
DOSEN Pusat Kebijakan & Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada (UGM), Digna Niken Purwaningrum, mengungkapkan bahwa jumlah penderita obesitas di Asia diperkirakan dapat meningkat hingga dua kali lipat pada 2030.
“Untuk tren di negara-negara Asia, prediksinya adalah pada tahun 2030, kita akan mengalami peningkatan obesitas dua kali lipat,” ungkapnya dalam acara Kolaborasi dan Inovasi untuk Indonesia Sehat: Prioritas pada Isu Obesitas, di Jakarta Selatan, dilansir dari keterangan resmi, Sabtu (27/9).
Meski tren Asia mengkhawatirkan, kondisi di Indonesia punya karakteristik khusus. Menurut Digna, Indonesia adalah negara yang sangat beragam, sehingga pola obesitasnya tidak bisa disamaratakan.
“Namun, Indonesia memiliki karakteristik yang sangat pluralistik, negara kita sangat beragam dan luas, karakteristiknya juga sangat berbeda,” jelasnya.
Berdasarkan Survei Kesehatan Nasional 2023, prevalensi obesitas orang dewasa di Indonesia mencapai 23,4 persen. Angka ini meningkat dibandingkan hasil survei tahun 2018 yang menunjukkan angka 21 persen.
“Jika kita melihat kembali 10 tahun yang lalu, pada tahun 2013, prevalensi kita hanya 14 persen. Hal ini menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir, prevalensinya hampir mencapai 10 persen,” ujar Digna.
Angka ini baru mencakup populasi dewasa. Ia menambahkan, obesitas pada anak belum sepenuhnya diteliti dalam survei nasional, padahal risikonya lebih berbahaya.
“Faktanya, jika obesitas ini terjadi pada usia yang lebih muda, misalnya pada anak-anak, risiko obesitas berlanjut hingga dewasa lebih tinggi,” jelasnya.
Fenomena obesitas tidak bisa dijelaskan dari satu faktor saja. Digna menyebutkan, pada tingkat individu ada tiga hal utama yang memengaruhi genetik, kebiasaan hidup, dan metabolisme tubuh.
“Pada tingkat individu, ada faktor genetik yang memengaruhi dan faktor kebiasaan yang dimiliki individu, seperti aktivitas fisik,” katanya.
Selain itu, metabolisme juga berperan besar dan faktor ini kerap kali diabaikan oleh banyak orang.“Ada satu faktor yang sering dilupakan, yaitu laju metabolisme setiap individu berbeda. Biasanya, kita hanya melihat seberapa banyak kita makan, seberapa banyak kita berolahraga, meskipun sebenarnya tidak sesederhana itu,” tambahnya.
Perbedaan metabolisme inilah yang membuat beberapa orang lebih rentan mengalami obesitas meskipun pola makannya serupa dengan orang lain.
Dari sisi sosial, lingkungan yang semakin obesogenik (mudah memicu obesitas) turut memperparah situasi.
Digna menjelaskan, kini makanan tinggi kalori lebih mudah diakses, sementara aktivitas fisik semakin berkurang akibat gaya hidup modern. Fenomena ini tidak hanya terjadi di perkotaan, tetapi juga di pedesaan.
“Perbedaan metabolisme menyebabkan peningkatan obesitas dari sisi klinis. Kemudian, dari tingkat keluarga dan masyarakat, kita dapat melihat bahwa lingkungan obesitas kita semakin meningkat,” ucapnya.
Meski angka obesitas terus naik, Indonesia sudah memiliki strategi nasional yang bisa diadopsi untuk menekan prevalensi, melalui Pedoman Nasional Praktik Klinis (PNPK) Obesitas. Ia menekankan pentingnya mengoptimalkan strategi ini agar tidak sekadar menjadi dokumen, tetapi benar-benar diimplementasikan di lapangan.
“Jadi masih perlu membaca polanya untuk beberapa tahun ke depan dan dalam beberapa tahun terakhir, kita memiliki strategi nasional yang dapat diadopsi untuk mencegahnya,” jelas Digna.
Prediksi lonjakan obesitas di Asia menjadi peringatan serius bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Dengan tren prevalensi yang meningkat hampir 10 persen dalam satu dekade terakhir, obesitas sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang nyata.
Persoalan ini harus ditangani sejak dini melalui strategi nasional, perubahan pola hidup, serta kesadaran masyarakat untuk menjaga kesehatan. Jika tidak, beban penyakit kronis akibat obesitas bisa semakin berat ditanggung di masa depan. (H-2)
[OTOMOTIFKU]