
KEMENTERIAN Pariwisata (Kemenpar) berkolaborasi dengan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJHP) dengan mendorong sertifikasi produk halal di 20 desa wisata. Langkah ini sebagai bagian dari percepatan tercapainya pariwisata ramah muslim yang juga berdampak pada peringkat Indonesia di Global Muslim Travel Index (GMTI).
“Kita berkolaborasi dengan BPJPH untuk sertifikasi produk halal di 20 Desa Wisata, di antaranya di Sumatra Utara (Sumut), Sumatra Barat (sumbar), Kepulauan Riau (Kepri), dan Gorontalo,” kata perwakilan Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur Kemenpar, Hariyanto, dalam acara Media Briefing: Membangun Pariwisata Halal: Tren, Tantangan, dan Peluang Global di Tangerang, Kamis (25/9).
Ia menjelaskan bahwa sertifikasi produk halal itu adalah bagian dari program penguatan Indonesia Muslim Travel Index (Inti). Program Inti merupakan program tahunan yang diselenggarakan sejak 2018, dan sempat terhenti pada 2020 – 2022 akibat covid-19.
Program Inti dibuat Pemerintah Indonesia sebagai domestikasi dari program rating dunia GMTI. “Tahun ini peringkat kita turun ke posisi lima, padahal sebelumnya dua tahun di peringkat teratas. GMTI ini kalau untuk turis internasional sangat dijadikan acuan. Sebab itu penting untuk memperbaiki peringkat kita,” jelasnya.
Sebagai korelasi Inti dengan GMTI maka poin-poin penilaian yang digunakan pun serupa, yakni akses ke destinasi wisata, kemampuan komunikasi dari pelaku wisata, servis, dan kualitas lingkungan.
Tahun ini, tambahnya, provinsi peserta Inti berjumlah 15, yakni Aceh, Sumbar, Riau, Kepri, Bengkulu, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, DIY, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo. Provinsi yang menjadi pemenang Inti 2025 akan diumumkan bulan depan.
Selain menggunakan program Inti, Kemenpar juga membuat pedoman layanan dasar pariwisata ramah muslim. Dalam pedoman itu, sejumlah poin yang didorong untuk diterapkan pelaku wisata adalah tersedianya makanan dan minuman halal, sarana ibadah yang bersih, sarana sanitasi yang bersih, dan dilakukannya pemantauan rutin.
Tantangan
Kemenpar mengungkapkan bahwa meski Indonesia merupakan negara muslim terbesar di dunia, penerapan pariwisata ramah muslim juga menghadapi tantangan. “Salah satu tantangannya adalah anggapan bahwa ini upaya Islamisasi. Padahal kan bukan. Sebab itu pendekatannya juga diubah dari sebelumnya “pariwisata halal” ke “pariwisata ramah muslim”. Dengan sebutan baru ini lebih mudah diterima,” jelasnya.
Menurutnya, jika Indonesia mampu memperbaiki peringkat di GMTI maka akan lebih besar pula peluang untuk menggaet wisatawan muslim internasional. Sejumlah negara yang disebutkan menjadi target pasar pariwisata ramah muslim Indonesia adalah Singapura, Malaysia, Saudi Arabia, dan Uni Emirat Arab.
Sementara itu Executive Account Director Vero Indonesia Diah A. Dewi juga mengungkapkan pentingnya ketersediaan akomodasi dan makanan halal, sarana ibadah, hingga paket wisata halal di Indonesia.
Hal ini sebagaimana didapatkan dari survei yang mereka lakukan bersama platform GMO-Z.com pada Juni 2025. Survei itu diikuti 509 traveler muslim Indonesia. “Perilaku traveler muslim Indonesia dapat menjadi gambaran perilaku traveler muslim global,” kata Diah.
Ia menjelaskan bahwa traveler muslim sesungguhnya sama dengan traveler umum yang ingin mengeksplorasi tempat wisata dan mendapat pengalaman lengkap. Namun, mereka ingin melakukannya tanpa kehilangan identitasnya sebagai muslim. “Halal tidak membatasi tapi menambah nilai wisata. Jadi halal itu sebenarnya inklusif,” tukasnya. (Big/M-3)
[OTOMOTIFKU]