
AMNESTY International Indonesia mencatat aparat kepolisian di berbagai wilayah telah menangkap setidaknya 3.192 orang dalam rangkaian aksi unjuk rasa antara 25 hingga 31 Agustus 2025.
“Penangkapan massal ini mengabaikan prinsip-prinsip fair trial. Banyak demonstran ditahan tanpa surat perintah, dipaksa menjalani BAP, bahkan tidak diberi akses terhadap pengacara atau keluarga,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid dalam pernyataan tertulis, Kamis (25/9).
Amnesty menilai tindakan ini menciptakan iklim ketakutan dan membungkam kebebasan sipil di Indonesia. “Ini bisa melanggengkan praktik swa-sensor dan memperlemah perlindungan terhadap pembela HAM,” ujar Usman.
Selain itu, Usman juga mengecam keras penangkapan dan kriminalisasi terhadap delapan aktivis demo Agustus, termasuk Direktur Lokataru Foundation Delpedro Marhaen dan sejumlah demonstran lainnya. Menurutnya, tindakan aparat sebagai ‘penangkapan sewenang-wenang’ yang melanggar prinsip keadilan dan kebebasan sipil.
“Penangkapan ini bukan hanya bentuk kriminalisasi terhadap aktivis, tetapi juga merupakan pelanggaran serius terhadap hak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai,” tuksasnya.
Usman merinci delapan orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka, yakni:
- Delpedro Marhaen – Direktur Eksekutif Lokataru Foundation.
- Muzaffar Salim – staf Lokataru.
- Syahdan Husein – aktivis Gejayan Memanggil.
- Khariq Anhar – mahasiswa Universitas Riau.
- Reyhan
- FL
- LF
- Saiful Amin – aktivis Kamisan Kediri.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Amnesty, penangkapan dilakukan antara 1–2 September 2025. Beberapa dari mereka, kata Usman, dijemput paksa tanpa surat perintah penangkapan yang sah. “Saiful Amin, misalnya, ditangkap di rumahnya oleh aparat Polres Kediri pada 2 September,” ungkap Usman.
Pasal yang Dikenakan
Amnesty mencatat bahwa para aktivis dikenai berbagai pasal pidana, termasuk Pasal 160 KUHP tentang penghasutan, pasal-pasal dalam UU ITE terkait ujaran kebencian dan manipulasi data elektronik, serta pasal-pasal dalam UU Perlindungan Anak.
Usman menyebut penerapan pasal-pasal ini sebagai bentuk “penyalahgunaan hukum” untuk membungkam kritik dan aktivisme sipil.
“Beberapa penangkapan dilakukan tanpa prosedur hukum yang benar. Ada yang dipaksa menjalani pemeriksaan dalam kondisi kelelahan dan tanpa pendamping hukum. Bahkan kantor Lokataru digeledah tanpa surat perintah,” jelasnya.
Salah satu bukti yang dijadikan dasar penangkapan terhadap Delpedro adalah unggahan media sosial Lokataru Foundation yang memuat hotline bantuan hukum bagi pelajar yang menghadapi sanksi karena ikut berdemo.
“Unggahan itu bertuliskan ‘Anda pelajar? Ingin demo? Sudah demo? Diancam sanksi? Atau sudah disanksi? Kita lawan bareng! #jangantakut’. Itu bukan pelanggaran hukum, melainkan bentuk kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi,” tegas Usman.
Kondisi serupa juga dialami oleh Khariq Anhar. Ia ditangkap tanpa surat tugas, mengalami kekerasan fisik, dan dipaksa menjalani pemeriksaan tanpa pendampingan hukum. “Khariq hanya mengunggah kritik satir di media sosial dengan format ‘timpa teks’, tapi justru dikriminalisasi,” imbuhnya Usman. (M-1)
[OTOMOTIFKU]