
TIGA dekade, lima presiden Amerika Serikat serta banyak diplomat datang dan pergi sejak Tony Blair pertama kali menangani konflik Israel–Palestina sebagai perdana menteri baru Inggris pada 1997. Blair digambarkan ambisius, berwawasan luas, dan sangat percaya diri. Dan inilah dia lagi.
Blair, 72, muncul kembali sebagai pemain kunci dalam perencanaan pembangunan kembali dan tata kelola Jalur Gaza, Palestina, jika kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas akhirnya ditandatangani. Ini menurut para pejabat di Israel dan Amerika Serikat yang mengetahui diskusi tersebut.
Rencana aksi Gaza pascaperang yang dirancang secara signifikan oleh Blair, seorang pendukung setia politik kiri-tengah, sebagian besar diterima Presiden AS Donald Trump dan akan dibahas dalam pertemuan di Gedung Putih pada Senin (29/9) dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Demikian menurut para pejabat diplomatik di Timur Tengah yang mengetahui pertimbangan tersebut, yang, seperti orang lain yang dikutip dalam artikel ini, berbicara dengan syarat anonim untuk menjelaskan percakapan pribadi.
Cetak biru Blair tercermin dalam rencana perdamaian Gaza yang terdiri dari 21 poin pemerintahan Trump. Salinannya telah diperoleh The Washington Post, termasuk visinya tentang badan internasional baru untuk mengelola Gaza secara transisi.
Menurut para pejabat diplomatik yang mengetahui kerangka kerja Blair, Otoritas Transisi Internasional Gaza akan terdiri dari para pakar internasional, pejabat PBB, serta perwakilan Palestina dan Arab. Otoritas tersebut akan mengawasi kelompok eksekutif yang terdiri dari para administrator dan teknokrat Palestina yang akan bertanggung jawab atas pengelolaan harian Jalur Gaza.
Blair sendiri dapat ditunjuk menjadi pemimpin pertama otoritas transisi internasional tersebut. Ia akan bertanggung jawab atas keputusan strategis dan diplomatik yang luas serta mengoordinasikan negara-negara Teluk Arab yang diharapkan mendanai sebagian besar upaya rekonstruksi. Kemungkinan ini menimbulkan kekhawatiran di antara banyak orang di pihak Palestina karena Blair merupakan salah satu pencetus Perang Irak yang secara konsisten berpihak pada Israel dalam kariernya.
Kembalinya Blair ke pusat manuver Timur Tengah merupakan babak baru luar biasa dalam hubungannya dengan kawasan tersebut. Ia bergulat dengan konflik ini sebagai perdana menteri Inggris, utusan PBB, konsultan swasta, dan mediator bayangan, menolak untuk melepaskan perjuangan keras yang melelahkan banyak kepala negara dan diplomat lain.
“Ia selalu mencurahkan sebagian hatinya untuk proyek yang belum selesai untuk meredakan konflik ini,” ujar mantan perdana menteri Israel Ehud Barak, yang terpilih di awal masa jabatan pertama Blair, dalam wawancara, Sabtu (27/9). “Rasanya seperti ia tidak pernah pergi.”
Kemunculan kembali Blair dalam pusaran negosiasi Gaza bukanlah kejutan bagi mereka yang mencatat kariernya. Dimulai dengan perannya dalam perjanjian Jumat Agung 1998 yang mengakhiri kekerasan sektarian di Irlandia Utara di awal masa jabatan perdana menterinya, Blair merangkul konflik-konflik yang paling pelik, termasuk upayanya menggalang sekutu NATO untuk melakukan intervensi militer di Kosovo setahun kemudian.
“Ada benang merah yang kuat dalam kepribadiannya. Keyakinan yang begitu besar bahwa ia dapat memecahkan masalah-masalah tersulit di dunia,” kata jurnalis Inggris dan penulis biografi Blair, John Rentoul. “Ia akan berbicara dengan siapa pun. Salah satu kekuatannya ialah ia tidak sentimental dalam bekerja dengan orang-orang yang dibenci oleh teman-teman liberalnya, seperti Trump dan Netanyahu.”
