Indonesia, Surga para Koruptor

KASUS perjalanan-penyelenggaraan haji 2023-2024 tentu saja menyentak kita semuanya. Betapa tidak, sebuah perjalanan penuh makna spiritual dan mendekatkan diri kepada Tuhan saja terjadi kasus korupsi yang dilakukan oleh mereka, yang semuanya memahami bahwa hal tersebut tidak layak dilakukan oleh siapa pun karena bertentangan dengan kaidah hukum Islam.

Namun, itulah faktanya. Terjadi persoalan penyelewengan yang mengarah pada adanya tindak pidana korupsi di lingkungan Kementerian Agama. Satu kementerian yang dianggap dekat dengan Tuhan. Bagaimana mungkin korupsi terjadi di kementerian yang dekat dengan Tuhan?

Sayyid Husein Alatas menulis buku fenomenal Sosiologi Korupsi (1987). Buku itu membahas tentang bagaimana praktik korupsi terjadi dan merajalela di Kawasan Asia Tenggara dan negara negara Asia lainnya. Dikatakannya bahwa korupsi terjadi karena banyak hal menjadi latar belakang para koruptor. Adanya kesempatan untuk melakukan korupsi menjadi salah satu yang paling mencolok di negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Indonesia, Filipina dan India.

Kesempatan terjadi karena lingkungan kerja mendukung untuk seseorang berbuat korupsi. Bahkan, korupsi berkelompok menjadi bagian tak terpisahkan dilakukan karena hampir semua orang jika ada kesempatan, sejatinya ingin melakukan korupsi. Korupsi berkelompok itu belakangn dikenal dengan korupsi karena nepotisme dan kolusi yang menjadikannya adanya patronklien di dalamnya.

Biasanya yang memiliki kuasa hendak melanggengkan kekuasaannya dengan cara menekan atau melakukan ‘pemaksaan’ dan pemberian pengharapan pada mereka yang berada di bawahnya. Dengan demikian, yang di bawahnya terpaksa dan dapat dengan sempurna menjadi bagiannya serta tunduk kepada atasannya.

Selain adanya kesempatan, keberanian merupakan alasan yang tidak terbantahkan. Seseorang atau secara berkelompok melakukan korupsi karena keberanian diperlihatkan oleh seseorang yang terlebih dahulu melakukan korupsi, tapi tidak pula mendapatkan hukuman yang membuatnya jera.

Dengan demikian, bukan hanya sekali dan sendirian melakukan korupsi, melainkan berupaya untuk mengulang perbuatannya dan jika ada kesempatan dilakukan secara berkelompok. Demikian terus dilakukan karena lingkungan yang ada di sekitarnya merupakan lingkungan yang mendukung terjadinya korupsi, baik secara perseorangan maupun secara berjemaah.

Lingkungan kerja yang mendukung untuk melakukan korupsi merupakan bagian tak terpisahkan kenapa praktik korupsi terus berjalan tiada akhir. Bahkan di negara yang penduduknya menjadi warga negara paling taat dalam beragama sekalipun. Bahkan rajin setiap tahunnya menjalankan perjalanan ibadah, baik ke Tanah Suci Mekah dan Madinah maupun ke Jerusalem. Bahkan ke negara-negara tempat kelahiran para rasul alias orang suci (Santo maupun Budha Gautama), termasuk pula kelahiran Mahatma Gandhi, seorang penganut Hindu yang sangat dihormati di dunia.

Korupsi senantiasa dilakukan nyaris dengan tanpa malu-malu dan tanpa tedeng aling-aling. Bahkan, yang sebenarnya menyedihkan ketika tertangkap basah operasi tangkap tangan (OTT), yang cenderung disalahkan adalah petugas yang melakukan OTT tersebut. Petugas kurang memakai pendekatan yang lebih manusiawi, tidak memahami psikologi warga negara yang ditangkap, dan seterusnya. Prinsipnya, petugas KPK yang melakukan OTT itulah yang salah, seperti malaikat saja yang tidak memiliki kesalahan.

