
RUANGAN dengan ukuran 5 x 9 meter itu penuh dengan berbagai macam hasil kerajinan dari sampah. Ada bunga, vas, tempat tisu, tikar, dan tas. Paling menonjol adalah baju perempuan dan laki-laki dengan bahan plastik. Semuanya menarik dipandang.
Di sinilah tempat emak-emak Desa Muntang, Kecamatan Kemangkon, Purbalingga, Jawa Tengah, menelurkan kreasinya. Menyulap sampah menjadi kerajinan yang bernilai ekonomis. Di situ pula, dimulainya asa mengubah sampah jadi emas.
Pada Kamis (25/9) siang itu, Direktur Bank Sampah Sahabatku Raden Roro Hendarti terlihat tengah sibuk menerima sampah-sampah yang telah dipilah dari rumah warga. Dia menimbangnya, ada sampah kardus, plastik, botol air mineral, dan lainnya.
Kemudian ia mencatat di atas kertas berapa bobotnya disertai dengan harganya. Buku catatan itulah yang menjadi dasar nilai tabungan emas yang akan disetorkan ke Pegadaian.
“Setiap saya datang ke Bank Sampah Sahabatku, saya sudah membawa sampah-sampah anorganik. Ada plastik, bekas botol air mineral, seng, dan berbagai macam limbah dari rumah. Sudah bertahun-tahun, warga di sini ditanamkan untuk memilah sampah dari rumah. Selain bersih, tentu saja mendapatkan berkah. Saya jadi bisa menabung,” jelas Marsinah, salah seorang warga sekaligus relawan bank sampah.
Tidak hanya Marsinah, Sumiah juga semangat untuk mengumpulkan sampah. Apalagi, kini ada semangat baru lagi. Karena sejak bulan Juli lalu, mulai dari relawan sampah hingga nasabah ditawari untuk menabung emas.
“Caranya mudah, hanya dengan mengumpulkan sampah. Nilai dari sampah yang dikumpulkan dihargai dengan uang. Bedanya, kalau dulu langsung diwujudkan dalam uang, tetapi sekarang dengan emas. Ini berkat kerja sama dengan Pegadaian Purbalingga,” ungkap Sumiah.
Perempuan lainnya, Adimah, telah membuka tabungan emas dengan nilai Rp50 ribu pada awal pembukaan. “Saya senang bisa menabung emas. Dan saya kira ini menjadi penyemangat bagi ibu-ibu lainnya di desa untuk rajin mengumpulkan sampah,” kata dia.
Setiap akhir pekan, para ibu berkumpul di lokasi bank sampah. Mereka menerima sampah, melayani pembukaan bank sampah, mencatat, dan memilah. “Memang tidak semua sampah yang telah dipilah sudah rapi. Sehingga kami para relawan yang bertugas merapikan kembali sampah-sampah yang disetorkan,” kata Direktur Bank Sampah Sahabatku Raden Roro Hendarti.
Bahkan, pengelola bank sampah yang terdiri dari 13 perempuan dan dua laki-laki itu tidak jarang jemput bola untuk pengambilan dan pengangkutan sampah. “Semuanya dikerjakan hampir seluruhnya oleh para perempuan. Dan ternyata sampai sekarang berjalan dengan baik dan tertib,” jelas perempuan yang akrab disapa Roro tersebut.
Roro mengakui dengan adanya tabungan emas itu, para ibu semakin semangat untuk mengumpulkan sampah di rumahnya masing-masing. “Sebelum kami bermitra dengan Pegadaian, sampah-sampah dihargai dengan uang dan ditabung. Sekarang sama, tetapi bentuk tabungannya adalah emas. Nilai saat ini misalnya, Rp22 ribu itu setara dengan 0,01 gram emas. Jadi kalau pembukaan tabungan Rp50 ribu langsung saja dikonversi jadi 0,024 gram. Meski kecil, tetapi ibu-ibu memiliki emas,” jelas dia.