Blair tetap dikenal baik oleh semua pihak di Jerusalem dan Ramallah, tetapi tidak dicintai secara universal. Bagi para pendukungnya (dan ia memiliki banyak pendukung di Israel), ia perantara tepercaya yang mungkin dapat memaksa Netanyahu untuk menerima beberapa persyaratan, seperti keterlibatan Palestina dalam pengelolaan Gaza, yang akan membuat marah para petinggi Israel.
“Israel tidak dapat dengan mudah menerima gagasan bahwa Otoritas Palestina akan terlibat sama sekali,” kata Barak. “Hal itu dapat sedikit dimodifikasi dengan menempatkan seseorang seperti Blair di tengah. Mereka menghormatinya.”
Namun, di kalangan warga Palestina, reputasi Blair jauh lebih beragam. Blair memang mempertahankan posisi tradisional Inggris yang teguh mendukung Israel, tetapi menyerukan penyelesaian permanen yang dinegosiasikan untuk konflik tersebut, sehingga menjadikan Palestina merdeka berdampingan dengan Israel yang aman.
Namun, para kritikus Palestina mengatakan bahwa ia secara konsisten condong ke Israel dan perhatiannya selama bertahun-tahun terhadap isu tersebut tidak banyak membantu memajukan solusi dua negara yang ia perjuangkan. Ia menolak melakukan yang dilakukan Perdana Menteri Inggris Keir Starmer pekan lalu dengan secara resmi mengakui wilayah Palestina sebagai negara berdaulat.
Bagi banyak orang, gagasan Blair untuk menduduki jabatan gubernur di Gaza terasa janggal. Apalagi, mengingat perannya dalam melancarkan invasi Irak pada 2003 bersama Presiden George W. Bush yang didasarkan pada laporan palsu tentang senjata pemusnah massal Irak.
Peran historis Inggris dalam mengelola wilayah tersebut di bawah mandat Liga Bangsa-Bangsa pada tahun-tahun menjelang pembentukan Israel juga tidak membantu.
“Kita sudah berada di bawah kolonialisme Inggris,” kata Mustafa Barghouti, sekretaris jenderal Inisiatif Nasional Palestina. “Dia memiliki reputasi negatif di sini. Jika Anda menyebut Tony Blair, hal pertama yang orang-orang sebutkan ialah Perang Irak.”
Seorang diplomat yang akrab dengan upaya Blair mengatakan bahwa para pejabat Otoritas Palestina menanggapi usulannya. Namun Mahmoud Habbash, penasihat senior Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas, mengatakan tidak ada yang berkonsultasi dengan badan tersebut.
“Kami tidak membutuhkan perwakilan lain,” kata Habbash. “Satu-satunya pihak yang mampu mengelola Gaza adalah pemerintah Palestina. Tidak ada yang lain.”
Kantor Netanyahu menolak berkomentar mengenai usulan Blair. Namun, seorang pejabat Israel yang mengetahui diskusi tersebut mengatakan bahwa gagasan tersebut mendapat dukungan dari lingkaran dalam Netanyahu.
“Trump memasukkan beberapa pemikiran Blair ke dalam rencana perdamaian 21 tahapnya (21 Poin Trump),” kata pejabat tersebut. “Harus ada seseorang yang dapat diterima oleh semua pihak. Israel sangat menyukai Tony Blair.”
Hubungan pribadi Blair dengan Netanyahu juga hangat, menurut orang-orang yang pernah melihat mereka bersama. “Anda selalu bisa merasakan ketegangan di ruangan itu. Blair dan Bibi, Anda bisa melihat bahwa mereka akur,” kata seorang mantan anggota tim Blair dari masanya di Kuartet PBB menggunakan nama panggilan untuk Netanyahu.
Blair mempromosikan banyak gagasan tersebut sejak awal perang yang dimulai setelah Hamas menyerang kota-kota Israel pada 7 Oktober 2023. Ia diketahui sering berkonsultasi dengan menantu Trump, Jared Kushner, seorang narasumber penting bagi penasihat utama Netanyahu, Ron Dermer, dan para pemimpin Arab Saudi serta Uni Emirat Arab.
