
EMPAT tahun setelah kembali berkuasa, pemerintahan Taliban di Afghanistan hanya diakui oleh satu negara, yaitu Rusia. Namun, meningkatnya sentimen antiimigran, kekhawatiran terhadap kelompok militan di Asia Tengah, serta kesadaran bahwa rezim ini tidak akan segera runtuh, membuka ruang bagi Taliban untuk melakukan manuver diplomatik.
Meski tidak memberikan pengakuan resmi, sejumlah negara tetangga mulai mencari cara untuk menjalin kerja sama. Direktur kontraterorisme Gedung Putih, Sebastian Gorka, bahkan menggambarkan Taliban sebagai pihak yang cukup kooperatif, meski ia menyadari hal itu terdengar janggal.
Beberapa negara Eropa juga mulai menyesuaikan diri. Jerman, misalnya, mengizinkan dua pejabat Taliban bergabung dengan perwakilan Afghanistan sebelumnya sebagai pejabat konsuler.
Sementara itu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump menambahkan dimensi baru dengan menyatakan bahwa AS berupaya mendapatkan kembali kendali atas Pangkalan Udara Bagram dari Taliban.
“Kami berusaha mendapatkannya kembali karena mereka membutuhkan sesuatu dari kami,” kata Trump, menegaskan bahwa lokasi tersebut dekat dengan fasilitas nuklir Tiongkok.
Taliban sendiri menolak berkomentar, tetap berpegang pada pernyataan bahwa mereka tidak akan mengizinkan kehadiran militer AS. Namun, keberadaan perundingan menunjukkan bahwa sejumlah negara mulai melihat Taliban sebagai mitra negosiasi yang tidak bisa dihindari.
Motif Berbeda di Balik Keterlibatan
Setiap negara memiliki alasan masing-masing. Di Eropa, meningkatnya dukungan terhadap partai antiimigran mendorong seruan deportasi ke Afghanistan yang tentu membutuhkan restu Taliban.
Amerika Serikat dan negara lain juga memiliki musuh bersama dengan Taliban, yakni ISIS-K. Sementara itu, negara-negara tetangga Afghanistan melihat kerja sama sebagai peluang transit dan perdagangan.
Menurut Michael Kugelman dari Asia Pacific Foundation of Canada, kondisi ini merupakan kemenangan strategis yang signifikan bagi Taliban.
Namun, jalan Taliban untuk sepenuhnya diterima masih terjal. Kebijakan garis keras terhadap perempuan dan hak sipil membatasi ruang interaksi publik dengan Barat. Bahkan, Menteri Luar Negeri Taliban Amir Khan Muttaqi terkendala bepergian karena sanksi PBB.
Diplomasi yang Rumit dan Terbatas
Banyak kedutaan besar di Kabul masih ditutup. Proyek-proyek investasi asing, termasuk dari Tiongkok, berjalan lambat.
Meski Taliban ingin diperlakukan sebagai pemerintahan resmi, analis Pakistan Muhammad Amir Rana menilai hal itu masih terlalu jauh, karena sebagian besar interaksi terbatas pada urusan kemanusiaan dan migrasi.
Diplomat asing biasanya memilih berhubungan dengan tokoh Taliban yang dianggap pragmatis, seperti Sirajuddin Haqqani atau Mohammad Yaqoob, dibanding para pemimpin garis keras di Kandahar. Namun, interaksi tetap sulit.
“Secara profesional, mereka tidak solid,” kata mantan utusan Pakistan Asif Durrani.
AS sendiri sempat fokus pada isu kontraterorisme dan pembebasan sandera. Tiongkok bergerak bila sesuai kepentingannya, seperti memediasi kesepakatan antara Kabul dan Islamabad. Pengakuan resmi Rusia pada Juli lalu juga dipandang sebagai langkah strategis untuk menegaskan jarak dari Barat.
Kugelman menekankan bahwa bagi Kremlin, ancaman ISIS-K sangat nyata, apalagi setelah serangan mematikan di Moskow tahun lalu.
Terobosan di Eropa
Meski pengakuan internasional masih jauh, Taliban mencatat kemajuan di Eropa. Mereka berusaha menguasai konsulat dan kedutaan Afghanistan dengan hasil yang semakin signifikan. Bahkan, Jerman menyambut dua perwakilan Taliban untuk membantu deportasi warga Afghanistan yang terlibat kriminal.
Namun, langkah itu memicu kontroversi. “Jerman mengeklaim bahwa dasar dari tindakan ini adalah untuk menegakkan keadilan. Namun pada kenyataannya, mereka telah mengundang penjahat perang,” tegas aktivis hak asasi manusia Zahra Mousawy.
Pertarungan di Dalam Misi Diplomatik
Di sejumlah misi diplomatik Eropa, Taliban berhasil menyingkirkan perwakilan pemerintahan lama. Konsulat Afghanistan di Bonn menjadi titik penting, karena menyimpan data biometrik dan paspor warga Afghanistan di Eropa.
“Dengan data ini, kita dapat melacak seluruh keluarga Anda kembali ke Afghanistan,” kata seorang diplomat yang masih menjabat.
Lutfullah Lutfi, mantan diplomat Afghanistan untuk PBB, mengaku kecewa setelah kehilangan posisinya pada 2022.
“Kami kehilangan negara kami, tetapi sebagian Afghanistan masih milik kami,” pungkasnya.
Kini, banyak diplomat lain khawatir akan mengalami nasib serupa. (AFP/I-2)
[OTOMOTIFKU]