
WAKIL Sekretaris Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anggana Bunawan menyoroti maraknya peredaran rokok ilegal berdasarkan data Bea Cukai 2023. Ia menyebut, tingkat peredaran rokok ilegal mencapai 6,9%, naik dari 5,5% pada 2022.
Ia menuturkan jika angka tersebut dibandingkan dengan sumbangan industri hasil tembakau (IHT) ke penerimaan negara sebesar Rp216 triliun pada, potensi kerugian negara diperkirakan mencapai Rp14,9 triliun.
“Kalau kita hitung dari pangsa rokok ilegal hampir 7% itu terhadap penerimaan negara, potensi kerugian bisa mencapai belasan triliun rupiah,” jelas Anggana dalam diskusi media Quo Vadis Perlindungan Industri Hasil Tembakau di Jakarta, Senin (29/9).
Menurut Angga, peredaran rokok ilegal seharusnya bisa ditangkal melalui penegakan hukum oleh Bea Cukai maupun Kepolisian RI. Namun, kondisi industri yang sudah jenuh membuat sebagian produsen kecil memilih jalan pintas dengan memproduksi rokok ilegal. “Sehingga, meskipun ruang gerak distribusi dan promosi sudah terbatas, praktik ini tetap terjadi,” katanya.
Angga menekankan upaya pemberantasan rokok ilegal harus diiringi dengan perhatian pemerintah pada pelaku usaha kecil. Harapannya, para produsen kecil ini dapat menjadi pelaku usaha yang tertib dengan mengikuti seluruh ketentuan yang berlaku.
Ke depan, pemerintah juga diharapkan dapat menghadirkan paket kebijakan yang bersifat win-win, seperti penguatan. kapasitas produksi. Sehingga, para produsen kecil bisa tetap bertahan secara legal. “Dengan begitu, tujuannya adalah penyelamatan industri tembakau ini,” katanya.
KOMPONEN CUKAI ROKOK
Dalam kesempatan sama, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika menjelaskan, komponen cukai dalam harga rokok mencapai sekitar 70%. Artinya, 70% dari satu batang rokok langsung masuk ke negara dalam bentuk cukai dan pajak. Sisanya, 30% dipakai perusahaan untuk biaya produksi, distribusi, keuntungan, dan lainnya.
Menurutnya, kondisi ini membuat keseimbangan industri menjadi timpang. Dengan beban cukai yang tinggi, harga rokok yang dijual semakin mahal. Sementara, rokok ilegal tidak membayar cukai, mereka menjual dengan harga jauh lebih murah dibanding rokok legal.
Hal tersebut dianggap menguntungkan dibandingkan menjalankan usaha secara legal. Hal ini menjadi penyebab peredaran rokok ilegal masih marak. “Penggelapan cukai tadi itu jauh lebih menguntungkan daripada yang melakukan secara legal. Itu kenapa rokok ilegal ini banyak dilakukan,” terang Juli.
Kementerian Perindustrian, lanjutnya, telah melakukan sejumlah langkah antisipasi untuk menekan praktik ilegal tersebut. Di antaranya adalah registrasi mesin produksi rokok, pengaturan tata kelola penggunaan kertas pembungkus rokok, serta penerapan kebijakan lain yang diharapkan mampu menekan peredaran rokok ilegal di masyarakat.
KENAIKAN TARIF CUKAI
Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin) Faisol Riza menambahkan, tarif cukai terus naik. Pada 2020 naik 23%, 12,5% pada 2021, 12% pada 2022, dan 10% pada 2023 serta 2024. Hal ini diikuti kenaikan harga jual eceran. Akibatnya, rokok ilegal kini semakin masif beredar di masyarakat. “Ini juga merugikan industri yang patuh membayar cukai,” imbuhnya.
Selain itu, kebijakan non-fiskal seperti Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang pelaksanaan UU Kesehatan juga menjadi sorotan karena sejumlah ketentuannya akan berlaku penuh mulai Juli 2026.
Dengan ruang gerak industri yang semakin terbatas, Faisol mengingatkan keberlangsungan industri hasil tembakau (IHT) berkaitan langsung dengan sekitar enam juta tenaga kerja. Karena itu, ia mengapresiasi pernyataan Menteri Keuangan yang memastikan tarif cukai hasil tembakau tidak akan naik tahun depan.
“Menkeu menyatakan cukai tidak akan dinaikkan tahun depan, kami berharap bisa dipertimbangkan lebih komprehensif terutama peredaran rokok ilegal. Semoga yang ilegal bisa menjadi legal, dan yang ilegal tidak bisa beredar,” pungkasnya. (E-2)
[OTOMOTIFKU]