Maulid 100 Hari di Aceh, Tradisi Religi Marajut Tali Persaudaraan dan Keunikan Memulia Tamu

Maulid 100 Hari di Aceh, Tradisi Religi Marajut Tali Persaudaraan dan Keunikan Memulia Tamu
Warga Desa Neulop, Kemukiman Reubee, sedang meni nikmati hidangan kenduri Maulid di Desa tetangganya Gampong Tanjung, Kecamatan Delima, Kabupaten Pidie Aceh.(MI/Amiruddin Abdullah Reubee)

“ASSALAMU’ALAIKUM warahmatullahi wabarakatuh. Kepada seluruh kaum muslimin warga Gampong (Desa) Neulop, baik orang dewasa, remaja, dan anak-anak, besok kita pergi menghadiri kenduri maulid di Gampong Tanjoeng. Waktu pukul 16.00 WIB.” 

Demikianlah suara nyaring terdengar ke seantero pelosok kampung, sebuah pengumuman yang disampaikan melalui mikrofon di Meunasah (Musala) Gampong (Desa) Neulop, Kemukiman Reubee, Kecamatan Delima, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh, bertepatan selesai salat jamaah pada Sabtu (27/9) malam.

Perkampungan Desa Neulop berada persis di ibu kota Kecamatan Delima. Sedangkan Desa Tanjoeng adalah desa yang bertetangga langsung sebelah tenggara Desa Neulop. 

Sebagaimana biasanya pengumuman pada Sabtu malam itu untuk memberitahu seluruh warga desa Neulop untuk menghadiri kenduri maulid di perkampungan tetangga mereka Desa Tanjoeng. Seruan itu dilakukan agar esoknya, Minggu (28/9), sebelum pukul 16.00 WIB, warga menyiapkan diri untuk menghadiri bersama memenuhi undangan ke tempat maulid. 

Sesuai pengamatan Media Indonesia, pada hari Minggu menjelang sore itu seratusan warga Desa Neulop berkumpul di balai desa (meunasah) setempat. Lalu rombongan lelaki berbagai usia itu berangkat ke Desa Tanjoeng. 

Sesampai di komplek meunasah atau pekarangan Musalla Al-Mustaqim Desa Tanjoeng, jemaah tamu undangan dari Desa Neulop itu disambut dengan wajah gembira oleh para tokoh masyarakan dan si pemilik hidangan kenduri Maulid setempat. Tempat duduk para tamu undangan itu telah digelar tikar pandan atau plastik lantai terpal berukuran lebar di halaman terbuka. 

Ada sekitar enam pasangan hidangan dulang (wadah hidangan Maulid) telah tersedia di atas gelaran tikar tersebut. Setiap pasangan hidangan itu, satu dulang lauk atau berbagai masakan ikan khas Aceh. Lalu satu dulang lagi ada nasi, serta ditambah rantang daging kari dan satu panci kuah lemak ayam santan serta berbagai jenis sayur-mayur. 

Sebelum membuka dulang untuk menikmati hidangan kenduri memperingati kelahiran Rasullah Muhammad SAW, jemaah lebih dulu berselawat kepada Sang Junjungan Nabi Mulia. Untuk menghormati dan kemuliaan Sang Nabi para lelaki dewasa dan anak-anak, mengumandangkan salawat atau zikir barzanji sambil berdiri mengelilingi pinggiran alas tikar. 

Tokoh agama dan guru pengajian di Desa Neulop Teungku Martunis, dan imam kampung Teungku Muhamad Nur, memimpin salawat yang di ikuti para hadirin rombongan itu. Sekitar 5 menit bersalawat barzanji sebagai wujud cinta kepada Sang Rasul, hidangan dulang kenduri pun di bukan dan dibagikan oleh beberapa pemuda untuk dinikmati bersama. 

Setalah membagikan nasi putih plus bercampur berbagai jenis masakan kari daging, gulai ikan khas Aceh, dipersilahkan menikmati. Nasi kenduri maulid yang menggunakan bungkusan daun pisang itu pun memiliki kelezatan khas karena dilengkapi berbagai lauk daging atau lainnya. 

Sebagian nasi kenduri maulid itu dinikmati langsung di lokasi, ada juga yang dibungkus untuk dibawa pulang menikmati bersama sanak keluarga di rumah masing-masing. Kalau yang ingin membawa pulang biasanya menyiapkan atau mengambil dua bungkus. 

“Setidaknya ada dua hal perantau Aceh teringat ke kampung halaman. Pertama saat lebaran tiba untuk bertemu sanak keluarga dan makan kue timphan (kue khas Aceh terbuat dari adonan tepung beras ketan berisi kelapa parut atau srikaya berbalut pucuk pisang). Yang kedua ketika tiba musim kendiri Maulid dari 12 Rabiul Awal hingga 10 hari bulan Jumal Akhir,” tutur M Adli Abdullah, Sejarawan Aceh dari Universitas Syiah Kuala (USK) Darussalam Banda Aceh, kepada Media Indonesia, Selasa (30/9). 

