
Revisi keempat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN memasuki babak krusial dengan hadirnya gagasan pembentukan Badan Pengaturan BUMN (BP BUMN). Transformasi nomenklatur ini dipandang sebagai langkah monumental untuk memperkuat peran negara dalam mengarahkan dan mengawasi BUMN secara lebih efektif.
Anggota Komisi VI DPR RI, Gde Sumarjaya Linggih mengatakan, tersebut bukan sekadar administratif, melainkan rekonstruksi kelembagaan yang menegaskan bahwa pengelolaan BUMN membutuhkan otoritas pengatur yang kokoh, modern, dan responsif terhadap dinamika ekonomi global.
Ia menilai penguatan kelembagaan ini sebagai jawaban atas berbagai tantangan yang selama ini dihadapi BUMN, mulai dari tumpang tindih fungsi hingga lemahnya koordinasi antar-entitas.
“Pembentukan BP BUMN adalah momentum penting untuk menata ulang arsitektur kelembagaan BUMN. Negara tidak hanya hadir sebagai pemilik saham, tetapi juga sebagai pengatur yang memastikan setiap BUMN dikelola sesuai prinsip good corporate governance, profesionalisme, dan keberlanjutan,” tegas Sumarjaya Linggih dalam keterangannya, Sabtu (27/9).
Revisi UU BUMN ini, sambung dia, juga memberikan kewenangan tambahan bagi BP BUMN, meliputi penyusunan kebijakan strategis lintas sektor, penguatan koordinasi korporasi, hingga penataan ulang hubungan antar-holding dan anak usaha. Dengan otoritas yang lebih luas, BP BUMN diharapkan mampu mengonsolidasikan kekuatan BUMN agar lebih terarah dalam mendukung agenda pembangunan nasional, termasuk hilirisasi sumber daya alam, transisi energi, serta penguatan kemandirian pangan dan kesehatan.
Menurut Gde, langkah tersebut selaras dengan kebutuhan membangun BUMN yang tidak hanya mengejar profitabilitas, tetapi juga menunaikan mandat konstitusional sebagai agen pembangunan.
“Kita membutuhkan lembaga pengampu yang kuat, bukan sekadar regulator administratif. BP BUMN harus menjadi otoritas strategis yang dapat mengarahkan BUMN untuk meningkatkan dividen, membuka lapangan kerja baru, dan memperluas peran Indonesia di kancah global,” bebernya.
Ia menambahkan bahwa perubahan nomenklatur menjadi BP BUMN sekaligus menutup ruang kerancuan fungsi yang selama ini kerap memicu inefisiensi. Dengan peran yang lebih terdefinisi, BP BUMN akan menjadi jangkar tata kelola, sementara manajemen BUMN dapat lebih fokus pada transformasi bisnis, ekspansi pasar, dan inovasi layanan publik.
“Revisi ini bukanlah mempercantik kelembagaan, melainkan strategi besar untuk memperkokoh kedaulatan ekonomi nasional. Negara hadir melalui BP BUMN dengan wajah baru yang lebih modern, akuntabel, dan berdaya saing. Dengan demikian, BUMN tidak hanya menjadi mesin ekonomi, tetapi juga benteng kepentingan bangsa di tengah kompetisi global yang semakin ketat,” pungkasnya. (E-3)
[OTOMOTIFKU]