Perjalanan panjang
Bank Sampah Sahabatku lahir melalui proses yang panjang. Inisiatornya adalah Roro. Dia memulai bukan dari sampah, melainkan dari literasi buku.
Awalnya, di tahun 2007, Roro yang kini juga sebagai perangkat Desa Muntang, mendirikan perpustakaan desa. Ia sangat getol untuk meningkatkan literasi warga dimulai dari kesukaan dia akan buku.
“Saya masih ingat, waktu tahun 1980-an, ketika ibu saya menjadi Kepala Desa Muntang, ia kerap ke balai desa untuk membaca buku-buku, karena koleksinya bagus. Namun, selang beberapa waktu, ketika saya selesai kuliah tahun 2001 dan sampai ke desa ini lagi, perpustakaan desa sama sekali tidak terurus. Bukunya rusak dan berdebu,” katanya.
Beberapa tahun lamanya, ternyata memang tidak ada yang mengurus, hingga akhirnya Hendarti meminta kepada desa agar bisa memindahkan perpustakaan itu ke rumahnya.
“Kebetulan di rumah, saya juga mendirikan PAUD, sehingga mulai tahun 2007, perpustakaan juga saya pindahkan ke sini. Tahun berganti tahun, meski koleksinya relatif terbatas, tetapi mulai ada yang pinjam. Meski demikian, ternyata belum mampu meningkatkan minat baca warga secara signifikan,” ujar Roro.
Lalu tebersit di benaknya untuk memadukan antara perpustakaan keliling dan pengumpulan sampah. Ide itu ditopang dengan kendaraan roda tiga bantuan dari Pemkab Purbalingga.
Ide jemput bola meminjamkan buku muncul, karena peminat perpustakaan desa yang berada di rumahnya turun. Munculnya nama Limbah Pustaka Desa Muntang.
“Maka untuk meningkatkan minat baca, saya melayani perpustakaan keliling. Kebetulan saja, sejak tahun 2015 lalu, saya mendapat bantuan kendaraan roda tiga dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Purbalingga. Bantuan diberikan, karena mulai 2014 saya mendirikan bank sampah di rumah. Kendaraan tersebut digunakan untuk berkeliling desa mengumpulkan sampah warga. Dari sinilah muncul ide, kenapa tidak membawa buku berkeliling sambil memungut sampah mulai tahun 2016. Limbah Pustaka berarti meminjam buku dengan sampah,” katanya.
Roro mengatakan tidak hanya ke rumah-rumah saja ia meminjamkan buku, melainkan ke sekolah yang ada di desa setempat, terutama SD. “Saya berkeliling di sela-sela waktu bekerja sebagai perangkat desa. Biar keduanya jalan, tidak ada yang dirugikan,” ungkapnya.
Limbah Pustaka memiliki beberapa unit kerja, di antaranya adalah perpustakaan desa, kemudian ada bank sampah, kerajinan, serta budi daya maggot, dan nantinya ada ayam petelur dan cacing tanah. “Jadi di rumah ini, tidak hanya sebagai etalase sampah yang telah diubah menjadi berbagai macam kerajinan, melainkan juga tempat budi daya semacam integrated farming mini. Karena kami juga bekerja sama dengan sejumlah perguruan tinggi,” kata Roro.
Khusus untuk kerajinan, pihaknya memberikan pelatihan kepada para ibu di desa untuk dapat membuat pernik-pernik dari sampah. “Sementara ini, kami telah memproduksi beragam kerajinan dari sampah plastik. Mulai vas, bunga, tempat tisu, hiasan, hingga baju berbahan baku plastik. Semuanya hasil produksi para ibu-ibu di Desa Muntang ini,” kata dia.
Menurutnya, harga dari kerajinan berkisar antara Rp5 ribu hingga Rp1 juta. Untuk yang Rp5 ribu adalah pernik-pernik kecil, sedangkan paling mahal adalah baju dari plastik. Namun, biasanya baju dari plastik tidak dijual, hanya disewakan dan dipakai saat ada karnaval.