Penelusuran Media Indonesia, perayaan memperingati Maulid Nabi di Aceh sudah berlangsung berabad-abad atau sekitar 500 tahun silam. Satu fersi menyebutkan, sejak masa pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah, awal abad ke-16 Masehi atau sekitar tahun 1507 M, perayaan Maulid Nabi sudah dirayakan. 

M Adli Abdullah yang juga Dosen Senior USK, menyebutkan perayaan kenduri maulid besar-besaran di Aceh baru setelah Pemerintah Turki mengirim peralatan senjata ke Aceh. Senjata itu untuk membantu sultan Aceh Alaidin Riayatsyah Al qahhar melawan penjajahan Portugis pada tahun 1565 di masa Sultan Salim II memerintah Turki. 

“Kala itu Sultan Salim dari Turki, mengirim senjata ke Aceh, diantaranya adalah meriam untuk melawan penjajahan Portugis. Setelah diplomasi bantuan meriam (disebut meriam lada seucupak), untuk Aceh. Sebagai uang bayaran atau tebusan, Turki meminta Aceh untuk memuliakan Rasulullah dengan kenduri maulid selama 3 bulan,” kata Adli Abdullah yang dikenal menghafal sejarah Nusantara. 

Dikatakannya, kenduri maulid itu harus dilakukan setiap tahun, maka dikenal di Aceh bulan maulid ada tiga bulan yaitu Maulod Phon (maulid bulan pertama pada mulai 12 Rabiul Awal. Lalu Maulod adoe atau maulid kedua atau Maulid Teungoh (maulid kedua itu pada bulan Rabiul Akhir).

Berikutnya Moulod ke Lhee (maulid ke tiga bulan Jumadil Awal) dan Maulid akhe (maulid akhir, yaitu 10 hari pertama pada bulan Jumadil Akhir). Tradisi merayakan maulid tiga bulan itu semakin diperkuat pada zaman Pemerintahan Aceh dibawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607M-1636 M). 

Itu dilakukan sebagai bentuk kecintaan kepada Rasulullah dan syiar Islam. Kemudian menjadi tradisi turun-temurun di masyarakat Aceh. Tenyata tradisi religi mewarnai silaturahmi antarsesama keluarga dan kerabat itu terus diwarisi dan dilestarikan. 

Selain refleksi kecintaan kepada Rasullullah, kenduri Maulid juga menjadi moment kebersamaan atau media memper erat hubungan keluarga. Bukan saja mereka yang ada di kampung tapi juga mengundang sanak famili dari yang sudah merantau ke luar. 

“Saat kenduri maulid itu, kerabat atau saudara dekat datang lebih awal guna saling membantu dua hari sebelum acara. Sedangkan yang jauh diperantauan menyempatkan diri pulang untuk ikut bergabung kenduri bersama atau sekedar memenuhi undangan saudara di kampung halaman,” tutur Ghina Zuhaira, dokter muda dari Universitas Syiah Kuala yang sedang koas di Rumah Sakit Zainoel Abidin Banda Aceh, Selasa (30/9). 

Dikatakan Ghina Zuhaira, kenduri perayaan maulid di Aceh bukan sekedar tradisi warisan budaya. Tapi memiliki nilai sosial dan silaturrahmi cukup tinggi. 

Lalu menjadi ajang perbaikan gizi hingga 100 hari lamanya musim maulid. Mengapa tidak, kenduri maulid di Aceh terkenal sangat bersahaja dan paling mewah. 

Berbagai masakan khas Aceh, mulai dari beragam daging, ikan laut berkualitas bagus, sayuran dan buah buahan, semua tersedia. Lalu berbagai lauk atau masakan kari beragam daging, mulai dari itik, ayam, sapi hingga kerbau menjadi menu andalan untuk para tamu. 

“Uniknya kenduri itu tidak hanya yang dibawa ke lokasi komplek meunasah (balai desa) untuk tetamu lelaki antarkampung sekitar. Tapi juga mengundang sanak keluarga, sahabat hingga guru atau murid ke rumah-rumah kenduri,” ujar Farida Hanum, mahasiswa FKIP dari USK asal Garot, Kecamatan Indrajaya, Kabupaten Pidie. 

Seperti dituturkan Ghina Zuhaira, pada 12 Rabiul Awal bulan lalu, menyempatkan diri pulang diri dari Banda Aceh ke Reubee, Kecamatan Delima, Pidie, untuk menikmati perayaan Maulid di kampung halamannya. Alumni siswa SMA Sukma Bangsa Pidie ini tidak menyia-nyiakan waktu liburan tiga hari di awal musim maulid 12 Rabiul awal kali ini. 

“Kenduri Maulid tardisi religi yang memiliki ke unikan khusus di Aceh. Almarhumah nenek dulu sering bilang, kenduri maulid untuk memuliakan Rusulullah Muhammad SAW dan putrinya Siti Fatimah Zahra. Saat menyatnap kenduri maulid, setelah baca bismillah niatlah supaya menjadi obat dan mendapat syafaat Rasul kemudian hari. Wallahu Alam,” demikian tutur Dokter Muda Ghina Zuhaira dengan wajah ceria. (MR/E-4)

[OTOMOTIFKU]