Ia pernah dirumorkan akan menduduki posisi kepemimpinan pascaperang sebelumnya. Di awal musim semi, dokumen yang didistribusikan oleh warga Amerika dan Israel yang menyusun rencana untuk Yayasan Kemanusiaan Gaza–program bantuan pangan yang didukung AS dan Israel yang dimulai pada Mei–menyebut Blair sebagai tokoh utama, bahkan berpotensi menjadi ketua komite internasional yang akan mengawasi dan memberikan kredibilitas pada inisiatif tersebut. Para perencana mengatakan bahwa ia dan staf dari Institut Tony Blair untuk Perubahan Global miliknya berpartisipasi dalam sejumlah pertemuan dengan kelompok tersebut sebelum akhirnya menarik diri dari proyek kontroversial tersebut.
Laporan berita selama musim panas juga menandai Blair dan lembaganya sebagai pihak yang berpartisipasi dalam perencanaan pascaperang yang sama kontroversialnya, mencakup proposal untuk merelokasi sebagian besar penduduk Gaza ke negara lain. Lembaga tersebut kemudian menyatakan bahwa mereka hanya berpartisipasi dalam batas mendengarkan.
Apa pun posisi Blair di masa depan, beserta ketentuan-ketentuan penting lain, masih harus dirumuskan, menurut seorang diplomat di wilayah tersebut yang mengetahui diskusi-diskusi terkini. Salah satu poin perdebatan terbesar tetaplah peran Otoritas Palestina di Gaza setelah Hamas lengser.
Netanyahu bersikeras bahwa otoritas tersebut tidak akan berperan, sementara Abbas menolak otoritas pemerintahan non-Palestina di wilayah kantong tersebut. Namun, rencana Blair secara eksplisit menetapkan bahwa tidak ada warga Gaza yang akan dipaksa meninggalkan Jalur Gaza dan tujuan akhir dari otoritas transisi ialah menyerahkan kekuasaan kepada Otoritas Palestina yang direformasi dan diperkuat sebagai bagian, pada akhirnya, dari negara Palestina yang merdeka.
Proposal Blair hanyalah salah satu cetak biru yang diajukan oleh berbagai pihak, termasuk proyek rekonstruksi senilai US$53 miliar yang didukung Liga Arab. Pada Februari, Trump mengatakan bahwa Palestina harus meninggalkan Gaza sementara AS datang untuk membangunnya kembali sebagai Riviera Timur Tengah, meskipun ia belum mengulangi gagasan tersebut baru-baru ini.
“Masih banyak hal besar yang harus diselesaikan. Apa pun masih bisa terjadi,” kata diplomat itu. “Tetapi tidak diragukan lagi bahwa gagasan (Blair) mendapat lebih banyak perhatian dalam beberapa bulan terakhir. Itulah yang diinginkan semua orang.”
Blair langsung mengerahkan pengaruhnya sebagai perdana menteri dalam proses perdamaian segera setelah ia menjabat. Ia mendukung negosiasi Oslo yang sedang berlangsung dan kemudian mendukung perundingan antara Barak dan pemimpin PLO Yasser Arafat yang ditengahi oleh Presiden Bill Clinton di Camp David. Beberapa tahun kemudian, ia dianggap berjasa mendorong Bush yang enggan untuk mengusulkan peta jalan, rencana menuju negara Palestina yang tidak membuahkan hasil.
Pada hari Blair meninggalkan jabatannya pada 2007, ia bergabung sebagai utusan utama untuk Kuartet, badan koordinasi yang disponsori PBB yang terdiri dari Amerika Serikat, Rusia, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan Uni Eropa. Ia juga meluncurkan firma konsultannya dan menjadi penasihat senior untuk JPMorgan Chase pada saat itu yang memicu seruan bahwa ia mencampuradukkan diplomasi dengan bisnis.
Sejak saat itu, lembaganya tetap aktif di seluruh kawasan, mengupayakan perdamaian, kata para pendukungnya, atau mencari keuntungan seperti yang dikatakan para pengkritiknya.
“Saya pikir dia sudah menyerah pada semua ini sekarang,” kata Rentoul. “Namun, dia belum menyerah pada gagasan bahwa dia bisa menyelesaikan hal-hal yang tidak bisa diselesaikan orang lain.” (I-2)
[OTOMOTIFKU]