Revitalisasi tanpa Reduksi Pendidikan Jalan Peradaban

DI tengah arus pembangunan nasional yang semakin kompleks, pendidikan tetap menjadi fondasi utama dalam membentuk arah dan watak peradaban. Program revitalisasi satuan pendidikan yang digagas Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) melalui Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2025 bukanlah sekadar agenda pembangunan fisik.

Ia merupakan ikhtiar strategis untuk memperkuat kualitas, memperluas akses, dan memastikan keberlanjutan layanan pendidikan di seluruh penjuru negeri.

Dengan melibatkan berbagai kementerian, lembaga, serta pemerintah daerah, program itu dirancang untuk menjangkau hingga ke wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T)—menjadikan sekolah sebagai ruang hidup yang inklusif, bermartabat, dan berdaya.

Secara konseptual, revitalisasi satuan pendidikan ialah proses menyeluruh untuk menghidupkan kembali fungsi-fungsi strategis sekolah sebagai pusat pembelajaran, pembentukan karakter, dan pengembangan potensi manusia. Ia mencakup pembaruan infrastruktur, penguatan tata kelola, peningkatan mutu layanan, serta pengembangan sumber daya manusia secara berkelanjutan.

Dalam kerangka kebijakan nasional, revitalisasi diposisikan sebagai upaya kolektif untuk menjadikan pendidikan lebih responsif terhadap tantangan zaman, sekaligus lebih adil dalam menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

Penegasan terhadap makna revitalisasi disampaikan langsung oleh Mendikdasmen Abdul Mu’ti dalam kunjungan kerja ke SMKN 4 Pekanbaru, Jumat (19/9). “Revitalisasi adalah program prioritas Presiden. Program ini tidak hanya membangun ruang kelas baru, tetapi juga memperbaiki mutu pembelajaran di semua jenjang pendidikan. Untuk SMK, tujuan akhirnya adalah memastikan lulusan siap kerja, bahkan bisa diterima di industri sebelum mereka lulus. Karena itu, kami mendorong penguatan link and match dengan dunia usaha, sekaligus pembekalan bahasa asing, soft skills, dan pemahaman lintas budaya,” tegasnya.

Pernyataan tersebut menegaskan revitalisasi harus dimaknai sebagai strategi menyeluruh untuk menyiapkan generasi muda yang kompeten, fleksibel, dan mampu bersaing di tingkat global.

Dengan pelibatan masyarakat, pengelolaan langsung oleh sekolah, serta dorongan untuk memperkuat keterhubungan dengan dunia kerja, revitalisasi menjelma menjadi proses sosial yang menempatkan pendidikan sebagai ruang pembentukan karakter dan kompetensi.

Ketika mutu pembelajaran menjadi titik fokus dan sekolah diberi kepercayaan untuk mengelola pembangunan secara mandiri, revitalisasi tidak hanya membangun fisik, tetapi juga membangun ekosistem pendidikan yang hidup, relevan, dan berkelanjutan.

 

DARI GAGASAN KE PELAKSANAAN: 

MENAKAR SKALA DAN KOMITMEN REVITALISASI

Menurut data resmi Kemendikdasmen (2025), program revitalisasi itu telah memasuki fase implementasi yang masif. Dengan alokasi anggaran sebesar Rp17,1 triliun, pemerintah menargetkan revitalisasi terhadap 13.834 sekolah di seluruh Indonesia.

Hingga awal September, sebanyak 11.179 satuan pendidikan telah menyelesaikan administrasi dan menandatangani perjanjian kerja sama, menandakan kesiapan untuk melaksanakan pembangunan. Pada Oktober, lebih dari 800 sekolah diproyeksikan menyelesaikan pembangunan fisik, sementara Kemendikdasmen optimistis seluruh target dapat dituntaskan sebelum akhir tahun.

Skema pencairan dana dilakukan dalam dua tahap: 70% pada tahap awal dan 30% pada tahap lanjutan, yang diberikan setelah progres fisik mencapai ambang 70%. Per 8 September 2025, dana tahap pertama telah disalurkan ke 9.595 sekolah, menunjukkan komitmen pemerintah dalam mempercepat pelaksanaan program. Namun, revitalisasi yang berpijak pada visi peradaban tidak cukup berhenti pada pencapaian administratif dan konstruksi.

