
KOMISI Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) membentuk tim respons cepat terhadap dugaan peristiwa kekerasan dalam rangkaian aksi unjuk rasa dan pascaunjuk rasa yang terjadi pada 25 Agustus-11 September 2025.
“Komnas Perempuan membentuk Tim Respons cepat yang diaktifkan untuk tujuan melakukan pemantauan Secara langsung terkait dengan situasi yang terdampak dari unjuk rasa khususnya terhadap perempuan,” kata Komisioner Komnas Perempuan Yuni Asriyanti dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (12/9).
Hal tersebut dilakukan dalam kerangka menjalankan 2 dari 5 mandat Komnas Perempuan berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) 8 tahun 2024.
Kemudian ada tim pemantauan media yang bertugas untuk memantau pemberitaan dan verifikasi informasi yang berkembang Lalu juga membentuk tim untuk menerima pengaduan karena juga membuka hotline pengaduan.
“Kami membentuk atau mengaktifkan tim ini adalah bagian dari mandat Komnas Perempuan yang tercantum di dalam Perpres Nomor 8 Tahun 2024,”
Temuan sementara mengindikasikan adanya pola berulang berupa penggunaan kekuatan berlebihan, penangkapan sewenang-wenang, serta intimidasi termasuk yang secara khusus menyasar perempuan melalui kekerasan berbasis gender. Perempuan yang ditangkap menghadapi stigma dan kesulitan memperoleh pendampingan.
“Juga kami mendapatkan adanya penyebaran hoaks kekuasaan seksual yang digunakan sebagai alat teror untuk menciptakan ketakutan di ruang publik dan juga membungkam suara perempuan,” ungkap Wakil Ketua Komnas Perempuan Dahlia Madanih.
Hal ini kami temukan di beberapa daerah dimana perempuan-perempuan pada saat aksi juga mengalami intimidasi dan ancaman-ancaman berkait dengan yang berbasis gender.
Selain itu, Komnas Perempuan menemukan adanya penyebaran hoaks kekerasan seksual yang digunakan sebagai alat teror untuk menciptakan ketakutan di ruang publik dan pada saat yang sama membungkam suara perempuan.
Peran Perempuan di Masa Krisis
Komnas Perempuan juga menyampaikan bahwa meskipun dalam situasi yang krisis ada peran-peran yang dimainkan oleh gerakan masyarakat sipil terutama perempuan dalam menjelaskan perdamaian.
“Bahwa advokasi atau suara yang disampaikan oleh perempuan dilakukan secara damai dan dipimpin oleh kepemimpinan perempuan dengan melakukan langkah-langkah dialog secara damai kepada pemerintah-pemerintah daerah maupun lembaga terkait,” kata Dahlia.
Perempuan hadir di garis depan dalam mengorganisir dan memastikan suara rakyat terus menggema, sebagai bukti nyata kontribusi mereka dalam memperkuat demokrasi. (H-3)
[OTOMOTIFKU]