Agak aneh memang. Di sebuah negara yang penduduknya sangat rajin beragama, tapi peringkat korupsinya juga paling tinggi di kawasan ASEAN sejak 2010 hingga saat ini. Antara keberagamaan dan praktik korupsi ternyata tidak ada kaitannya sama sekali. Saat sedang beribadah, dia adalah seseorang tampak rajin dan saleh. Namun, saat setelah keluar rumah ibadah, berubah seketika menjadi para bandit, setan, dan kecu. Dua sisi kemanusiaan yang sungguh saling berlawanan.

Tidak terdapat bekas sama sekali antara orang yang taat beribadah, taat berkunjung ke rumah suci, tempat-tempat ibadah, dan praktiknya menjadi pencuri uang negara bahkan uang rakyat. Pertanyaannya, akankah negeri ini benar-benar menjadi surga para koruptor? Yang mana para koruptor seringkali dibela, dielu-elukkan, ditahbiskan menjadi orang suci, tak berdosa, dan pemimpin umat?

Jika hal tersebut terus terjadi, kepada siapa kita memberikan kepercayaan jabatan publik yang dikatakan banyak duitnya alias timbunan uang rakyat, baik berupa dana tabungan di perbankan, di kementerian, dana untuk perjalanan haji dan umrah, maupun dana untuk pendidikan dan seterusnya.

Bahkan, dana untuk kepentingan kesejahteraan sosial saja tidak luput untuk digarong. Sungguh mengerikan perilaku pejabat publik kita. Berbagai argumentasi sering tidak merasa apa yang dilakukan sebagai bentuk korupsi. Bahkan, mereka berupaya mencari beribu alasan agar tuduhan tindak pidana korupsi disangkal.

 

MODUS VIVENDI

Kita dapat menyaksikan betapa banyak praktik modus vivendi korupsi di negeri para koruptor berseliweran. Pertama, memberikan pemberian kepada pejabat. Modus yang disering dilakukan adalah memberikan dari orang lain yang berkepentingan, baik bawahan, pihak swasta, maupun sesama pimpinan, untuk meloloskan suatu aktivitas yang dapat menguntungkan secara pribadi atau kelompok.

Pemberian yang dilakukan sebenarnya bentuk sogokan yang sudah sangat sering dilakukan agar pekerjaannya dapat diloloskan atau mendapatkan pekerjaan tersebut. Sayangnya, hal semacam ini sering kali dianggap sebagai sedekah biasa sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada mereka yang akan memberikan pekerjaan dan telah memberikan pekerjaan.

Kedua, menawarkan jabatan dengan janji-janji. Praktik menawarkan jabatan melalui janji-janji manis dari atasan kepada mereka yang ‘mencari dan gila jabatan’ memang sudah jamak kita dengar. Mereka yang memiliki kekuasaan dan jabatan berupaya menawarkan ‘janji manis’ kepada para pencari jabatan dan penggila jabatan dengan sejumlah posisi.

Namun, untuk mendapatkan posisi yang diinginkan, seseorang harus rela merogoh sakunya untuk dikeluarkan dan diberikan pada para ‘calo’ jabatan yang memiliki kekuasaan. Mempergunakan ‘tangan orang lain’ sebagai perantara sudah jamak pula kita dengar sehingga sang pemberi janji manis jabatan seakan menjadi orang bersih, padahal otak dan hatinya busuk, penuh kerakusan.

Kita kerap kali mendengar di Republik ini terdapat para pejabat yang berjanji akan memberikan jabatan atau posisi tertentu kepada orang tertentu dengan memberikan sejumlah uang maupun properti atau bentuk-bentuk material lainnya. Sejumlah uang dan properti maupun material ini seakan menjadi syarat agar seseorang dapat meraih jabatannya dengan mudah, nyaris tanpa persaingan yang adil, setara antara semua warga negara. Banyak kasus semacam ini telah menghantarkan para pemberi janji dan penerima janji masuk penjara, tapi juga tidak mereda praktiknya.

