Pancasila Vs Kepemimpinan Tertutup Trump Dua Pilihan Masa Depan

Pancasila Vs Kepemimpinan Tertutup Trump: Dua Pilihan Masa Depan
(Dok. Pribadi)

PIDATO Donald Trump di Sidang Umum PBB pada 23 September 2025 memicu keprihatinan global. Di hadapan para pemimpin dunia, Trump menyampaikan pidato yang mencerminkan sikap egosentris, terkait kepentingan politik domestik negaranya daripada tanggung jawab dunia. Trump menunjukkan jenis kepemimpinan tertutup yang membahayakan perdamaian dan perikemanusiaan dunia.

Trump menyebut perubahan iklim sebagai ‘penipuan besar’, menolak multilateralisme, berisi narasi antiimigrasi, dan mengampanyekan supremasi Kristen-kulit putih, serta bersikap permisif terhadap genosida di Gaza. Seluruh sikap tersebut sebenarnya merupakan penyulut perpecahan, konflik, dan potensi perang.

Menurut Teori U (Otto Scharmer 2007), Trump menampilkan contoh nyata kepemimpinan yang tertutup pikiran, hati, dan kehendak (close mind, heart, will). Kepemimpinan semacam itu tidak hanya gagal menjawab tantangan global, tetapi juga menimbulkan ancaman serius terhadap keberlanjutan bumi dan kelangsungan kemanusiaan.

Sebaliknya, Pidato Presiden Prabowo membalik hampir semua pesan Trump dengan menguraikan nilai-nilai Pancasila yang justru selaras dengan Teori U yang dikembangkan di MIT. Pancasila dan Teori U jelas mendukung Teori Kepemimpinan Terbuka yang sesuai bagi penyelesaian disrupsi dunia.

 

KOLABORASI VS DOMINASI

Sesuai Teori U, pikiran terbuka (open minded) berarti berani melihat realitas apa adanya, mendengarkan data baru dengan hadir penuh dan utuh (presencing) karena mampu meninggalkan prasangka-prasangka. Sebaliknya, pikiran yang tertutup (close-minded) menutup diri dari kebenaran dan fakta sehingga menolak untuk hadir menghadapinya alias menghilang (absencing).

Trump menunjukkan sikap close-minded ketika menolak bukti ilmiah perubahan iklim, menudingnya sebagai penipuan. Ia juga menutup pikiran dari kenyataan gelombang imigrasi yang diakibatkan perang yang disulut bahkan disponsori Amerika, termasuk terhadap genosida rakyat Palestina di Gaza, akibat supply senjata pembunuh massal dari negaranya.

Parahnya, Trump juga menolak multilateralisme—untuk menyelesaikan masalah global dan malah mengajukan dominasi Amerika. Jelas Trump menutup ruang dialog yang justru sangat dibutuhkan di tengah krisis planet dan konflik bersenjata.

Sikap itu bertentangan dengan sila kedua dan keempat Pancasila, yaitu kemanusiaan yang menuntut keterbukaan terhadap penderitaan sesama dan musyawarah/kolaborasi yang mensyaratkan dialog dan demokrasi. Kepemimpinan tertutup yang menolak fakta dan dialog berarti mengingkari prinsip dasar kemanusiaan dan kebijaksanaan.

Dimensi kedua Teori U adalah hati yang terbuka (open heart), yaitu kemampuan merasakan penderitaan orang lain, menumbuhkan empati, dan membuka diri pada suara yang lemah. Kepemimpinan tertutup bisa dikatakan tanpa hati yang terbuka, dingin, kaku, dan diskriminatif.

Trump memperlihatkan close-hearted leadership ketika menolak pengungsi dan imigran, mendukung narasi islamofobia, serta mendorong politik supremasi kulit putih dan Kristen. Retorika itu meniadakan empati terhadap jutaan manusia yang terpaksa meninggalkan tanah air akibat perang, bencana iklim, atau kemiskinan struktural.

Sejarah menunjukkan berbahayanya kepemimpinan tanpa hati seperti Hitler yang melakukan genosida terhadap bangsa Yahudi. Kebijakan antiimigrasi, anti-Islam, dan prosupremasi memperkuat polarisasi baik nasional maupun global, mengikis rasa solidaritas, dan merusak tatanan perikemanusiaan.

