BBM Bersubsidi Langka Di Aceh, Aktivitas Warga Terganggu

BBM Bersubsidi Langka Di Aceh, Aktivitas Warga Terganggu
Ilustrasi(MI/AMIRUDDIN ABDULLAH REUBEE)

WARGA miskin atau masyarakat kurang mampu di kawasan Provinsi Aceh resah. Pasalnya sudah dua pekan terakhir (sekitar 10 hari) persediaan bahan bakar (BBM) Bersubsidi seperti solar dan pertalite langka di berbagai SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum) setempat. 

Amatan Media Indonesia sejak sepekan terakhir, di SPBU sepanjang jalur nasional Banda Aceh, Provinsi Aceh-Medan, Sumatera, hanya menjual BBM non Subsidi seperti pertamak dan dexlite. Sedangkan pertalite dan solar kosong. 

Di sepanjang jalur nasional lintasan Kabupaten Bireuen, Pidie Jaya, Pidie,, Aceh Besar dan Kota Banda Aceh misalnya, hampir semua SPBU hanya memasang plang pemberitahuan bertuliskan “pertalite habis” atau “solar habis”.

Lebih ironis lagi di sebagian stasiun penjualan minyak bersubsidi itu menuliskan “pertalite masih dalam perjalanan” atau “solar masih dalam perjalanan’. Itu merupakan bahasa diplomatis hanya sekedar berbasa-basi untuk melegakan konsumen. 

Padahal tulisan pengumuman yang tertulis pada plang plat baja itu bisa dikategorikan pembohongan publik atau literasi menipu. Karena sudah hampir dua pekan solar dan pertalite masih juga kosong. 

Krisis BBM bersubsidi itu bukan saja sepanjang jalur nasional pantai Selat Malaka meliputi Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen hingga Aceh Utara. Tapi juga terjadi di SPBU sepanjang jalur nasional pesisir Samudera Hindia yakni SPBU di Kabupaten Aceh Jaya, Aceh Barat, Aceh Barat Daya dan SPBU se Kabupaten Aceh Selatan. 

“Saya baru dari wilayah barat selatan Aceh. Sepanjang jalur nasional pesisir Samudera Hindia hingga ke jalur Utara sampai timur Aceh. Karena tidak ada bahan bakar bersubsidi, banyak melihat kenderaan antrean di pompa BBM non subsidi seperti dexlite dan pertamak,” kata Muhammad Adli Abdullah, Dosen Hukum Universitas Syiah Kuala (USK), Banda Aceh, pada Rabu (24/9). 

Kondisi tersebut kini telah merugikan masyarakat kelas ekonomi ke bawah atau warga miskin yang harus ketergantungan dengan BBM bersubsidi. Apalagi aktivitas kerja dan roda pencarian nafkah mereka sangat terkait dengan bahan bakar murah tersebut. 

“Bahan bakar bersubsidi tidak ada di SPBU, ditambah lagi hasil tangkapan ikan berkurang. Karena itu sudah sepekan kami tidak melaut,” tutur Muslim, nelayan yang beraktivitas mencari ikan di perairan Selat Malaka, Kabupaten Pidie. 

Hal hampir sama juga dirasakan oleh tukang becak roda tiga dan pemilik mobil mini bus angkutan umum. Mereka terpaksa mengisi BBM non subsidi agar bisa beraktivitas. 

“Biaya operasional harian harus kami keluarkan bertambah, sedangkan penumpang sepi selama ini. Ironisnya ketika terpaksa harus beralih ke BBM non subsidi karena krisis BBM ber subsidi. Di SPBU terjadi antrean panjang hingga terkuras waktu sia-sia,” tambah Jamhur, supir pengemudi mimi bus Sigli-Banda Aceh. 

Muhammad Adli Abdullah yang juga dosen senior USK itu berharap pemerintah segera menyelesaikan kelangkaan BBM bersubsidi. Pasalnya kebutuhan menyangkut hajat orang banyak. 

Apalagi itu terkait dengan aktivitas mencari nafkah warga miskin. Ditambah lagi di tengah kondisi ekonomi yang tidak bersahabat. 

“Itu termasuk kebutuhan logistik yang tidak bisa tertahan. Selain emergensi harus segera tuntas juga bisa menambah ke mana-mana,” tutur Adli Abdullah.

[OTOMOTIFKU]