Aksi Stop Tot Tot Wuk Wuk Simbol Perlawanan Publik

Aksi Stop Tot Tot Wuk Wuk Simbol Perlawanan Publik
Mobil dengan pengawalan kendaraan bermotor menyalakan lampu strobo tanpa menyalakan sirine di Jalan Sudirman, Jakarta.(MI/Usman Iskandar)

TAGLINE Stop Tot Tot Wuk Wuk kini bukan sekadar kelakar warganet, melainkan simbol perlawanan publik terhadap penggunaan sirene dan strobo kendaraan pejabat. 

Sosiolog IPB University, Dr Ivanovich Agusta menilai fenomena ini berpotensi mengarah pada civil disobedience atau pembangkangan sipil.

Menurutnya, penolakan publik ini merupakan bagian dari perkembangan norma sosial. 

“Norma sosial bukanlah aturan yang statis, ia dibentuk dalam proses dan dipertahankan lewat sanksi sosial berupa teguran, cemoohan, pengucilan, hingga aksi massa,” ungkapnya.

“Masyarakat kini sedang memproduksi sanksi sosial yang lebih keras dibandingkan otoritas negara,” tegas dosen Fakultas Ekologi Manusia IPB University tersebut. 

Ivanovich berpandangan, penolakan publik terhadap strobo dan sirene dipicu oleh berbagai faktor: diabaikannya landasan hukum, akumulasi kejengkelan masyarakat, hingga semangat sipil yang menguat setelah demonstrasi massal akhir Agustus 2025. Media sosial memperbesar gaungnya lewat tagline Stop Tot Tot Wuk Wuk yang viral.

Bagi masyarakat, penggunaan strobo dan sirene oleh pejabat kerap dipandang sebagai bentuk penyalahgunaan, meskipun dalam beberapa kasus legal secara hukum. Persepsi negatif ini tumbuh dari kesenjangan antara aturan formal dan praktik di lapangan, diperparah oleh kesan arogansi serta ketidakadilan.

Bentuk penyalahgunaan yang sering ditemui antara lain penggunaan untuk aktivitas nondarurat, pemakaian yang terlalu sering, cara berkendara agresif dan intimidatif, membahayakan pengguna jalan lain, serta menegaskan privilese elite.

Minimnya penegakan hukum membuat pelanggaran berulang dan semakin mengikis kepercayaan publik terhadap sistem darurat. 

“Yang kini membahayakan, respons publik saat mendengar sirene menjadi skeptis,” ucap Ivanovich.

Dijelaskannya, penggunaan sirene dan strobo yang tidak tepat telah berdampak pada turunnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem darurat. 

Selain itu, muncul resistensi terhadap instruksi petugas, hingga meningkatnya ketegangan horizontal di jalan raya. Situasi inilah, sebut Ivanovich, yang akhirnya berpotensi membentuk civil disobedience atau pembangkangan sipil.

“Pengguna jalan yang selama ini terjebak macet kini menguatkan solidaritas publik dan kesadaran kolektif, hingga akhirnya membentuk norma baru kesetaraan posisi di jalan raya. Di pihak lain, elite pun mulai menahan diri, setidaknya dalam beberapa minggu ke depan,” jelasnya.

Ivanovich menilai, penolakan publik ini ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, lahir mekanisme kontrol sosial yang efektif untuk mendorong akuntabilitas dan kesetaraan. 

Namun, di sisi lain, ada risiko mengganggu tatanan sosial dan membahayakan keselamatan publik jika tidak disertai solusi kebijakan yang jelas

“Sirene dan strobo harus digunakan terbatas sesuai undang-undang. Tanpa itu, resistensi publik akan terus menguat,” pungkasnya. (Z-1)

[OTOMOTIFKU]