Perusahaan BUMN Terjebak Inkompetensi dan Kepentingan Politik

Perusahaan BUMN Terjebak Inkompetensi dan Kepentingan Politik
Ilustrasi(Antara)

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menuturkan, perusahaan pelat merah saat ini berada tampak terjebak pada inkompetensi dan politik. Alih-alih menjadi motor penggerak ekonomi, BUMN justru berisiko berubah menjadi beban negara akibat tata kelola yang buruk, penunjukan komisaris berdasarkan politik, serta rangkap jabatan pejabat negara.

Menurutnya, kondisi itu tidak hanya berpotensi memunculkan pemborosan, tetapi juga mengikis kepercayaan publik dan investor terhadap profesionalisme BUMN. “Ini semua akan berujung pada yang namanya BUMN failure. Gagalnya BUMN yang harusnya me-leverage ekonomi, tapi justru jadi beban, jadi pemborosan,” ujarnya dalam konferensi pers dan diskusi daring bertajuk Komisaris Rasa Politisi: Perjamuan Kuasa di BUMN, dikutip pada Rabu (1/10). 

Ia menyoroti fungsi komisaris yang semestinya menjadi pengawas strategis dan pemberi masukan teknis. Namun realitasnya, banyak posisi itu justru ditempati oleh relawan politik atau mantan pembantu presiden yang tidak memiliki kompetensi di sektor terkait. Akibatnya, fungsi pengawasan menjadi tumpul dan tidak mampu memberi arah bisnis jangka panjang, misalnya dalam transisi energi terbarukan.

Bhima menuturkan, rangkap jabatan semakin merusak meritokrasi di BUMN. Sementara 1,4 juta pelamar harus bersaing ketat memperebutkan hanya 2.000 posisi, kursi komisaris justru dengan mudah diisi oleh orang-orang dengan kedekatan politik. Kondisi itu menimbulkan demoralisasi pegawai, memutus jenjang karier, dan menurunkan produktivitas.

“Yang sudah masuk ke BUMN ngeliat, ngapain kerja capek-capek, toh komisaris ditunjuk berdasarkan political appointee. Efeknya adalah demoralisasi dan turunnya produktivitas,” jelas Bhima.

Ia juga mengingatkan, inkompetensi manajemen akan memperburuk kondisi keuangan negara. Celios mencatat, praktik rangkap jabatan 35 menteri dan wakil menteri diperkirakan menimbulkan pemborosan hingga Rp2,1 triliun per tahun. Dana tersebut seharusnya bisa dialokasikan untuk memperluas serapan tenaga kerja atau memperkuat industri pengolahan yang sedang terpuruk.

Selain itu, Bhima menyebut adanya risiko serius dari pembentukan BPI Danantara. Ia menilai, badan tersebut lebih sibuk menampung proyek bermasalah dan sarat konflik kepentingan, terutama dengan industri ekstraktif seperti batubara. Hal itu membuat kepercayaan investor kian luntur.

“Investor yang mau masuk ngelihat komisaris-pengawasnya begitu, kalau saya masukkan uang jutaan dolar untuk joint venture, apa nggak deg-degan tiap hari?” kata Bhima.

Survei Celios juga menunjukkan kekhawatiran publik yang tinggi, 61% responden menilai Danantara berisiko menambah beban utang BUMN, 59% melihat potensi penyalahgunaan kekuasaan, dan 80,7% mengkhawatirkan risiko korupsi akibat konflik kepentingan serta rangkap jabatan.

Adapun dari hasil riset yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia menunjukkan, saat ini terdapat 562 kursi komisaris dari 59 perusahaan BUMN dan 60 perusahaan sub-holding. Dari jumlah kursi komisaris itu, 174 di antaranya diisi oleh birokrat; 165 oleh politisi; 133 profesional; 35 militer; 29 aparat penegak hukum; 15 akademisi; 10 dari organisasi kemasyarakatan; dan 1 mantan pejabat negara. 

Pada 59 perusahaan holding BUMN, birokrat dan politisi mendominasi kursi komisaris dengan persentase masing-masing 37,8% dan 31,3%. Sementara porsi profesional hanya 14,9%. Sedangkan di 60 sub-holding BUMN, komisaris dari kalangan politisi tercatat 27,5% dan birokrat 24,4%, serta profesional 32,1%.

Dari 165 politisi yang menduduki kursi komisaris di 59 perusahaan holding BUMN dan 60 perusahaan sub-holding, sebanyak 104 orang merupakan kader partai dan 61 sisanya merupakan relawan politik. 

Partai Gerindra memiliki porsi paling besar dari kader yang menduduki kursi komisaris di BUMN, yakni 48,6%. Itu diikuti oleh kader dari Demokrat 9,2%; Golkar 8,3%; PDIP, PAN, dan PSI masing-masing 5,5%; PKB 4,6%; NasDem 2,8%; dan Perindo, PPP, serta Partai Buruh masing-masing 1,8%. (E-3)

[OTOMOTIFKU]