“Kami tidak hanya mengumpulkan sampah kemudian dijual semata, melainkan juga dibuat kerajinan yang jelas akan memiliki nilai tambah secara ekonomi,” jelasnya.
Kolaborasi
Limbah Pustaka yang telah berjalan hampir 10 tahun dan konsisten dalam menangani sampah rumah tangga mendapat partner yang tepat. Mulai tahun 2025, Limbah Pustaka berkolaborasi dengan Perum Pegadaian.
“Sebelum menjadi binaan Pegadaian, sebetulnya kami telah menjalin kerja sama melalui kegiatan Go Green, di antaranya adalah membuat biopori,” katanya.
Setelah itu, Limbah Pustaka melalui Bank Sampah Sahabatku masuk binaan Pegadaian dan menjadi anggota Forum Sahabat Emas Peduli Sampah Indonesia (Forsepsi).
“Nah, di sinilah kami seperti mendapat jalan lempang untuk maju. Forsepsi sebagai wadah kegiatan lingkungan dan bank sampah menjadi bagian penting dalam mengatasi krisis sampah di Indonesia. Caranya dengan melakukan edukasi dan mengubah pola pikir masyarakat. Inilah yang telah kami lakukan selama bertahun-tahun,” katanya.
Kini, Bank Sampah Sahabatku mendapat amunisi ampuh yakni mengubah sampah menjadi emas.
Roro mengakui tidak pernah berpikir sampai sejauh itu, karena prinsipnya mengubah sampah menjadi berkah, sekarang berkahnya malah benar-benar berubah jadi emas. Keuntungan telah masuk Forsepsi adalah ketika membuka tabungan emas, tidak perlu lagi ada biaya administrasi karena diberikan voucher.
“Inilah yang akan terus kami sosialisasikan kepada masyarakat. Sebagian para relawan sampah telah menjadi nasabah bank emas, dan nantinya akan semakin banyak lagi terutama menyasar kepada nasabah Bank Sampah Sahabatku. Karena dari 400 rumah di Desa Muntang, 50 persen di antaranya secara rutin menyetorkan sampah kepada kami,” ujar Roro.
Pemimpin Cabang Pegadaian Purbalingga Rokhaeni mengatakan, bank sampah di Desa Muntang merupakan partner pertama Pegadaian dalam program Mengemaskan Indonesia melalui Tabungan Emas.
“Desa Muntang merupakan lokasi pertama bagi warga yang mengubah sampah menjadi emas melalui tabungan di Pegadaian. Mengapa emas? Karena investasi emas akan sangat menguntungkan. Bayangkan saja, dari awal tahun hingga sekarang, harga emas telah naik 35%. Inilah mengapa, kami mendorong masyarakat untuk menabung emas. Di desa, seperti halnya Muntang, bisa dengan sampah,” jelasnya.
Dengan adanya program itu, sampah yang dulunya dihargai dengan uang secara langsung, kini ditabung dalam bentuk emas. Sehingga masyarakat dididik untuk tidak konsumtif, melainkan bagian dari menabung bagi masa depan.
“Bisa saja dipakai untuk menabung guna membiayai keperluan penting seperti anak sekolah,” katanya.
Dia berharap kesuksesan di Limbah Pustaka akan merembet ke desa-desa lainnya, bahkan nantinya menjadi induk bank sampah di Purbalingga. “Kami percaya bahwa Limbah Pustaka akan dapat menjadi pionir yang baik, sehingga nantinya dapat menjadi semacam induk bagi bank sampah lainnya,” ujar dia.
Dari Desa Muntang, kampung di Purbalingga, emak-emak menjadi bagian kecil program Mengemaskan Indonesia bersama Pegadaian melalui pengumpulan sampah. (Lilik Darmawan/E-1)
[OTOMOTIFKU]