Anak Muda Jadi Motor Penggerak Perubahan Lingkungan di Kabupaten Bandung

Anak Muda Jadi Motor Penggerak Perubahan Lingkungan di Kabupaten Bandung
Karang Taruna timbang sampah yang telah dipilah.(DOK KEMEN PU)

KABUPATEN Bandung merupakan salah satu wilayah di kawasan metropolitan Bandung Raya yang tengah dipusingkan dengan persoalan persampahan. Bersama Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi, daerah ini sangat bergantung pada Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sarimukti di Kabupaten Bandung Barat, yang menjadi tujuan akhir sampah regional Jawa Barat. 

Pengelolaan sampah bukan lagi sekadar urusan teknis atau infrastruktur. Melalui program Improvement of Solid Waste Management to Support Regional and Metropolitan Cities Project (ISWMP), pemerintah pusat bekerja sama dengan Bank Dunia mendorong reformasi menyeluruh dalam sistem persampahan daerah. Tujuannya jelas: menciptakan tata kelola sampah yang lebih terintegrasi, partisipatif, dan berkelanjutan.

Salah satu pendekatan utama dari program ini adalah Peningkatan Peran Aktif Masyarakat (PPAM). Alih-alih hanya mengandalkan solusi top-down, PPAM memulai perubahan dari lingkungan terkecil dengan membangun kesadaran, membentuk sistem lokal, dan melibatkan warga untuk memilah sampah langsung dari rumah.

Untuk memperkuat sistem ini, Pemerintah Daerah, Kementerian PU dan Kemendagri melalui Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah (Ditjen Bina Bangda) turut berperan aktif dalam berkolaborasi. Dukungan diberikan dalam bentuk penguatan regulasi daerah, penyusunan perencanaan yang adaptif, hingga pembinaan kelembagaan lokal. 

Melalui sinergi ini, lima aspek pengelolaan sampah ditangani secara terpadu. Aspek yang dimaksud adalah Teknis, Kelembagaan, Pendanaan, Partisipasi, serta Regulasi dan sinergi.

Menurut Oki Suyatno, Kepala Bidang Persampahan DLH Kabupaten Bandung, pendekatan ISWMP yang menekankan pada sosialisasi, edukasi, dan pendampingan langsung ke masyarakat telah memberikan dampak positif.

“ISWMP (PPAM) hadir untuk mengubah perilaku masyarakat terkait sampah, dengan membawa konsep edukasi dan pendampingan langsung. Ini sangat membantu dalam membentuk pola pikir baru berbasis 3R – Reduce, Reuse, Recycle. Kita ingin menggeser budaya lama kumpul-angkut-buang menjadi pengelolaan yang lebih terencana dan berdampak,” ujarnya.

Lebih dari sekadar perubahan gaya hidup, pendekatan ini juga membawa dampak nyata secara ekonomi dan operasional. “Harapan kami, setelah sampah berhasil dipilah dari sumbernya, masyarakat akan merasakan manfaat langsung. Di sisi lain, kami sebagai pemerintah daerah juga dapat menekan biaya operasional dalam pengelolaan sampah,” harap Oki.

TATA ULANG RELASI WARGA DAN SAMPAH

Di Desa Mekar Rahayu, Kecamatan Marga Asih, Kabupaten Bandung, perubahan besar tengah dimulai dari lingkungan kecil. Sejak Desember 2024, Program ISWMP melalui kegiatan Peningkatan Peran Aktif Masyarakat (PPAM) menggulirkan pilot project pengelolaan sampah di RT 02 RW 17 sebuah lingkungan padat dengan 98 Kepala Keluarga (KK).

Dengan fasilitas sederhana, ember bekas cat untuk menampung sampah organik dan karung bekas untuk sampah anorganik, warga perlahan mulai dikenalkan pada konsep pilah sampah dari rumah. 

Karang Taruna menjadi ujung tombak penggerak kegiatan ini dengan menimbang, mencatat hasil pilahan, dan mendistribusikan sampah anorganik ke pengepul. Hasil penjualan sampah pun dialokasikan untuk mendukung kegiatan komunitas lokal.

Hingga Januari 2025, 37 KK telah aktif memilah sampah secara rutin. Angka ini menjadi indikator awal bahwa perubahan perilaku mulai terbentuk. Warga yang sebelumnya pasif dan sepenuhnya bergantung pada jadwal pengangkutan dari luar, kini mulai mandiri mengelola sampahnya sendiri. 

Kesadaran akan nilai ekonomi dari sampah anorganik pun mulai tumbuh. Kunci dari keberhasilan ini bukan hanya pada sarana, tetapi pada kolaborasi antar elemen masyarakat. Kader kesehatan dan posyandu setempat turut berperan dalam menyuarakan pentingnya kebersihan lingkungan. Bahkan sistem insentif pun mulai diterapkan dalam kegiatan posyandu mengaitkan kesehatan ibu dan anak dengan kontribusi pemilahan sampah.

Cerita dari RT 02 RW 17 ini menjadi bukti bahwa perubahan bisa dimulai dari skala terkecil, asalkan ada komitmen, partisipasi, dan semangat gotong royong. Jika pola ini dapat direplikasi ke desa-desa lain, beban TPA dapat ditekan, dan sistem pengelolaan sampah yang berkelanjutan bisa benar-benar menjadi milik semua.

Walau masih berada pada tahap awal, masyarakat Desa Mekar Rahayu, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung, telah membuktikan bahwa perubahan nyata bisa dimulai dari skala komunitas kecil. Program ini membuka jalan menuju sistem pengelolaan sampah yang murah, mudah, dan berkelanjutan, tanpa harus bergantung penuh pada infrastruktur besar atau teknologi mahal.

Kisah Mekar Rahayu menunjukkan bahwa pengelolaan sampah bukan hanya soal teknologi, melainkan soal kemauan untuk berubah, rasa memiliki, dan semangat gotong-royong. Jika semangat ini terus diperluas dan direplikasi, mimpi menuju Bandung Raya yang ‘Merdeka dari Sampah’ bukan lagi sekadar wacana, tetapi target yang dapat diwujudkan bersama. (H-1)

[OTOMOTIFKU]