
KAPAL selam Angkatan Laut Amerika Serikat era Perang Dunia I ditemukan di kedalaman lebih dari 1.300 kaki (sekitar 396 meter). Tepatnya di bawah Samudra Pasifik, barat San Diego.
USS F-1 tenggelam pada 17 Desember 1917 setelah bertabrakan saat latihan. Peristiwa ini menewaskan 19 pelaut menurut catatan Angkatan Laut.
Misi samudra baru-baru ini berhasil memetakan bangkai kapal. Dengan detail tajam menggunakan teknologi modern tanpa mengganggu lokasinya. Ekspedisi ini sekaligus berfungsi sebagai pelatihan bagi pilot dan insinyur pengoperasi kendaraan bawah laut canggih.
Tim dipimpin oleh Bruce Strickrott dari Woods Hole Oceanographic Institution (WHOI). Ia mendokumentasikan lambung kapal selam dan dasar laut sekitarnya melalui foto serta video beresolusi tinggi.
Dalam misi ini digunakan kendaraan berawak Alvin yang mampu menyelam hingga 6,5 kilometer. Kapasitas itu memungkinkan tim mengamati langsung situs kapal selam. Dan melakukan manuver hati-hati di sekitar fitur yang sensitif.
Hasil pengamatan pertama menunjukkan kapal selam masih utuh. Dengan posisi terbaring miring. Namun, beberapa bagian utama masih terlihat jelas.
Sebelum Alvin diturunkan, kendaraan bawah laut otonom Sentry lebih dulu memetakan area dengan sonar. Sentry mampu beroperasi hingga kedalaman 6 kilometer. Bergerak stabil mengikuti jalur terprogram untuk pemetaan dasar laut.
Data dari Sentry kemudian membantu Alvin melakukan lintasan lambat di atas bangkai kapal. Menjaga jarak aman agar tidak mengganggu sedimen atau menyentuh lambung kapal.
Ribuan foto yang diambil selama misi kemudian digabungkan dengan metode fotogrametri. Menghasilkan model 3D presisi yang memudahkan peneliti mengukur dimensi kapal, meneliti perubahan seiring waktu, hingga merekonstruksi kronologi tenggelamnya kapal.
Sejarah Tenggelamnya USS F-1
USS F-1 tenggelam dalam kondisi kabut tebal ketika kapal saudaranya. USS F-3, menabrak lambungnya di lepas pantai Point Loma. Menurut catatan Angkatan Laut, F-1 karam hanya dalam hitungan detik. Lima pelaut di geladak berhasil selamat, sementara 19 lainnya gugur.
Karena statusnya sebagai kuburan perang dan bangkai kapal yang dilindungi, para ilmuwan menerapkan prinsip non-kontak dalam survei. Yaitu hanya mendokumentasikan tanpa menyentuh.
Untuk menghormati para korban, awak penelitian menggelar upacara singkat di atas lokasi karam. Lonceng kapal dibunyikan 19 kali, disertai pembacaan nama-nama pelaut yang gugur.
Selain mendokumentasikan situs bersejarah, misi ini juga melatih keterampilan pilot dan teknisi bawah laut. Untuk menghadapi habitat kompleks di kedalaman.
Pemetaan bangkai kapal membutuhkan koordinasi mulus antara beberapa profesi. Seperti perwira kapal, pilot kendaraan, operator sonar, hingga spesialis pencitraan.
Keahlian ini penting ketika ekspedisi bergeser ke lokasi berisiko tinggi. Seperti patahan aktif, ventilasi hidrotermal, atau ekosistem unik di dasar laut. Kesalahan kecil dapat membahayakan keselamatan tim maupun instrumen.
Model 3D dan Manfaat Penelitian
Model 3D beresolusi tinggi memungkinkan ahli mengukur ketebalan lambung, pola kerusakan, hingga jalur masuknya air tanpa harus menyentuh bangkai. Survei ulang di masa depan dapat mendeteksi perubahan akibat korosi, gravitasi, atau aktivitas biologis.
Data ini juga membantu sejarawan memahami detail tabrakan dengan lebih akurat. Serta memperkaya catatan arsip dan kesaksian penyintas. Selain itu, kurator museum dapat menggunakan model untuk membuat pameran interaktif atau tur virtual yang realistis.
Selanjutnya, metode serupa bisa diterapkan untuk mendokumentasikan kuburan perang lain. Dapat juga untuk pesawat bersejarah yang jatuh ke laut. Semuanya tanpa merusak situs. Perkembangan kamera, sensor navigasi, dan perangkat lunak pemrosesan akan membuat rekonstruksi semakin akurat. (earth/Z-2)
[OTOMOTIFKU]