IEU-CEPA Butuh Kesiapan Pelaku Usaha

IEU-CEPA Butuh Kesiapan Pelaku Usaha
Pekerja mengoperasikan alat berat untuk mengangkut kontainer saat bongkar muat di Pelabuhan Ahmad Yani Ternate, Maluku Utara.(Antara/Andri Saputra)

MESKI Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia–Uni Eropa (IEU–CEPA) membuka akses pasar yang lebih luas bagi produk Indonesia, dampak ekonominya diperkirakan masih terbatas. 

Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M Rizal Taufikurahman mengatakan, hal tersebut karena bergantung kepada kemampuan pelaku usaha mampu memanfaatkan fasilitas tarif serta memenuhi standar teknis Uni Eropa. 

Penandatanganan IEU–CEPA antara Indonesia dan Uni Eropa merupakan tonggak penting yang membuka akses pasar lebih luas melalui penghapusan tarif pada lebih dari 98% pos tarif dan hampir 99% nilai impor. Secara makro, perjanjian ini berpotensi mendorong perluasan dagang dan menurunkan biaya masuk bagi komoditas unggulan Indonesia seperti minyak sawit, perikanan, tekstil, alas kaki, serta furnitur. 

“Namun, transmisi ke pertumbuhan domestik bruto (PDB) diperkirakan masih moderat, sekitar 0,1%–0,2% menurut studi ex-ante. Ini karena manfaat riil sangat bergantung pada sejauh mana pelaku usaha mampu memanfaatkan fasilitas tarif itu,” kata Rizal, Selasa (23/9).

Perlu dicatat pula, perjanjian baru efektif setelah proses ratifikasi, kemungkinan mulai 2027, sehingga dampak ekonomi dinilai tidak langsung terasa.

Selain preferensi tarif, Rizal mengatakan IEU–CEPA juga dapat memicu masuknya investasi asing langsung dari Eropa, khususnya untuk diversifikasi rantai pasok dan hilirisasi industri di Indonesia. Hal ini tentu positif jika kebijakan domestik konsisten dalam menjaga kepastian hukum, regulasi investasi, dan ketersediaan energi yang kompetitif.

Meski demikian, ada tiga faktor utama yang berpotensi menggerus manfaat perjanjian ini. Pertama, Peraturan Deforestasi Uni Eropa atau The European Union Deforestation Regulation (EUDR) yang berlaku mulai Desember 2025. Kebijakan ini menuntut traceability atau penelusuran ketat hingga koordinat kebun untuk sawit, karet, kakao, kopi, dan kayu. 

“Tanpa pemenuhan regulasi ini, tarif 0% tidak ada artinya karena produk bisa tertahan di perbatasan,” jelas Rizal.

Masalah kedua, kebijakan CBAM (Carbon Border Adjustment Mechanism) yang efektif Januari 2026 dikhawatirkan akan membebani ekspor baja, aluminium, maupun produk berbasis nikel dengan biaya karbon, sekaligus menguji daya saing ekspor berbasis energi fosil Indonesia. 

Ketiga, lanjut Rizal, proses ratifikasi di Parlemen Eropa bisa memunculkan tekanan tambahan pada bab Trade and Sustainable Development, sehingga kewajiban lingkungan dan ketenagakerjaan bisa semakin ketat.

Dari sisi kebijakan, Indonesia disarankan cepat menyiapkan langkah teknis untuk mengamankan manfaat IEU–CEPA. Ini mencakup percepatan sistem traceability untuk petani kecil melalui pemetaan kebun, geo-referencing, dan due diligence agar lolos EUDR. Kemudian, pentingnya penyiapan skema monitoring, reporting, and verification (MRV) emisi dan bauran energi lebih bersih guna menekan biaya CBAM, serta pendirian helpdesk nasional untuk aturan asal barang (ROO) dan akreditasi laboratorium agar produk ekspor memenuhi standar Sanitary and Phytosanitary Measures (STS) dan TBT (Technical Barriers to Trade) Uni Eropa. 

“Tanpa kesiapan ini, Indonesia bisa mengalami under-utilization, yakni preferensi tarif tidak termanfaatkan optimal, sebagaimana yang terjadi di beberapa FTA sebelumnya,” pungkasnya. (Ins/E-1)

[OTOMOTIFKU]