Sementara itu, sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung makna pengakuan bahwa semua manusia diciptakan setara, tanpa diskriminasi agama atau ras. Sila kedua, kemanusiaan menuntut empati dan perlakuan manusiawi pada setiap orang. Dengan demikian, sikap antiempati yang ditunjukkan Trump bertolak belakang dengan nilai-nilai universal yang juga tecermin pada Pancasila.

Aspek ketiga Teori U adalah kehendak terbuka (open will) yang berisi keberanian untuk bertransformasi: melepaskan pola lama (yang melahirkan krisis) dan membuka diri pada masa depan yang lebih berkeadilan. Artinya, close-willed berarti terjebak dalam pola lama berisi dominasi, eksklusivitas, dan nasionalisme yang sempit.

Trump dengan slogan America First menolak peran kepemimpinan kolaboratif. Ia lebih memilih mempertahankan pola dominasi lama Amerika Serikat di dunia, yang berisi logika kompetisi dan militerisme. Sikap demikian tidak hanya gagal menciptakan masa depan baru, tetapi juga mengunci dunia dalam spiral lama kekerasan dan ketidakadilan yang berwujud ketimpangan-ketimpangan.

Bandingkan dengan sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yang berisi prinsip solidaritas sosial yang berlaku nasional dan global. Kehendak demikian membutuhkan keberanian untuk meninggalkan pola eksploitatif dengan membuka diri pada tatanan dunia yang lebih setara. Close-willed leadership ala Trump justru akan menutup kemungkinan untuk kemajuan kesejahteraan dan keadilan di dunia.

 

TEORI U DAN PANCASILA: KEPEMIMPINAN TERBUKA UNTUK KEADILAN SOSIAL

Kepemimpinan Tertutup Trump tidak sekadar wacana politik, tetapi juga ancaman nyata terhadap perdamaian dunia. Dukungan terhadap genosida di Gaza memperlemah hukum humaniter internasional. Narasi anti-Islam dan antiimigran memperparah konflik identitas. Penolakan multilateralisme meruntuhkan kerja sama global di saat dunia menghadapi krisis iklim, pandemi, dan ketidaksetaraan ekonomi.

Kepemimpinan Tertutup akan menormalisasi kekerasan, diskriminasi, dan isolasionisme. Dunia akan semakin berbahaya: perdamaian rapuh, krisis kemanusiaan meningkat, dan keberlanjutan bumi terancam.

Teori U dan Pancasila menawarkan jalan transformasi melalui open mind: menerima realitas baru, berpikir berbasis sains, dan bersedia berdialog. Open heart: menumbuhkan empati, solidaritas, dan perikemanusiaan dan open will: berani meninggalkan pola lama menuju masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan.

Nilai-nilai itu sangat sejalan dengan Pancasila. Keterbukaan pikiran lewat musyawarah (sila keempat), keterbukaan hati lewat kemanusiaan yang adil dan beradab (sila kedua), serta keterbukaan kehendak lewat perjuangan keadilan sosial (sila kelima). Bahkan, sila pertama menegaskan dasar spiritual yang memperkuat empati lintas agama, sedangkan sila ketiga menegaskan pentingnya persatuan di atas perpecahan.

Pidato Trump di PBB mengingatkan dunia pada bahaya besar kepemimpinan tertutup. Close mind menolak fakta, close heart menutup empati, close will mengurung masa depan dalam pola lama. Kepemimpinan seperti ini bukan hanya regresif, melainkan juga destruktif karena mengancam perdamaian, menghancurkan solidaritas, dan membahayakan perikemanusiaan.

Sebaliknya, dunia membutuhkan Kepemimpinan Terbuka ala Pancasila, yaitu kepemimpinan yang mampu mendengar sains, merasakan penderitaan, dan berani bertransformasi. Teori U memberikan kerangka untuk itu dan Pancasila menunjukkan bahwa nilai-nilai Kepemimpinan Terbuka sebenarnya sudah hidup dalam kearifan bangsa.

Di tengah gelombang krisis global, panggilan kita jelas: menolak Kepemimpinan Tertutup dan memperjuangkan Kepemimpinan Terbuka demi perdamaian dan keberlanjutan bumi. Hanya dengan pikiran terbuka, hati terbuka, dan kehendak terbuka, dunia bisa bergerak menuju masa depan yang adil, manusiawi, dan berkelanjutan. Mari tegakkan Pancasila untuk kemashalatan Indonesia dan dunia.

[OTOMOTIFKU]