
SEBUAH studi terbaru menawarkan bukti kelayakan penggunaan detektor radiasi kosmik untuk menemukan ruang bawah tanah. Detektor tersebut mengidentifikasi muon partikel yang terbentuk ketika radiasi kosmik bertumbukan dengan atmosfer Bumi, yang kemudian menembus tanah sebelum kehilangan energi dan berhenti. Dengan demikian, melalui pendeteksian muon, para arkeolog dapat memetakan ruang tersembunyi seperti terowongan dan saluran.
Tim peneliti mendemonstrasikan efektivitas teknologi tersebut di situs arkeologi Kota Daud di Yerusalem, menunjukkan bagaimana sistem ini berhasil memetakan ruang bawah tanah berdasarkan perubahan daya serap tanah terhadap partikel radiasi kosmik. Hasil studi ini dipublikasikan dalam Journal of Applied Physics.
“Mulai dari piramida di Mesir, kota-kota Maya di Amerika Selatan, hingga situs kuno di Israel, para arkeolog menghadapi kesulitan dalam menemukan ruang bawah tanah,” ujar Prof. Lipschits.
Struktur di atas permukaan relatif mudah digali, dan terdapat berbagai metode untuk mengidentifikasi dinding maupun struktur di bawah permukaan. Namun, tidak ada metode yang efektif untuk melakukan survei komprehensif terhadap ruang bawah tanah yang terletak di bawah batuan tempat situs kuno berdiri.
Sebagai contoh, di Daerah Perbukitan Yudea, lapisan atas batu kapur yang keras menutupi batu gamping lunak, di mana orang-orang pada masa lalu dengan mudah menggali ruang besar untuk waduk air, kebutuhan pertanian, penyimpanan, atau bahkan tempat tinggal.
Jelas, di wilayah semacam ini, sebagian besar situs arkeologi di atas permukaan menyerupai keju Swiss di bawah batuan, tetapi kita tidak memiliki cara untuk mengetahuinya.
“Jika kebetulan kita menggali di atas permukaan, mencapai batuan, dan menemukan sebuah pintu masuk menuju rongga, maka kita dapat menggali lebih lanjut. Namun, kita tidak memiliki cara untuk menemukan ruang bawah tanah tersebut terlebih dahulu. Dalam studi ini, kami untuk pertama kalinya mengusulkan metode inovatif yang terbukti sangat efektif dalam mendeteksi ruang bawah tanah dengan detektor radiasi kosmik, khususnya muon.”
Para peneliti menjelaskan bahwa muon merupakan partikel elementer yang mirip dengan elektron, tetapi memiliki massa 207 kali lebih besar. Muon terbentuk di atmosfer ketika partikel berenergi tinggi, terutama proton, bertumbukan dengan inti molekul di udara. Tumbukan ini menghasilkan partikel tidak stabil yang disebut pion, yang kemudian meluruh sangat cepat menjadi muon. Muon juga memiliki usia sangat singkat, meluruh setelah 2,2 mikrodetik, tetapi bergerak dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya, dan berkat teori relativitas khusus Einstein, banyak dari partikel tersebut yang mampu mencapai serta menembus tanah.
“Hujan muon mengenai permukaan tanah dengan laju yang tetap dan diketahui,” jelas Prof. Etzion.
“Berbeda dengan elektron yang terhenti di tanah hanya pada kedalaman beberapa sentimeter, muon kehilangan energi secara perlahan ketika melewati tanah, dan sebagian dapat menembus jauh lebih dalam bahkan hingga 100 meter bagi partikel yang sangat berenergi,” tambahnya.
Oleh karena itu, dengan menempatkan detektor muon di bawah tanah dan memantau lingkungannya, kita dapat mengidentifikasi rongga kosong di mana kehilangan energi minimal.
“Proses ini serupa dengan pencitraan sinar-X: berkas sinar-X terhalang oleh tulang tetapi dapat melewati jaringan lunak seperti daging atau lemak, dan sebuah kamera di sisi lain menangkap citranya. Dalam kasus kami, muon bertindak sebagai berkas sinar-X, detektor kami berfungsi sebagai kamera, dan fitur bawah tanah menyerupai tubuh manusia,” ungkapnya.
Sebagaimana dijelaskan, para peneliti melakukan demonstrasi mengesankan di sebuah instalasi pahatan batu yang dikenal sebagai Sumur Yeremia di situs arkeologi Kota Daud. Dengan mengombinasikan pemindaian LiDAR beresolusi tinggi dari rongga bagian dalam dengan simulasi fluks muon, mereka mampu memetakan anomali struktural. Melalui deteksi perubahan daya tembus tanah terhadap muon, sistem ini membuktikan kelayakan penggunaan tomografi muon untuk pencitraan arkeologi.
Prof. Lipschits menekankan pentingnya keterlibatan para fisikawan untuk merespons kebutuhan arkeologi dengan mengembangkan detektor yang lebih sederhana, murah, tahan lama, serta lebih hemat energi.
Pada tahap selanjutnya, tim peneliti bermaksud mengombinasikan ilmu fisika dan arkeologi dengan kecerdasan buatan untuk menghasilkan citra tiga dimensi bawah permukaan dari data besar yang diperoleh detektor. Sebagai langkah berikutnya, mereka merencanakan Tel Azekah di jantung Perbukitan Yudea, yang menghadap ke Lembah Elah, sebagai lokasi uji coba.
Prof. Etzion menekankan bahwa penelitian ini bukanlah penemuan baru, sebab sejak tahun 1960-an muon sudah digunakan untuk mencari ruang tersembunyi di piramida Mesir, meski kini teknologi tersebut dihidupkan kembali. Inovasi timnya terletak pada pengembangan detektor kecil dan portabel yang dapat dioperasikan di situs arkeologi.
Ia juga menjelaskan bahwa kondisi lapangan berbeda dengan laboratorium karena adanya kendala listrik, suhu, dan kelembapan. Meski jangkauan deteksi dipengaruhi jarak dan waktu pengukuran, analisis citra masih dapat dilakukan secara realistis hingga jarak 30 meter dalam rentang waktu wajar.
“Oleh karena itu, tujuan kami adalah menempatkan beberapa detektor atau memindahkan satu detektor dari satu lokasi ke lokasi lain guna menghasilkan citra tiga dimensi dari keseluruhan situs pada akhirnya. Dan ini baru permulaan. Tahap berikutnya melibatkan analisis yang lebih canggih, yang akan memungkinkan kami memetakan segala sesuatu di bawah kaki kita, bahkan sebelum penggalian dimulai,” jelasnya.
Sumber: phys.org
[OTOMOTIFKU]