Hal itu karena hukuman yang dikenakan kepada mereka semuanya tampaknya hanya formalitas belaka, akan penuh dengan remisi tiap tahun. Dengan demikian, jika seseorang mendapatkan hukuman tujuh tahun penjara nanti hanya dijalaninya sekitaran 3-4 tahun penjara. Oleh sebab itu, tidak pernah ada jera dan memberikan rasa takut kepada mereka yang di dalam hati dan otaknya memang sudah punya niat untuk melakukan praktik kotor semacam itu.

Ketiga, mengangkat sanak saudara, keluarga, dan kelompoknya sebagai kroninya. Praktik korupsi semacam ini telah lama disinyalir terjadi di Asia Tenggara dengan berbagai modelnya. Ada yang mempergunakan praktik mengangkat sanak saudaranya di pemerintahan, di jabatan-jabatan tertentu, dan menyediakan fasilitas untuk sanak saudaranya. Tentu saja dengan mudah dilakukan karena mereka semuanya menjadi bagian dari ‘lingkaran orang dalam’ yang berkuasa alias bagian dari oligarki kekuasaan. Para kroni yang berada di lingkungan sekitarnya tentu saja akan dengan mudah pula mendapatkan berbagai kemudahan-kemudahan dalam mendapatkan apa yang diinginkan.

Praktik samacam itu telah terjadi di Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Indonesia seperti dikatakan oleh Jefrey Winter, dalam Oligarki (1992 dan 2002) dan tampaknya terus berlangsung hingga saat ini. Bahkan, praktik semacam ini semakin menggila dan vulgar sejak Indonesia mengalami perubahan politik dari Orde Lama menjadi Orde Baru dan Reformasi.

Para pejabat tidak pernah berhenti untuk mempraktikkan model korupsi dengan melibatkan keluarga, sanak saudara, dan kroni mereka. Para kroni yang mendapatkan pada akhirnya akan berupaya mempertahankan dan membela sang pemberi dengan berbagai argumen yang tidak masuk nalar sehat dan hati nurani sekalipun.

Keempat, melakukan penggelembungan harga atau mark-up barang dan jasa dari harga sebelumnya untuk mendapatkan untung sebanyak mungkin. Melakukan penggelembungan anggaran dan pembelian barang merupakan praktik korupsi yang sudah sangat jamak kita ketahui.

Nyaris tidak pernah hilang bahwa banyak dari mereka para koruptor melakukan pekerjaan ini dengan alasan sesuai dengan permintaan pihak kedua dan pihak ketiga sehingga sang aktor merasa tidak bersalah dengan hal yang dilakukan. Padahal yang harus membayar adalah negara atau institusi.

Dengan melakukan penggelembungan anggaran sesungguhnya telah merugikan negara secara maksimal karena negara harus mengeluarkan sejumlah uang yang seharus tidak sebanyak di-mark-up. Namun, karena pejabat melakukan mark-up, negara harus membayar banyak sekalipun yang dibayarkan kepihak kedua atau ketiga hanya sejumlah anggaran asli sebelum digelembungkan. Membuat penawaran ganda bahkan triple bahkan membuat kuitansi ganda dan triple dianggap sebagai sesuatu yang lazim dilakukan di negeri para koruptor ini. Bahkan, seakan ada yang janggal jika membeli barang kepada pihak ketiga tidak melakukan mark-up sebab nyaris semuanya melakukan hal ini. Hal yang tidak benar akhirnya dibenarkan. Sementara yang benar dianggap janggal dan salah. Sekali lagi: inikah negeri surganya para koruptor?

Kelima, melakukan penyelewengan kewenangan dan jabatan untuk mendapatkan keuntungan material. Penyelewengan kewenangan dan jabatan untuk mendapatkan keuntungan di negeri para koruptor nyaris tidak pernah hilang dari telinga kita. Saban hari berseliweran di depan hidung para pejabat publik melakukan penyelewengan jabatan dan kekuasaan dengan berbagai modelnya. Hal yang paling jelas tujuannya adalah mendapatkan keuntungan, baik material maupun jabatan selanjutnya.

