
Masalah nutrisi pada anak di Indonesia masih menjadi tantangan besar. Tidak hanya undernutrition (stunting, underweight dan wasting) dan overnutrition (overweight dan obesitas), namun juga defisiensi mikronutrien (zat besi, zinc, vitamin) secara bersamaan. Kondisi ini disebut sebagai triple burden of malnutrition.
Dilansir dari laman Universitas Airlangga, disebutkan bahwa di Indonesia, khususnya Jawa Timur, salah satu masalah yang paling sering ditemui adalah stunting, yaitu kondisi anak dengan tinggi badan lebih pendek dari standar usianya akibat kekurangan gizi kronis sejak kecil. Data Riset Kesehatan Dasar (2018) menunjukkan, sekitar 30% anak usia sekolah di Indonesia mengalami stunting.
Namun, yang menarik, penelitian terbaru justru menemukan bahwa anak dengan stunting berisiko lebih besar mengalami kelebihan berat badan dan penumpukan lemak di perut ketika mereka tumbuh.
Penelitian yang dilakukan oleh tim dari Universitas Airlangga, Universitas Indonesia, dan Universitas Gadjah Mada ini melibatkan 191 anak usia sekolah dasar di Surabaya, dengan membagi anak-anak menjadi dua kelompok stunting (98 anak) dan tidak stunting (93 anak), yang selanjutnya diukur anthropometri , mulai dari tinggi badan, berat badan, indeks massa tubuh (IMT), lingkar pinggang, kadar lemak tubuh, hingga tekanan darah menggunakan BIA (Bioelectrical Impedance Analysis), yang merupakan metode pengukur komposisi tubuh noninvasif dengan menggunakan arus listrik lemah untuk menganalisis kadar air, otot, lemak, dan komponen tubuh lainnya, dan menjadi salah satu pemeriksaan antropometri sebagai metode penilaian tubuh yang lebih akurat.
Penelitian ini menghasilkan informasi penting yaitu anak stunting punya risiko obesitas lebih tinggi. Mereka memiliki BMI, lemak perut (visceral fat), dan lemak tubuh total yang lebih tinggi dibanding anak normal; perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan, yaitu anak perempuan yang stunting lebih banyak mengalami kelebihan berat badan dan obesitas, sementara anak laki-laki non-stunting cenderung lebih tinggi dan memiliki massa otot lebih banyak; tekanan darah tidak berbeda.
Meski anak stunting memiliki lemak lebih banyak, penelitian ini menemukan tidak ada perbedaan signifikan pada tekanan darah dibanding anak nonstunting. Artinya, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa stunting tidak hanya masalah tinggi badan anak, tetapi juga berhubungan dengan risiko obesitas dan penyakit tidak menular (PTM) di masa depan.
Anak yang sejak kecil mengalami kekurangan gizi, ketika mendapatkan asupan energi berlebih saat besar, cenderung menyimpannya dalam bentuk lemak, terutama di perut, sehingga dikenal dengan abdominal obesity. Lemak jenis ini berbahaya karena bisa memicu diabetes, penyakit jantung, dan sindrom metabolik.
Hal ini menggaris bawahi pentingnya peran orangtua dan pemerintah dalam melakukan pencegahan stunting sejak dini, seperti memberikan asupan yang memenuhi bagi ibu hamil, MPASI yang memadai terutama bagi bayi usia 6 bulan hingga 5 tahun, terutama kecukupan terutama protein, vitamin, dan mineral. Juga, perlu penerapan pola makan sehat di usia sekolah.
Anak stunting dibatasi mengonsumsi makanan tinggi lemak dan gula berlebih, karena usia di atas 5 tahun mulai mengalami “adiposity rebound”. Juga perlu dilakukan aktivitas fisik, terutama anak perempuan, perlu lebih banyak bergerak agar tidak mudah menimbun lemak.
Keterlibatan pemerintahan dalam program gizi seimbang penting dilakukan, karena penanganan stunting tidak bisa hanya mengejar tinggi badan, tetapi juga memperhatikan kualitas gizi agar tidak bergeser menjadi obesitas. (E-3)
[OTOMOTIFKU]