Di balik angka dan laporan, terdapat harapan besar agar sekolah yang diperbarui benar-benar menjadi ruang yang mendukung tumbuhnya kreativitas, daya pikir, dan karakter peserta didik. Ketika dana disalurkan langsung ke rekening sekolah dan pembangunan dilakukan melalui mekanisme swakelola, partisipasi masyarakat dan transparansi menjadi elemen kunci.

Revitalisasi yang bermakna ialah revitalisasi yang menjaga semangat pendidikan tetap utuh—berpijak pada nilai kemanusiaan, menjunjung pemerataan, dan mendorong keberlanjutan.

Salah satu inovasi penting dalam pelaksanaan program ini adalah penerapan skema program hasil terbaik cepat (PHTC) melalui pendekatan swakelola. Skema itu menandai pergeseran paradigma dalam tata kelola pembangunan pendidikan, dari model sentralistis yang sebelumnya dikelola Kementerian Pekerjaan Umum (PU) menuju pendekatan yang lebih langsung dan partisipatif di bawah koordinasi Kemendikdasmen. Dengan demikian, proses revitalisasi menjadi lebih efisien, fleksibel, dan kontekstual terhadap kebutuhan lokal.

Melalui skema swakelola, dana disalurkan langsung ke rekening sekolah, memungkinkan satuan pendidikan untuk mengelola anggaran sesuai dengan rencana kerja yang telah disusun. Pelaksanaan teknis pembangunan dilakukan panitia pembangunan satuan pendidikan (P2SP), yang terdiri dari unsur sekolah dan masyarakat, serta didampingi tim teknis perencana dan pengawas. Model itu membuka ruang bagi keterlibatan publik dalam proses pembangunan, sekaligus memperkuat akuntabilitas dan rasa kepemilikan terhadap hasil revitalisasi.

Lebih dari sekadar efisiensi anggaran, pendekatan swakelola menegaskan pentingnya transparansi dan tanggung jawab publik. Setiap satuan pendidikan diwajibkan menyusun laporan keuangan sebagai bentuk pertanggungjawaban atas penggunaan dana yang diterima. Dalam konteks itu, revitalisasi menjadi sarana untuk membangun kepercayaan terhadap institusi pendidikan, sekaligus memperkuat relasi antara sekolah dan komunitas sekitar mereka.

Agar program revitalisasi benar-benar menyentuh inti persoalan pendidikan, pelaksanaannya perlu terus berpijak pada cita-cita besar: menghadirkan mutu yang merata, akses yang adil, dan pembelajaran yang bermakna di seluruh penjuru negeri.

Di tengah tantangan geografis dan kesenjangan sumber daya, pendekatan yang lentur dan partisipatif menjadi kunci agar revitalisasi tidak terjebak dalam logika pembangunan fisik semata. Ia harus tumbuh sebagai gerakan kolektif yang menghidupkan kembali semangat belajar, memperkuat karakter, dan menata masa depan yang lebih beradab melalui pendidikan. Lebih dari sekadar menyelesaikan target konstruksi dan laporan anggaran, revitalisasi ialah proses yang menuntut ketekunan kebijakan, ketelitian pelaksanaan, dan keberanian untuk terus mengevaluasi arah.

Di tengah kompleksitas sistem pendidikan nasional, program itu sepatutnya menjadi titik tolak untuk memperkuat ekosistem belajar yang sehat, inklusif, dan relevan dengan zaman. Sekolah yang diperbarui tidak hanya harus kukuh secara fisik, tetapi juga tangguh secara pedagogis—mampu menjawab tantangan digital, sosial, dan kompetensi global yang terus bergerak.

