Belajar dari Jojo

Belajar dari Jojo
(MI/Duta)

AIR mata yang sudah mengembun tidak terasa mengalir perlahan dari sudut mata saya setelah menyaksikan film Jojo. Sebuah film dokumenter yang meraih penghargaan sebagai Film Terbaik Rekomendasi Juri dalam Aceh Film Festival (AFF) 2025.

Jojo adalah salah satu murid berkebutuhan khusus di sekolah kami (Sukma Bangsa Pidie). Jojo mengidap austisme, beretnis Tionghoa, dan memeluk agama Nasrani. Jadilah seorang Jojo sebagai simbol triple minority, seorang anak yang berada di persimpangan tiga lapis kerentanan sosial: keterbatasan, etnisitas, dan agama. Namun, di balik kerentanan itu, Jojo tumbuh sebagai anak yang ceria, penuh semangat, dan mampu menebar kasih di sekitarnya.

Jojo merupakan murid yang selalu tiba pertama kali di sekolah kami. Dengan langkah cepat setengah berlari, ia selalu dengan ceria menyapa siapa saja yang berpapasan dengannya. Keseharian Jojo mencerminkan wajah Aceh yang sesungguhnya. Mungkin banyak orang luar yang belum pernah bersentuhan langsung dengan kehidupan di Aceh akan ragu bahwa anak seperti Jojo bisa tumbuh dengan baik di sini.

Apalagi, ada survei-survei yang kerap melabeli Aceh sebagai provinsi intoleran. Tetapi kisah Jojo merupakan representasi dari realitas sebenarnya di ‘Bumi Serambi Mekah’ ini. Aceh memiliki ruang inklusi bahwa keberagaman dapat dirawat dan dihargai dengan baik di sini.

Fakta ini sejalan dengan laporan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang dirilis melalui GoodStats, menempatkan Aceh sebagai provinsi keempat teraman di Indonesia pada 2025 dengan skor 4,70. Artinya, di balik label yang sering disalahpahami, Aceh menyimpan cerita toleransi dan harmoni yang nyata. Aceh menghadirkan ruang aman, bahkan bagi mereka yang berbeda. Sebagaimana halnya Jojo dan keluarganya yang beretnis Tionghoa dapat hidup dengan aman dan tenteram di sini.

 

SEKOLAH SEBAGAI RUANG AMAN

Satuan pendidikan seyogianya menjadi ruang aman bagi setiap murid. Tempat di mana mereka merasa dihargai, diterima, dan diperlakukan dengan penuh kebaikan. Hadirnya Jojo di sekolah kami menjadi pengingat nyata bahwa sekolah bukan sekadar tempat mengasah intelektualitas, melainkan juga ruang bertumbuhnya nilai kemanusiaan. Jojo memberi kesempatan bagi seluruh individu dalam komunitas sekolah kami untuk belajar: belajar tentang empati, kesabaran, dan bagaimana menghormati perbedaan.

Sebagaimana bunyi adagium Afrika,It takes a village to raise a child’, butuh satu kampung untuk membesarkan seorang anak. Kalimat ini bukan sekadar pepatah, melainkan juga prinsip mendasar dalam pendidikan. Seorang anak tidak akan tumbuh baik hanya dengan arahan satu guru atau kasih sayang satu orangtua saja, melainkan dengan teladan kolektif dari orang-orang di sekelilingnya. Anak membutuhkan konsistensi sikap agar tidak bingung dengan model perilaku yang berbeda-beda.

Itulah sebabnya, di sekolah kami, menghadirkan ruang aman menjadi tanggung jawab bersama. Setiap guru, staf, dan bahkan murid lain ikut berperan dalam memastikan Jojo dapat belajar dengan tenang, nyaman, dan penuh percaya diri. Karena pada akhirnya, menyediakan ruang aman bagi seorang Jojo berarti menyediakan ruang aman bagi semua anak. Dan, di situlah letak hakikat pendidikan: menghadirkan lingkungan yang memungkinkan setiap anak dengan segala keunikan dan keterbatasannya dapat tumbuh secara utuh sebagai manusia.

