
DEKAN Fakultas Pertanian (Faperta) IPB University Prof Suryo Wiyono menegaskan bahwa tren alih fungsi lahan sawah di Indonesia sudah pada tahap mengkhawatirkan. Hal itu disampaikannya dalam momentum Hari Tani Nasional, 24 September.
“Luas lahan sawah kita hanya sekitar 7,3 juta hektare. Dibandingkan negara lain, angka ini sangat kecil. Secara global, Indonesia berada di peringkat 130 dari 180 negara untuk ketersediaan lahan pertanian per kapita. Situasi ini berdampak pada rendahnya Global Food Security Index kita,” ungkap Prof Suryo.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik (BPS), luas sawah nasional terus menurun, dari sekitar 8,1 juta hektare pada 2015 menjadi 7,4 juta hektare pada 2019.
Laju konversi sawah pun tidak kecil, tercatat 60.000–80.000 hektare per tahun pada 2021, bahkan penelitian lain menunjukkan mencapai 96.512 hektare per tahun pada periode 2000–2015.
MI/HO—Dekan Fakultas Pertanian (Faperta) IPB University Prof Suryo Wiyono
Menurut Prof Suryo, alih fungsi lahan terutama terjadi di wilayah subur seperti Pulau Jawa, Sumatra, dan Bali. Faktor utamanya adalah tekanan ekonomi.
“Jika nilai ekonomi lahan nonpertanian lebih tinggi, misalnya untuk perumahan atau industri, maka lahan sawah akan cepat terkonversi. Satu meter persegi tanah bisa bernilai miliaran rupiah, sementara hasil panen padi tidak sebanding,” jelasnya.
Ia menegaskan, ancaman terhadap ketahanan pangan sangat serius.
“Kalau konversi mencapai 100 ribu hektare per tahun, dalam 10 tahun kita kehilangan satu juta hektare. Padahal sawah kita hanya 7,3 juta hektare. Itu luar biasa dampaknya bagi pangan nasional,” tegasnya.
Sebagai strategi solutif, ia menyebut tiga hal penting. Pertama, melindungi lahan subur di sentra produksi; kedua, membuka area baru untuk pertanian; dan ketiga, meningkatkan produktivitas lahan yang ada.
“Kita harus melihat Undang-Undang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Nomor 41 Tahun 2009. Implementasinya perlu diperkuat dengan insentif ekonomi agar petani mau mempertahankan lahannya,” kata Prof Suryo.
Ia juga menekankan perlunya pengembangan tanaman bernilai ekonomi tinggi, seperti jamur pangan (edible) terutama di Pulau Jawa yang lahannya sempit namun subur.
“Tanaman hortikultura, cabai, atau rempah bisa menjadi pilihan. Pertanian pangan berkelanjutan harus sejalan dengan kesejahteraan petani,” ujarnya.
Momentum Hari Tani Nasional, tambah Prof Suryo, seharusnya menjadi pengingat bersama bahwa melindungi lahan pertanian bukan hanya soal menjaga produksi pangan, tetapi juga menjaga masa depan generasi mendatang agar tetap memiliki akses pada pangan yang cukup, aman, dan terjangkau.
Ia menilai, tanpa komitmen serius dari pemerintah daerah, masyarakat, dan seluruh pemangku kepentingan, ancaman krisis pangan akan semakin nyata.
“Alih fungsi lahan harus dipandang sebagai isu strategis. Jika dibiarkan, kedaulatan pangan akan semakin rapuh,” ujarnya.
Lebih jauh, Prof Suryo mengajak generasi muda untuk turut serta dalam menjaga dan mengembangkan sektor pertanian.
Menurutnya, pertanian tidak hanya soal menanam padi, tetapi juga peluang besar untuk inovasi, teknologi, dan usaha agribisnis yang menjanjikan. “Petani harus makmur agar pangan kita terjamin,” tandasnya. (Z-1)
[OTOMOTIFKU]