Dualisme PPP Tunjukkan Krisis Internal Serius

Dualisme PPP Tunjukkan Krisis Internal Serius
Kericuhan saat Muktamar ke-10 PPP di Jakarta, Sabtu (27/9/2025)(Antara FOTO/ Putra M Akbar)

PENGAMAT politik dari Citra Institute Efriza menilai konflik internal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pasca-Muktamar X yang berujung ricuh dan melahirkan dua kubu kepemimpinan sebagai krisis serius. Kondisi itu menurutnya mencerminkan lemahnya demokrasi internal dan perebutan legitimasi politik di tubuh partai yang mengklaim sebagai rumah besar umat Islam.

Efriza menilai lahirnya dua kubu dalam muktamar sebagai cerminan kegagalan konsolidasi. Bukan semata soal regulasi, melainkan dominannya kepentingan pribadi dan kelompok elite ketimbang kepentingan kolektif partai.

“Klaim aklamasi dari kedua belah pihak telah memperlihatkan adanya perebutan legitimasi, dan tidak adanya upaya konsensus di antara kedua kubu,” ujarnya saat dihubungi, Minggu (28/9). 

Menurutnya, situasi itu memperburuk citra PPP di mata publik. Alih-alih memantapkan agenda perjuangan politik, partai justru disibukkan dengan tarik-menarik kekuasaan internal. Hal itu berimplikasi pada semakin hilangnya basis dukungan tradisional PPP yang selama ini menjadi kekuatan partai.

Sebagai partai tua dengan akar sejarah dan basis ideologis yang kuat, PPP semestinya bisa menyelesaikan proses pencalonan melalui mekanisme partai. Namun, dinamika internal justru menunjukkan lemahnya manajemen konflik.

“Ricuhnya muktamar dan klaim aklamasi dari dua kubu adalah gambaran nyata bahwa mekanisme demokrasi internal partai tidak berjalan sehat,” tutur Efriza.

Dia berpendapat, konflik berkepanjangan akan membuat PPP sulit melakukan konsolidasi. Risiko paling nyata adalah fragmentasi dukungan politik umat Islam, sekaligus memperkuat kesan bahwa partai ini tidak lagi mampu menjadi rumah besar aspirasi umat.

Di sisi lain, konflik itu juga berdampak pada relasi PPP dengan pemerintah. Dualisme kepemimpinan diprediksi menimbulkan tarik-menarik pengaruh terhadap Kementerian Hukum dan HAM yang berwenang mengesahkan kepengurusan.

“Bagi pemerintah sendiri, dualisme kepemimpinan di PPP bisa menimbulkan respons saling mempengaruhi pemerintah, sehingga proses SK Kemenkumham menjadi tantangan tersendiri,” jelas Efriza. 

Jika konflik tidak segera diselesaikan, lanjutnya, PPP berisiko semakin terpuruk menjelang Pemilu 2029. Meski kecil kemungkinan melahirkan partai baru, salah satu kubu diyakini akan memilih hengkang dan bergabung dengan partai lain.

“PPP tetap kesulitan menjadi rumah besar umat Islam. Usia partai boleh tua, tetapi ternyata PPP tidak punya upaya manajemen konflik internal,” pungkas Efriza. (P-4)

[OTOMOTIFKU]