Keracunan Makan Bergizi Gratis, SPPG Harus Diisi Tenaga Berkompeten

Keracunan Makan Bergizi Gratis, SPPG Harus Diisi Tenaga Berkompeten
Ketua Umum Ormas G-Nesia sekaligus pendiri Diwa Foundation, Diah Warih Anjari(G-Nesia)

KASUS keracunan massal akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menimpa sejumlah siswa di berbagai daerah terus memantik keprihatinan publik.

Ketua Umum Ormas G-Nesia sekaligus pendiri Diwa Foundation, Diah Warih Anjari. menegaskan perlunya investigasi mendalam.  Menurutnya, rentetan insiden ini adalah alarm keras bahwa program nasional yang sejatinya mulia justru dihadapkan pada persoalan serius dalam eksekusi di lapangan.

“Anak-anak yang seharusnya sehat dan ceria justru tumbang di ruang kelas karena keracunan. Ini tragedi yang tidak boleh dianggap sepele. Negara wajib hadir bukan hanya dengan program, tetapi juga memastikan implementasi di lapangan aman, higienis, dan benar-benar sesuai standar,” kata Diah dalam keterangan yang diterima, Minggu (28/9). 

Ia menilai, masalah ini tak cukup ditangani dengan tambal sulam atau sekadar menyalahkan vendor penyedia makanan. Yang dibutuhkan, kata dia, adalah evaluasi total dari pusat hingga daerah, mulai dari perencanaan, distribusi, hingga pengawasan.

Kalau ada celah di satu titik rantai distribusi, dampaknya bisa fatal. Karena itu, seluruh level harus ditata ulang. Pemerintah pusat harus memastikan standar ketat, pemerintah daerah wajib mengawasi dengan benar, dan pihak sekolah jangan sampai abai,” ujarnya.

Peran Krusial SPPG

Diah juga menyoroti keberadaan Satuan Pelaksana Program Gizi (SPPG) yang ia nilai krusial dalam menentukan kualitas program MBG. Ia menegaskan, posisi tersebut tidak boleh hanya ditempati karena alasan politis atau kedekatan personal.

“SPPG itu garda terdepan. Mereka harus diisi orang-orang yang berkompeten, punya integritas, dan paham betul soal gizi serta keamanan pangan. Jangan main-main dengan urusan perut anak bangsa. Jika salah kelola, yang dipertaruhkan adalah masa depan generasi kita,” ujarnya.

Lebih jauh, Diah menekankan bahwa keberadaan SPPG harus dipahami sebagai bentuk pengabdian, bukan ajang mencari keuntungan.

“SPPG itu pengabdian. Bukan orientasi bisnis yang berharap keuntungan ekonomi. Kalau mentalnya dagang, ujung-ujungnya kualitas bisa dikorbankan. Dan yang jadi korban siapa? Anak-anak kita,” ujarnya dengan nada tajam.

Ia pun mengingatkan, program MBG jangan hanya jadi proyek seremonial semata. Keberadaannya harus benar-benar memberi jaminan kesehatan bagi peserta didik.

“Ini bukan sekadar proyek, ini soal nyawa dan masa depan. Evaluasi menyeluruh adalah harga mati agar kasus serupa tidak berulang,” kata dia. (P-4)

[OTOMOTIFKU]