
Sore itu, seorang bapak di Kampung Areng, RT 01 RW 07, Desa Cibodas, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, tengah sibuk mengurus delapan sapi di kandangnya. Omas namanya.
Di sebelah kandang itu, tercium aroma kopi hangat mengepul dari dapur rumah sederhana. Bukan dari kompor elpiji, melainkan api biru biogas yang berasal dari kotoran sapi milik Omas.
“Sudah hampir setahun saya tidak pernah beli gas elpiji. Cukup masak pakai biogas dari sapi-sapi saya,” kata Omas saat ditemui belum lama ini.
Tidak hanya untuk memasak, keluarga Omas juga bisa mandi dengan air hangat setiap hari. Empat kali sehari, ia menanak air panas dengan energi biogas. Tak ada lagi resah mencari tabung elpiji ketika stok habis atau harga naik di pasaran.
“Alhamdulillah, aman. Masak, minum, sampai menanak nasi, semua dari biogas,” ujarnya.
Cara kerja biogas Omas sangat sederhana. Kotoran sapi ia kumpulkan setiap dua hari sekali setelah membersihkan kandang, lalu dimasukkan ke tempat penampungan besar untuk difermentasi. Dari proses fermentasi itulah gas keluar dan dialirkan ke rumah.
Dengan kapasitas 11 kubik kotoran sapi, biogas yang disalurkan dari pipa-pipa cukup untuk menerangi dua lampu, dua kompor, dan sebuah penanak nasi untuk rumah Omas dan anaknya.
Menurut perhitungan Omas, ia bisa menghemat ratusan ribu rupiah setiap bulan karena tidak perlu membeli elpiji dan tagihan listrik.
“Daripada keluar uang untuk beli gas, mending manfaatin apa yang ada. Cuma ya, harus rajin kumpulin kotorannya,” ucapnya.
Sejak 1989, Omas sudah terbiasa bergelut dengan ternak sapi. Profesi itu diwarisi dari orangtuanya. Tahun 2010, ia pertama kali mengenal biogas ketika ada bantuan masuk ke desanya.
Sebagian instalasi di kampungnya kini tak lagi berfungsi, tapi milik Omas tetap bertahan. Bahkan berkembang berkat tambahan bantuan dari PT Permodalan Nasional Madani (PNM) Cabang Cimahi berkolaborasi bersama PT Pegadaian.
Kotoran sapi yang dulu hanya dianggap limbah bahkan dibuang ke sungai, kini justru menjadi sumber energi utama bagi keluarganya.
“Kalau bisa, saya mau tambah lagi kapasitasnya, supaya energi lebih banyak,” tutur dia.
Semangat Omas inilah yang mencerminkan nilai “Pegadaian mengEMASkan Indonesia” memberdayakan masyarakat dari potensi lokal, membangun kemandirian, dan mengubah tantangan menjadi peluang emas.
Limbah kotoran sapi
Belakangan ini, pencemaran kotoran sapi di Lembang menjadi isu lingkungan serius karena masih banyak peternak yang belum mengolahnya dengan baik. Dari jumlah populasi 26.300 sapi di Lembang, baru 30% saja yang limbah sapinya diolah.
“Mungkin baru 30% terselesaikan dengan biogas, cacing untuk bahan kosmetik, pupuk organik. Nah yang harus diselesaikan ini 70%,” terang Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Bandung Barat, Wiwin Aprianti.
Pencemaran dari kotoran sapi pernah dikeluhkan pengelola Tahura Ir H Djuanda Bandung karena ditemukan fakta jika aliran Sungai Cikapundung menjadi tempat pembuangan kotoran sapi hingga mencapai 234 ton per hari.
Kepala UPTD Tahura Ir H Djuanda Bandung Lutfi Erizka mengungkapkan, dampak pencemaran kotoran sapi di Cikapundung membuat aliran sungai berubah warna menjadi kehijauan. Air sungai juga mengeluarkan bau tak sedap.
“Apalagi kalau di atas di kolam tandon Pakar, ketika airnya surut, baunya sangat mengganggu bahkan sampai ke kantor kami,” katanya.
Jika kondisi Sungai Cikapundung tak segera ditangani, hal ini memicu kekhawatiran masyarakat, mengingat sebagian besar kebutuhan air minum untuk wilayah Kota Bandung bergantung pada pasokan dari sungai tersebut.
Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Pengendalian Dampak Lingkungan pada Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat, Resmiani menjelaskan, bagian hilir Sungai Cikapundung merupakan penerima manfaat, salah satunya adalah sumber air minum untuk Kota Bandung.
Dengan adanya pencemaran limbah kotoran sapi di DAS (daerah aliran sungai) Citarum Besar, semua pihak mulai dari hulu hingga hilir harus ikut terlibat. Apalagi sungai ini telah tercemar bakteri E.coli melebihi ambang batas.
“Tingkat polusinya tergantung cuaca, kalau misalnya musim hujan atau kemarau pasti akan ada perbedaan karena kan itu ada tingkat pengencan kalau musim hujan. Yang pasti, E coli cukup tinggi, sudah melampaui mutu baku,” bebernya.
Sekretaris Daerah (Sekda) Jawa Barat, Herman Suyatman mendukung penuntasan masalah limbah kotoran sapi. Ia mendorong para peternak untuk melakukan pengolahan mandiri agar tidak dikelola secara konvensional dengan cara dibuang ke sungai.
“Diperlukan teknologi tepat guna agar kotoran sapi bisa diolah menjadi pupuk organik bernilai tambah bagi petani sayur sekitar dan pemasarannya dikerjasamakan dengan perusahaan pupuk yang ada,” kata Herman.
Dengan mengurai permasalah yang ada, pihaknya optimistis Jawa Barat bisa kembali menjadi produsen susu terbesar dan berkualitas di Indonesia dalam beberapa tahun ke depan. Ini akan berdampak pada kesejahteraan para peternak.
Kisah Omas menjadi contoh nyata bahwa inovasi sederhana dapat membawa perubahan besar terhadap lingkungan.
Dari kandang sapi, ia telah membuktikan bahwa limbah yang kerap dipandang sebelah mata bisa menjadi energi bersih, murah, dan ramah lingkungan.
[OTOMOTIFKU]