
Kementerian Perdagangan memproyeksikan potensi pertumbuhan ekspor bahan bangunan dan konstruksi Indonesia ke pasar ASEAN. Hal itu ditargetkan setelah rampungnya ratifikasi Pengaturan Saling Pengakuan Sektoral ASEAN untuk Bahan Bangunan dan Konstruksi (ASEAN Sectoral Mutual Recognition Arrangement for Building and Construction Materials/MRA BCM). Menteri Perdagangan Budi Santoso berharap, selesainya ratifikasi dapat memperkuat daya saing produk nasional, membuka akses pasar lebih luas, dan meningkatkan infrastruktur mutu nasional.
“Manfaat dari ratifikasi ini, pertama, mengurangi hambatan teknis perdagangan karena pengakuan timbal balik atas hasil uji dan Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK) sehingga negara anggota tidak perlu mengulangi pengujian barang impor dari negara ASEAN lainnya,” katanya dalam keterangan resmi, Selasa (30/9).
Manfaat kedua, mendorong perdagangan intra-ASEAN yang akan mempermudah pergerakan produk bahan bangunan antar-ASEAN karena tidak perlu sertifikasi ulang. Ketiga, memperkuat infrastruktur teknisbagi laboratorium pengujian, lembaga sertifikasi, dan akreditasi agar sesuai standar internasional,” kata Mendag.
Budi menyampaikan, MRA ini bertujuan untuk memberikan pengakuan bersama atas hasil pengujian atau sertifikasi bahan bangunan dan konstruksi yang diterbitkan oleh LPK terdaftar. Pengakuan bersama atas hasil penilaian kesesuaian bahan bangunan dan konstruksi ini akan berlaku di semua aktivitas perdagangan. Laporan uji atau sertifikasi akan menjadi dasar tindakan regulasi.
Sektor konstruksi Indonesia memiliki kekuatan dengan pertumbuhan yang pesat di dalam negeri dan di kawasan ASEAN. Subsektor utama, yaitu semen, baja, dan kaca, memiliki kapasitas produksi yang terus meningkat dan konsisten. Peluang pasar ketiga subsektor tersebut juga besar.
“Untuk sementara, pengakuan hasil pengujian atau sertifikasi bahan bangunan ini masih terbatas pada semen, kaca, dan baja. Persetujuan ini akan mendorong peningkatan ekspor, juga efisiensi dari sisi waktu dan biaya dengan melakukan pengujian di dalam negeri,” lanjut Mendag.
Ia menyampaikan, tantangan yang menjadi perhatian pemerintah dalam implementasi persetujuan ini, antara lain, investasi yang rendah dan kompetisi antarnegara ASEAN di ketiga subsektor. Kemudian, belum tersedianya peraturan teknis sebagai panduan turunan, sehingga berpotensi melambatkan proses harmonisasi atau penyesuaian MRA BCM dan potensi tumpang tindihnya peraturan.
Dalam memitigasi tantangan dimaksud, pemerintah akan mengupayakan penguatan kemampuan LPK di Indonesia, baik secara kuantitatif dan institusional maupun sumber daya manusianya(SDM). Juga diupayakan peningkatan kapasitas pelaku industri nasional, baikdari sisi kualitas dan kuantitas produkmaupun melalui peraturan turunan teknis dari kementerian dan lembaga terkait untuk mengarahkan dan mengoptimalkan manfaat dari MRA BCM.
“Selain itu, pemerintah akan memberikan dukungan kebijakan kepada industri terkait, baik dalam konteks perlindungan maupun pengembangan, yang tidak melanggar ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia(WTO) atau perjanjian internasional yang sudah berlaku sebelumnya,” kata Mendag.
Saat ini, Malaysia merupakan satu-satunya negara anggota ASEAN yang telah melakukan ratifikasi persetujuan MRA BCM. Negara-negara anggota lainnya, termasuk Indonesia, masih dalam proses penyelesaian ratifikasi.
Sementara itu, Ketua Komisi VI DPR RI Anggia Erma Rini mendukung pengesahan implementasi ratifikasi MRA BCM secepatnya untuk memudahkan industri dalam negeri memperluas pangsa pasar di kawasan ASEAN.
“MRA BCM ini menjadi sangat penting karena sektor industri Indonesia berkesempatan untuk memperluas cakupannya. Seringkali kita punya barang bagus, sudah kita tes uji lab di Indonesia,tetapi akan tertolak di negara tujuan,” kata Anggia. (E-3)
[OTOMOTIFKU]