Hadirnya Jojo di sekolah kami mengingatkan saya pada sebuah film dokumenter berjudul Educating Peter. Sebuah film yang meraih Piala Oscar pada 63th Academy Award tahun 1993 untuk kategori The Best Documentary Short Project. Film ini menceritakan kisah seorang Peter, anak down syndrome yang harus bersekolah di sekolah umum, di Blacksburg, Virginia, Amerika Serikat. Sebelumnya Peter bersekolah di sebuah sekolah anak berkebutuhan khusus. Namun, peraturan di Negara Bagian Virginia mengharuskan ia masuk ke sekolah umum.

Pada awalnya, guru dan teman-teman di sekolah barunya menghadapi tantangan besar dalam mendampingi Peter. Di bulan-bulan awal, ia sering mendorong, menendang, dan memukul teman-teman sekelasnya. Aturan kelas pun terasa begitu sulit untuk ia ikuti.

Perjalanan Peter tidak berhenti di sana. Dengan kesabaran dan konsistensi, di akhir tahun pertamanya Peter justru tampil mengejutkan semua orang: ia berhasil menjadi salah satu anak yang menerima penghargaan karena perkembangan yang begitu pesat.

Salah satu cuplikan paling menyentuh dari film dokumenter tersebut memperlihatkan saat Peter sedang tantrum, menendang, memukul, bahkan menyakiti teman-temannya. Namun, yang terjadi justru begitu mengharukan: tidak ada satu pun balasan. Teman-temannya hanya berkata dengan baik, “Jangan lakukan itu, Peter,” atau “Itu sakit, aku tidak suka.” Pemandangan sederhana ini justru menunjukkan betapa luar biasanya ruang empati yang terbentuk di antara anak-anak kelas 3 SD, teman-temannya Peter. Mereka memilih untuk memahami, bukan membalas. Mereka memilih untuk merangkul, bukan menghakimi.

Hal serupa juga dialami Jojo. Di awal, autisme yang diidapnya membuat ia kesulitan untuk tenang dan berinteraksi dengan guru maupun teman sekelasnya. Jojo sering berteriak sendiri hingga suasana kelas terganggu. Akan tetapi, berkat pendampingan guru yang sabar, serta penerimaan teman-teman sekelasnya yang belajar melihat ‘normalnya’ seorang Jojo secara apa adanya, perubahan positif secara perlahan-lahan pun terjadi.

Kini, ketika Jojo tiba-tiba berteriak, teman-temannya cukup memberi kode kecil dalam bentuk senyuman, lambaian tangan, atau isyarat yang bersahabat. Dengan cepat Jojo memahami dan berusaha menyesuaikan diri. Sebagaimana halnya Peter, kini Jojo menjadi salah satu simbol resiliensi di sekolah kami, yang mampu melawan sulitnya sendiri berkat dukungan kolektif dari guru dan teman-temannya.

Kita sering mengira anak-anak istimewa seperti Peter dan Jojo hanyalah penerima ilmu. Namun, pada kenyataannya, merekalah guru kehidupan yang sesungguhnya. Melalui mereka, kita mempelajari makna kesabaran, kasih sayang, dan cara menumbuhkan empati yang tulus. Kehadiran Peter dan Jojo mengajarkan bahwa pendidikan tidak sekadar mentransfer keterampilan, tetapi lebih tentang membangun kelapangan hati untuk menerima perbedaan dan menghadapi tantangan bersama dengan cinta.

Pelajaran berharga inilah yang menegaskan bahwa menciptakan sekolah sebagai ruang aman bagi setiap individu merupakan sebuah keharusan mutlak. Pada intinya, mereka menunjukkan bahwa kekuatan transformasi terbesar terletak pada penerimaan, yang menjadi jiwa dari pendidikan yang memanusiakan.

 

[OTOMOTIFKU]