
Mahkamah Konstitusi (MK) mencatat telah mengeluarkan 196 putusan pengujian Undang-Undang (PUU) sepanjang periode Januari hingga September 2025. Dari jumlah tersebut, 26 permohonan dikabulkan.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah menilai banyaknya undang-undang yang dibatalkan MK mencerminkan buruknya kualitas legislasi yang diproduksi DPR bersama pemerintah.
“Kualitas legislasi DPR memang terbilang buruk, sehingga ketika MK membatalkan banyak undang-undang, sebenarnya hal itu tidak terlalu mengagetkan,” ujar Herdiansyah dalam keterangannya, Selasa (30/9).
Menurutnya, DPR kerap dianggap mendorong proses legislasi hanya berdasarkan kepentingan tertentu, bukan kepentingan rakyat.
“Ada kesan DPR dan pemerintah sebagai pemegang otoritas pembentuk undang-undang hanya mendorong proses legislasi untuk kepentingan kelompok para pemodal atau kelompok oligarki,” tegas Herdiansyah.
Herdiansyah juga menyoroti peta politik di DPR yang dinilai sarat kepentingan bisnis. Dari total 580 anggota, lebih dari separuhnya merupakan pengusaha.
“Jadi tidak mengherankan kalau kualitas produksi legislasi juga pasti memihak kepada kepentingan pengusaha. Undang-undang diproduksi hanya untuk kepentingan kelompok tertentu,” katanya.
Ia menyebut praktik tersebut dalam studi hukum dikenal sebagai otokratik legalism. Alih-alih digunakan sebagai alat untuk melindungi rakyat, justru legislasi digunakan untuk menguntungkan kepentingan kelompok tertentu.
“Dalam praktik otokratik legalism, DPR dan pemerintah menggunakan produk undang-undang untuk kepentingan kelompok tertentu. Kualitas undang-undang tidak lagi dihiraukan, yang penting memuaskan nafsu politik kelompok tertentu,” jelas Herdiansyah.
Kondisi itu, lanjutnya, ditandai dengan undang-undang yang dibuat secara cherry picking, sering menimbulkan ketegangan antara MK dengan DPR maupun pemerintah.
“Kepentingan yang dibawa jelas hanya mewakili para pemodal, bukan rakyat banyak. Padahal legislasi itu harusnya didorong berdasarkan kepentingan rakyat. Tapi yang terlihat justru ada cherry picking untuk kepentingan oligarki,” pungkasnya.
Seperti dilansir dari laman resmi, Mahkamah Konstitusi (MK) mencatat telah mengeluarkan 196 putusan pengujian Undang-Undang (PUU) sepanjang periode Januari hingga September 2025. Dari jumlah tersebut, 26 permohonan dikabulkan, 69 ditolak, 70 tidak dapat diterima, 28 ditarik kembali, dan 3 perkara dinyatakan gugur.(P-1)
[OTOMOTIFKU]