
APAKAH artificial intelligence (AI) dapat menggantikan guru? Dalam perkembangan AI yang semakin maju, terutama yang mengandalkan large language models (LLMs), pemanfaatannya dapat digunakan untuk kegiatan pembelajaran. Salman Khan (2024) dalam Brave New Words: How AI will Revolutionize Education (and Why That’s a Good Thing) mengajukan ide tentang AI tutor yang dapat berposisi sebagai partner diskusi para peserta didik dalam mempelajari berbagai materi pelajaran.
Menurut Khan, ibarat guru tanpa pilih tanding, AI dapat menjadi partner berdiskusi dan berdebat mengenai berbagai isu lama hingga terbaru soal materi yang sedang dirujuk. AI dalam paparan Khan diposisikan sebagai rekan untuk berdialog, bukan semata mesin untuk menjawab soal-soal, membuat esai, atau menyelesaikan berbagai tugas sekolah. Lebih lanjut AI dapat membantu siswa untuk belajar secara personal sesuai dengan kapasitas mereka. Khan memang memiliki pandangan superoptimis terkait dengan pemanfaatan AI dalam pembelajaran.
Lalu, bagaimana posisi AI dalam konteks pendidikan di Indonesia? Apakah guru-guru dapat digantikan AI? Kita sudah merasakan sendiri betapa generative AI dapat dengan mudah mengerjakan soal fisika, sejarah, matematika, dan berbagai mata pelajaran lainnya. Serahkan saja kepada generative AI, beri ‘perintah’ yang presisi, niscaya jawaban bahkan dengan berbagai rumus atau perspektif akan hadir dalam waktu singkat.
Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita harus secara jujur mengakui betapa ketidakmerataan akses di Indonesia masih membuat teknologi terbatas dinikmati sebagian kalangan. Untuk konteks pendidikan, pemanfaatan kecanggihan AI, misalnya, belum dapat dimanfaatkan seluruh siswa di Indonesia. Kita mafhum betapa masih banyak sekolah, terutama di wilayah kepulauan yang minim akses, bahkan belum menikmati jaringan internet dan komunikasi secara memadai.
Oleh sebab itu, kehadiran guru di kondisi tersebut masih sangat penting. Posisi mereka di wilayah marginal yang serbaminim akses bukan hanya sebagai pengantar pengetahuan, melainkan juga cahaya penerang bagi anak-anak bangsa.
Demikian pula, di berbagai sekolah dan lingkungan masyarakat, hadirnya guru-guru masih sangat krusial. Sentuhan kemanusiaan masih sangat penting untuk menemani anak-anak menemukan diri mereka. Akal budi dibangun melalui dialog-dialog antarmanusia, tak semata diasuh mesin dan teknologi. Secara kritis Selwyn (2022), misalnya, meminta kita untuk tidak terpesona pada keyakinan bahwa AI bersifat magis dan supermanusiawi. Ia mengingatkan agar kita tidak dimanfaatkan vendor teknologi informasi dan pemasar yang mencari keuntungan dari menjual berbagai produk terkait dengan AI dan pendidikan.
GURU TETAP UTAMA
Dalam konteks yang kompleks di era kiwari, jika meminjam pandangan Buchori, dibutuhkan guru-guru yang mampu merintis jalan baru dalam kehidupan berbangsa. Siapa mereka? Itu guru-guru yang memiliki learning capability yang tangguh untuk memahami persoalan-persoalan dan hal-hal baru di masyarakat.
Dalam konteks teknologi, guru-guru itu harus melek teknologi dan memahami diskursus keilmuan yang ada di masyarakat. Selain tentu dibutuhkan guru yang secara personal memiliki keluwesan, prinsip etika, dan moralitas yang kukuh.
Selain itu, dengan melihat kondisi kebangsaan yang rapuh saat ini, menjadi lebih penting hadirnya guru yang berposisi sebagai intelektual publik (Giroux, 1994). Dalam posisi sebagai intelektual publik, guru memiliki peran penting dalam membentuk wacana dan praktik pendidikan yang lebih baik. Misal di situasi ketika Indonesia mengalami ragam kegundahan terkait dengan kondisi politik, hukum, ekonomi, dan kebangsaan, posisi guru-guru vital untuk membantu menemani anak-anak mengarungi situasi saat ini yang terjadi.
Guru-guru yang memiliki keberanian, kemampuan analisis, visi moral, waktu, dan dedikasi semakin dibutuhkan untuk membangun pendidikan kritis. Sebab itu, sekolah tidak dapat dipisahkan dari masyarakat dan oleh karena itu, pertanyaan tentang representasi, keadilan, kekuasaan juga menjadi hal penting yang terus didiskusikan di ruang kelas (Giroux, 1994).
Pertanyaan yang kemudian patut diajukan, bagaimana menghasilkan guru-guru yang diimajinasikan Buchori dan Giroux? Apakah di ruang aktual ada guru-guru yang memiliki ciri-ciri seperti yang sudah disampaikan keduanya? Tentu akan ada jawaban yang sangat beragam. Saya sendiri melihat adanya keinginan kuat dari guru-guru Indonesia untuk menjadi sosok yang membangkitkan kesadaran politik para siswa mereka.
KUALITAS PENDIDIKAN
Jika bicara soal pendidikan Indonesia, tentu ada ragam perbedaan dengan negara-negara lain di dunia. Kita punya kondisi demografi, sosial ekonomi, budaya, geografis, serta historis yang sangat berbeda. Namun, hal yang sering luput ialah terkait dengan apa sesungguhnya substansi yang dibutuhkan anak-anak Indonesia di ruang pendidikan. Di negara-negara maju, misalnya, fokus perhatian pendidikan ada pada penguatan literasi, numerasi, dan penguatan karakter anak-anak. Menghadapi zaman yang cepat berubah, karakter diri menjadi kunci.
AI memang menjadi mesin yang mampu menawarkan jawaban yang segera, ringkas, dan tampak pasti terhadap berbagai persoalan memang tampak dapat membantu siswa untuk belajar. Namun, perlu juga diperhatikan soal akurasi konten, kesesuaian usia peserta didik, relevansi dengan metode pedagogis, dan kesesuaian dengan budaya dan sosial masyarakat (Giannini, 2023).
Selain itu, ketimbang berdebat soal AI dan pendidikan, menurut Giannini (2023), yang diperlukan ialah bagaimana pemerintah mengelola sekolah-sekolah yang ada dengan baik. Dari segi guru, perhatian tentang kuantitas dan kualitas guru, juga perhatian pada pendapatan yang dimiliki mereka. Poin-poin tersebut merupakan solusi berkelanjutan dalam memperbaiki kondisi pendidikan di suatu negara (Giannini, 2023).
Karena itu, ketika kita coba berefleksi soal AI atau teknologi baru dan upaya perbaikan pendidikan, beberapa hal fundamental tetap harus menjadi perhatian utama. Yang paling utama, pendidikan yang memanusiakan dan mengedepankan dialog hanya bisa dilakukan manusia, bukan mesin.
[OTOMOTIFKU]