
PERJALANAN karier Komjen Rudy Heriyanto cukup unik kalau dilihat dari lanskap kepemimpinan Polri secara umum. Alumni Sepa Polri 1993 yang berhasil mencapai bintang tiga. Hal ini bukan pencapaian biasa di lingkungan yang didominasi lulusan Akpol.
Stigma tentang jalur Sepa memang ada. Secara informal, ada semacam invisible ceiling untuk perwira dari jalur ini. Tapi Rudy memecahkan langit-langit itu. Lulus sebagai yang terbaik di angkatannya mungkin menjadi modal awal, tapi perjalanan setelahnya murni dibangun dari prestasi dan kapasitas.
Kariernya dimulai di Bareskrim, fokus ke reserse. Ini bukan jalur yang glamor. Tidak ada spotlight media seperti satuan operasi lapangan. Reserse adalah kerja keras yang detail-oriented, butuh kesabaran tinggi, dan seringkali hasilnya baru terlihat berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun kemudian.
Dari Dirtipidter hingga Dirtipideksus, Rudy menangani kasus-kasus yang sangat sensitif. Kejahatan ekonomi kelas kakap bukan sekadar soal menangkap pelaku. Ini soal membongkar jaringan, melacak aliran uang, memahami modus operandi yang sophisticated, dan membangun bukti yang cukup kuat untuk proses hukum.
Salah satu kasus besar yang pernah ditanganinya melibatkan jaringan investasi ilegal senilai ratusan miliar rupiah sekitar tahun 2016. Prosesnya panjang dan rumit, tapi tuntas. Transisi kariernya menunjukkan adaptabilitas yang tinggi. Dari reserse, dia naik ke posisi Kadivkum Polri pada 2019-2020. Ini lompatan yang signifikan, dari operasional lapangan ke kebijakan hukum institusional.
Di posisi ini dia mulai memasukkan pemikiran akademisnya tentang reformasi hukum kepolisian. Tidak semua di internal setuju dengan pendekatannya yang dianggap terlalu teoritis, tapi dia cukup konsisten untuk tetap mendorong. Lalu penugasan sebagai Kapolda Banten dari 2020 hingga 2023.
Tiga tahun ini menjadi bukti apakah konsep-konsep akademisnya bisa diimplementasikan di lapangan. Dia mencoba pendekatan yang berbeda, polisi harus approachable, bukan menjadi entitas yang menakutkan. Community policing bukan sekadar jargon, tapi diterjemahkan dalam program konkret dengan berdialog bersama tokoh masyarakat, pendekatan preventif, dan mediasi untuk kasus-kasus tertentu.
Hasilnya tidak sempurna. Ada yang berhasil, ada yang mentok di tengah jalan. Data resmi menunjukkan penurunan angka kejahatan sekitar 12%, meski angka ini diperdebatkan karena faktor-faktor eksternal seperti pandemi. Yang lebih terukur mungkin adalah perubahan persepsi masyarakat terhadap polisi, dari yang awalnya takut menjadi lebih percaya untuk melaporkan masalah.
Kritik tetap ada. Pengusaha di kawasan industri sering mengeluhkan lambatnya penanganan kasus. Ada juga suara dari internal yang menganggap pendekatannya terlalu soft untuk daerah dengan tantangan premanisme yang nyata. Ini trade-off yang harus dihadapi oleh pemimpin yang memilih jalan tengah antara ketegasan dan humanisme.
Desember 2023 membawa babak baru. Rudy dipindahkan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai Sekretaris Jenderal, jabatan sipil yang sangat teknis, mendampingi wakil sang Presiden Prabowo ketika masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Banyak yang heran dengan penempatan ini. Tapi kalau dilihat dari rekam jejaknya menangani kejahatan ekonomi, pilihan ini cukup logis. KKP butuh orang yang paham celah-celah penyimpangan dan punya integritas untuk melakukan pengawasan ketat.
Pengalaman lintas sektor ini menjadi nilai tambah yang unik. Tidak banyak perwira tinggi Polri yang punya pengalaman mengelola birokrasi sipil di kementerian teknis. Ini memberinya perspektif yang berbeda tentang bagaimana institusi-institusi negara bekerja dan berkoordinasi.
Pertanyaannya sekarang: apakah pengalaman yang beragam ini cukup untuk memimpin Polri atau justru terlalu beragam sehingga kurang fokus? Perdebatan ini akan terus berlanjut hingga pengumuman resmi calon Kapolri dibuat.
Yang pasti, perjalanan kariernya membuktikan satu hal jalur non-konvensional bukan penghalang untuk mencapai posisi puncak, asalkan ada prestasi nyata dan kapasitas yang teruji. Itu pelajaran yang penting, tidak hanya untuk Polri tapi untuk seluruh birokrasi Indonesia.
Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso, mengatakan, dari nama-nama yang beredar Komjen Rudy Heriyanto Adi Nugroho. membuat isu pergantian Kapolri ini menjadi semakin menarik.
“Dari yang beredar ini saya memperhatikan satu orang yang agak beda, yang tiga lain kan, seperti Komjen Suyudi (S) Kepala BNN, Pak Dedi (D) Prasetyo Wakapolri dan satu lagi Rudi (R) Darmoko Akpol 93, ini kan semuanya Akpol nih, dan yang menarik ada satu yang beredar nama yaitu Komjen Rudi (R) Heriyanto, ini yang non Akpol, satu-satunya ya yang non Akpol,” ujarnya, kepada wartawan, Senin (29/9/2025).
Sugeng mengatakan, meskipun bukan berasal dari Akpol, Komjen Pol Rudy Heriyanto tetap memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk menjadi seorang Kapolri. “Pertanyaannya apakah bisa (Rudy Heriyanto jadi Kapolri)? Menurut saya bisa, kalau Polri mau menjadi sebuah institusi yang terbuka, memberikan kesempatan yang sama, itu bisa semuanya, termasuk Komjen Rudy Heryanto,” katanya.
Selain berpangkat Jenderal Bintang Tiga, Sugeng mengungkapkan, Komjen Rudy Heriyanto juga memiliki rekam jejak, kompetensi dan prestasi yang cukup mumpuni.
“Dia pernah menjabat Kapolda, Kadivkum, sebelumnya Direksus, Dirkrimum Polda, pernah jadi Kapolres, ini kan posisi-posisi yang menurut saya cukup strategis. Artinya, sebagai Non Akpol, dia diakui setara. Memang kemudian saya meneliti ya dari rekam jejak Pak Rudy Heriyanto ini, dia saya lihat sebagai lulusan terbaik SEPA Polri 1993, sama seperti Rudi Darmoko, dia kan Akpol 93 Adhy Makayasa, jadi sama,” ungkapnya. (Cah/P-3)
[OTOMOTIFKU]