an, termasuk Undang-Undang Nomor 41 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).
Meski demikian, implementasi di daerah masih lemah karena banyak pemerintah kabupaten belum serius memasukkan perlindungan sawah dalam tata ruang.
“Kalau suatu sawah dilindungi, maka harus ada peraturan daerah (perda) dengan peta spasialnya. Sayangnya, banyak kabupaten yang membuat perda tanpa peta. Akibatnya, perlindungan itu tidak berjalan efektif,” ungkapnya.
Selain itu, sekitar 3 juta hektare sawah di Indonesia belum masuk dalam kategori lahan yang dilindungi secara formal.
Kondisi ini, menurut Prof Baba, berpotensi meningkatkan alih fungsi lahan.
“Kalau perlindungan tidak kuat, konversi sawah bisa terjadi dengan cepat,” tambahnya.
Dari pengalaman lebih 20 tahun mengkaji perlindungan lahan, Prof Baba menekankan perlunya mempertimbangkan variabel kritis seperti ketersediaan air, produktivitas, serta ketergantungan petani terhadap lahan.
“Ada wilayah yang petaninya sangat bergantung pada sawah. Jika lahan mereka dikonversi, dampaknya tidak hanya pada produksi pangan, tetapi juga kesejahteraan petani,” katanya.
Ia juga menyoroti tantangan program ekstensifikasi sawah, termasuk cetak sawah di Papua Selatan dan Kalimantan Tengah. Meski penting, program ini menghadapi kendala seperti klaim lahan, keragaman karakter tanah, hingga keterbatasan waktu.
Prof Baba mengingatkan bahwa kebijakan perlindungan sawah harus dilihat sebagai strategi jangka panjang.
“Kalau perlindungan berjalan konsisten, kita bisa menjaga ketahanan pangan sekaligus melindungi petani. Tapi kalau tidak, ancaman konversi lahan akan terus menghantui,” pungkasnya. (Z-1)
[OTOMOTIFKU]