Lebih dari itu, revitalisasi harus menjadi ruang pembuktian bahwa negara hadir secara bermakna dalam kehidupan warga. Ketika sekolah di pelosok negeri mendapatkan fasilitas yang setara, ketika guru dan peserta didik merasa dihargai, dan ketika masyarakat dilibatkan dalam proses pembangunan, pendidikan tidak lagi menjadi beban, tetapi menjadi harapan. Dalam konteks itu, revitalisasi tidak hanya soal kebijakan, tetapi juga soal kepercayaan: bahwa setiap anak Indonesia berhak atas pendidikan yang bermutu, di mana pun mereka tinggal.

Ke depan, tantangan terbesar tidak hanya menyelesaikan target fisik, tetapi menjaga agar semangat revitalisasi tetap hidup dalam praktik pembelajaran sehari-hari. Pemerintah, sekolah, guru, orangtua, dan masyarakat harus terus bersinergi untuk memastikan revitalisasi tidak berhenti di papan proyek, tetapi berlanjut dalam ruang kelas yang inspiratif, dalam interaksi yang membangun, dan dalam kurikulum yang relevan. Pendidikan yang direvitalisasi ialah pendidikan yang mampu membentuk manusia utuh—berpengetahuan, berkarakter, dan berdaya saing.

Karena itu, revitalisasi tanpa reduksi ialah panggilan untuk melihat pendidikan sebagai proyek peradaban. Ia bukan sekadar urusan teknis, melainkan cerminan visi bangsa tentang masa depan. Ketika sekolah dibangun dengan semangat kemanusiaan, setiap ruang belajar menjadi tempat tumbuhnya harapan. Ketika revitalisasi dijalankan dengan integritas, pendidikan menjadi jalan panjang menuju Indonesia yang lebih adil, cerdas, dan beradab.

 

TEKNOLOGI PENDIDIKAN DALAM REVITALISASI: MENATA ULANG CARA BELAJAR

Sebagai bagian dari strategi pendukung revitalisasi pendidikan, pemerintah menyiapkan program digitalisasi pembelajaran yang menyasar aspek metodologis dan teknologis. Salah satu wujud konkret upaya itu ialah pengadaan interactive flat panel (IFP)—perangkat pembelajaran interaktif yang kini mulai didistribusikan ke sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Kehadiran IFP bukan sekadar pelengkap fasilitas, melainkan instrumen transformasi cara belajar yang lebih relevan dengan tuntutan zaman.

Berbeda dari papan tulis konvensional, IFP memungkinkan kolaborasi langsung antara guru dan siswa melalui layar sentuh, fitur anotasi, penyimpanan teks, hingga integrasi dengan aplikasi kuis dan platform daring. Dengan pendekatan yang lebih partisipatif dan kontekstual, perangkat itu menjadi katalisator pembelajaran yang interaktif, reflektif, dan menyenangkan.

Sebagai tindak lanjut Instruksi Presiden No 7 Tahun 2025, pemerintah menargetkan distribusi IFP ke 288.865 sekolah negeri dan swasta. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti dalam kunjungannya ke SDN Cimahi Mandiri 1 menyaksikan langsung bagaimana teknologi itu menghadirkan pembelajaran yang mindful, meaningful, dan joyful. Di Kota Cimahi, 101 sekolah telah menerima perangkat ini, dan ke depannya, fasilitas pendukung akan terus disalurkan.

Agar pemanfaatan teknologi berjalan optimal, pemerintah juga menyiapkan bimbingan teknis bagi sekolah penerima. Dengan pelatihan yang tepat, guru dapat berperan sebagai fasilitator inovatif dan siswa menjadi subjek aktif dalam proses belajar.

Digitalisasi pembelajaran bukan sekadar respons terhadap learning loss akibat pandemi, melainkan juga strategi jangka panjang untuk meratakan kualitas pendidikan, terutama di daerah 3T. Dalam konteks itu, teknologi bukan hanya soal akses, melainkan juga soal keadilan.

Revitalisasi pendidikan melalui teknologi menandai pergeseran paradigma: dari pembelajaran yang pasif menjadi aktif, dari satu arah menjadi dialogis, dan dari seragam menjadi personal. Bila dijalankan dengan komitmen dan keberlanjutan, transformasi itu akan melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga tangguh secara sosial dan kreatif dalam menghadapi tantangan zaman.

[OTOMOTIFKU]