
Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Frontiers in Communication mengungkap alasan mengapa hinaan sering terasa jauh lebih menancap di ingatan dibandingkan pujian. Studi ini dilakukan oleh peneliti bahasa Marijn Struiksma dan timnya di Belanda, dengan melibatkan hampir 80 partisipan perempuan.
Dalam percobaan, para peserta dipasangi elektroda di kulit kepala untuk merekam aktivitas otak mereka. Mereka kemudian mendengarkan berbagai jenis kalimat, mulai dari hinaan, pujian, hingga pernyataan netral. Hasilnya menunjukkan bahwa otak merespons hinaan secara lebih cepat, kuat, dan konsisten dibandingkan kalimat positif.
Reaksi otak terhadap kata-kata menyakitkan muncul hanya dalam waktu 250 milidetik, atau seperempat detik setelah mendengar hinaan. Ledakan aktivitas ini bahkan tetap stabil meskipun peserta sudah mendengar ratusan hinaan berulang kali. Dengan kata lain, otak manusia tidak pernah benar-benar kebal terhadap kata-kata negatif.
Menariknya, ketika para peserta mendengar pujian, otak mereka juga bereaksi. Namun, gelombang aktivitas otak yang dipicu jauh lebih kecil dibandingkan hinaan. Respons ini juga tidak melemah, tetapi tetap tidak mampu menandingi kekuatan dampak emosional dari kata-kata hinaan.
Fenomena ini berkaitan erat dengan apa yang dikenal sebagai negativity bias, yaitu kecenderungan alami manusia untuk lebih mengingat hal-hal negatif ketimbang yang positif. Tak heran jika komentar pedas atau hinaan bisa menghantui pikiran kita berhari-hari, sementara pujian sering kali cepat terlupakan.
“Temuan ini menunjukkan bahwa bahkan dalam kondisi laboratorium yang sangat artifisial, tanpa interaksi sosial nyata, hinaan tetap saja mengena dan meninggalkan bekas dari waktu ke waktu,” tulis Struiksma dan tim dalam laporannya.
Mereka juga menambahkan bahwa reaksi cepat ini bersifat otomatis, seolah otak memang dirancang untuk lebih waspada terhadap ancaman sosial. Meski begitu, para peneliti mengingatkan bahwa studi ini memiliki keterbatasan. Percobaan hanya melibatkan perempuan dan menggunakan suara laki-laki fiktif sebagai pengucap hinaan. Kondisi ini tentu berbeda dengan interaksi sosial yang lebih kompleks dalam kehidupan sehari-hari. Peneliti menduga laki-laki akan menunjukkan respons serupa, tetapi hal ini masih perlu penelitian lebih lanjut. (Science Alert/Z-10)
[OTOMOTIFKU]