
DATA keterbukaan ekonomi menunjukkan globalisasi melemah sejak 2008 (Verico, 2021). Pelemahan yang pertama kali terjadi sejak 1919 itu memicu serangkaian tekanan ekonomi global, termasuk perang dagang 2017 dan 2025.
Thomas Piketty, penulis buku Capital in the Twenty-First Century, pada 2013 pernah menunjukkan, pada abad ke-21 keuntungan dari modal secara konsisten akan selalu lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi sehingga ketimpangan meningkat.
Kombinasi melemahnya globalisasi ekonomi dan meningkatnya ketimpangan menjadi momok di seluruh negara berkembang berbasis manufaktur padat karya seperti Sri Lanka, Bangladesh, Indonesia, dan Filipina hingga negara menengah seperti Thailand dan Malaysia.
Menurut peraih Hadiah Nobel Ekonomi 1971, Simon Kuznets, ketimpangan terjadi ketika ekonomi tumbuh cepat, sementara tidak semua orang mampu mengikuti arah pertumbuhan sehingga beberapa orang akan ‘ketinggalan kereta’. Kuznets menunjukkan, secara perlahan, ketimpangan akan turun seiring dengan meratanya dampak ekonomi ke semua orang (trickle-down effect).
Bila peningkatan ketimpangan terjadi saat globalisasi melemah, dapat dipastikan ketimpangan tersebut bersifat mendasar dan permanen. Ketimpangan seperti itu hanya terjadi saat manfaat pertumbuhan ekonomi bersifat terbatas atau hanya dinikmati segelintir orang.
Dari sisi produksi, kombinasi mesin cetak tiga dimensi (3D printing) dan AI (artificial intelligence) mampu mengurangi lapangan kerja terutama pada sektor padat karya. Di era ini, nilai tambah ekonomi hanya dinikmati mereka yang memanfaatkan kecerdasan buatan.
Laporan World Economic Forum pada 20 Agustus 2025 menunjukkan kemungkinan peningkatan dominasi kecerdasan buatan dari general menuju superintelligence sehingga permintaan tenaga kerja akan semakin turun di seluruh dunia. Tanpa ‘penyesuaian diri’, tingkat pengangguran dunia akan meningkat.
Data Bank Dunia per 7 Januari 2025 menunjukkan penurunan tingkat pengangguran dari 6,6% pada 2020 menjadi 4,9% pada 2024, atau terendah dalam 35 tahun terakhir, tetapi laporan terakhir PBB pada World Employment and Social Outlook: Trends 2025 menunjukkan generasi muda semakin sulit mendapatkan pekerjaan. Kuat dugaan, jenis pekerjaan formal bergaji tetap yang menghasilkan barang tahan lama (durable goods) mulai tergantikan oleh mesin 3D printing dan AI.
TANTANGAN PERUBAHAN
Ketika pola produksi berubah, pola investasi berubah. Tantangan perubahan itu menjadi semakin berat bagi negara-negara yang didominasi aktivitas nonformal dengan tingkat keahlian rendah seperti Indonesia. Data menunjukkan proporsi pekerja formal berpendapatan tetap hanya 37,08% dari angkatan kerja yang bekerja. Artinya hampir 63% pekerja Indonesia atau sekitar 95,6 juta orang rentan terhadap disrupsi teknologi berbasis kecerdasan buatan.
Risiko pekerja formal kehilangan pekerjaan semakin meningkat karena perusahaan harus mengikuti perkembangan kecerdasan buatan untuk bisa bertahan. Bagi perusahaan, pada awalnya dibutuhkan modal besar untuk transformasi model produksi berbasis AI, tetapi dalam jangka menengah-panjang dapat menurunkan biaya produksi. Ekonomi Indonesia harus menyesuaikan diri dengan perubahan pola produksi dan investasi dunia.
Tingginya proporsi aktivitas nonformal dan persentase pekerja dengan tingkat pendidikan SMP ke bawah disebabkan masih rendahnya keterlibatan kita pada rantai produksi global. Di Asia Tenggara, posisi Indonesia masih berada di bawah Filipina, Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Singapura.
Kondisi serupa juga terlihat pada kemampuan pekerja membuat barang kompleks yang membutuhkan keahlian tertentu (economic complexity index – Harvard University). Bila ingin meningkatkan keahlian pekerja, negara harus masuk ‘lebih dalam’ pada rantai produksi global.
Di sinilah pentingnya peran investasi asing jangka panjang (foreign direct investment) dalam membentuk basis produksi (backward participation). Saat ini, ekonomi Indonesia masih didominasi kegiatan ‘pendukung produksi’ (forward participation) sebagai penyedia bahan mentah dan energi.
Di era disrupsi teknologi 4.0, transformasi organisasi dan penelitian berbasis AI ialah kunci pengembangan manufaktur. Data Statistik Industri Manufaktur menunjukkan, hanya sekitar 7,7% manufaktur menengah-besar di Indonesia yang melakukan modernisasi sistem informasi atau menjalankan kegiatan penelitian dan pengembangan. Proporsi yang terbilang rendah dan perlu ditingkatkan.
INVESTASI
Tidak hanya negara berkembang berbasis industri padat karya, disrupsi AI pun berdampak pada negara menengah dan maju. Perang dagang 2025 berhubungan dengan masalah lapangan kerja di Amerika Serikat yang tergerus oleh AI. Tidak mengherankan bila masuknya investasi asing ke Amerika Serikat dapat menjadi faktor pengurang hambatan tarif. Pemetaan daya saing bilateral menunjukkan Indonesia bisa investasi kedelai di Amerika Serikat sehingga setiap tempe yang diimpor mengandung nilai tambah nasional dan Indonesia berhak mendapatkan kompensasi penurunan tarif.
Investasi, baik yang masuk maupun keluar dari Indonesia, ialah fondasi yang menghubungkan globalisasi dengan kekuatan ekonomi nasional. Pemetaan investasi bilateral Indonesia dan negara lain, menurut jenis produk, ialah syarat penting. Syarat cukupnya, investasi tersebut harus searah dengan perkembangan AI.
[OTOMOTIFKU]