Hanya, yang juga aneh terjadi adalah mereka yang mengetahui akan mengatakan hal itu hanya dijebak. Hanya dimanfaatkan dan berbagai argumen lainnya yang mengarah bahwa orang yang terjerat hukum korupsi jika dia adalah tokoh politik, tokoh ormas keagamaan, tokoh pendidikan, tokoh LSM, atau tokoh apa pun akan di-framing bahwa orang tersebut hanya dijebak oleh kekuasaan.

Pertanyaannya, bukankah selama ini sudah jelas bahwa jika tidak bersedia sebenarnya dapat berkata: saya akan mundur jika terus terjadi semacam itu. Bisa pula dengan mengatakan yang lainnya: saya tidak akan terlibat di sana dan ini pernyataan saya bapak.

 

TUNAETIKA

Dengan memperhatikan apa yang sering dan sedang terjadi di negeri ini, kita dapat mengatakan bahwa para pejabat kita baik politisi, tokoh agama, maupun tokoh masyarakat memang banyak yang mengidap penyakit tunaetika. Sungguh mereka saya percaya memiliki pikiran, punya hati nurani, tapi pikiran dan hati nurani mereka tumpul dengan berbagai macam janji dan hal kenikmatan lainnya yang ada di didepannya. Tunaetika jelas membahayakan negeri ini jika terus berlangsung entah sampai kapan. Kita harus segera siuman agar tidak karam kapal besar negeri ini.

Kini, saya pikir sudah saatnya memberikan hukuman yang serius dan tanpa pandang bulu kepada mereka yang terlibat dalam praktik korupsi agar pada suatu saat nanti memberikan efek jera dan ketakutan yang sesungguhnya pada mereka yang hendak melakukan. Pemiskinan aset, perampasan aset, dan adanya hukuman politik lainnya agaknya perlu dilakukan sehingga negeri ini bukan hanya menjadi negeri para koruptor yang membuat susah rakyat banyak dan merugikan negara. Tidak ada lagi yang menyatakan bahwa perlu ada perlindungan hak asasi, perlindungan hukum atas semua warga negara, termasuk yang melakukan korupsi. Mereka yang melakukan korupsi sendiri telah melanggar hak asasi banyak warga negara dan melanggar hukum secara berjemaah.

 

NEGERI PARA BANDIT

Jangan biarkan negeri ini menjadi negeri para bandit. Baik bandit berdasi maupun bandit berwajah bromocorah. Cukup sudah negeri ini dikorupsi oleh mereka yang rakus kekuasaan, rakus jabatan, rakus kenikmatan duniawi dengan setoran-setoran dari berbagai pihak yang merugikan negara dan warga negara.

Kita tidak bisa lagi memberikan pengampunan dosa kepada mereka yang menjadi bandit di negeri ini. Jika terus akan diampuni, dibela dan dieluk-elukkan bahwa mereka yang terjerat korupsi hanya karena teledor, kurang hati-hati, dan dijerumuskan, negeri ini benar-benar menjadi surga para koruptor.

Praktik korupsi dengan demikian tidak akan pernah berhenti dengan massif sekalipun berulang kali terjadi OTT atas mereka yang melakukan korupsi. Kita perlu menghentikan pembelaan-pembelaan yang tidak bermanfaat atas mereka yang terlibat dalam korupsi. Kita tidak perlu pula merasa malu jika dari pihak kita, teman dekat kita, kawan seperjuangan, terjerat korupsi kemudian mengatakan tidak mungkin dilakukan oleh orang sebaik ini.

Mari kita segera insaf untuk mengatakan tidak membela para koruptor di mana pun dan kapan pun kita berada. Kita jelas tidak rela jika negeri ini benar-benar menjadi ‘surga para koruptor’ yang merugikan warga negara dan negara itu sendiri.

 

[OTOMOTIFKU]