
KORAN Media Indonesia 30 September 2025 menurunkan berita berjudul Prabowo Akui MBG tidak Bisa Cepat-Cepat. Disampaikan bahwa penyimpangan atau kesalahan pelaksanaan makan bergizi gratis (MBG) hanya 0,00017%. Kita baca juga di berbagai media pada 22 September 2025 penjelasan Kantor Staf Presiden (KSP) bahwa sudah ada lebih dari 5.000 kasus keracunan selama ini.
Hanya sehari sesudahnya, di 23 September, muncul lagi berita keracunan makanan, bahkan Pemerintah Kabupaten Bandung Barat menetapkan kasus dugaan keracunan massal yang menimpa lebih dari 300 siswa seusai MBG sebagai kejadian luar biasa (KLB), jadi tentu masalah serius.
Yang lebih menyedihkan, sehari sesudahnya lagi, yaitu pada 24 September 2025, di Kabupaten Bandung Barat juga malah kembali terjadi lagi keracunan makanan dengan korban dilaporkan puluhan anak sekolah yang bahkan ada berita menyebutkan angka hampir 500 anak di dua hari berturut-turut itu.
Ironisnya, kedua kejadian berurutan itu terjadi dari makanan yang berasal dari dapur satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG) yang berbeda. Karena kemudian keadaan di Bandung Barat sudah membaik, status KLB di kabupaten itu dicabut.
Kejadian memang bukan hanya di Jawa Barat, Mediaindonesia.com pada 23 September 2025 menurunkan berita dari Jakarta, berjudul Siswa Jakarta Alami Gejala Keracunan Usai Santap MBG, 3 Orang Masuk Rumah Sakit. Selain itu, pada 24 September 2025 diberitakan juga ada sejumlah siswa SMKN Palang dilarikan ke RSUD setempat karena diduga keracunan makanan dari program MBG.
Bahkan, sampai 29 September juga tetap ada laporan keracunan makanan, seperti berita koran Media Indonesia 30 September 2025 yang berjudul MBG Diduga Picu Keracunan Berulang yang menulis tentang siswa MTs Muslimin Kabupaten Bandung Barat yang diduga pasien yang tadinya sudah sembuh, tapi kembali kambuh.
Dalam berita yang sama juga dicantumkan dugaan keracunan makanan seusai mengonsumsi MBG di Kabupaten Ciamis. Berita media lain menyebutkan bahwa pada 29 September terjadi juga keracunan makanan di daerah Lampung.
Untuk mengatasi masalah tidak kunjung selesai ini, setidaknya ada lima langkah yang kita usulkan perlu dilakukan kalau di sekolah di suatu daerah dilaporkan sejumlah anak, bisa sampai puluhan atau bahkan mungkin ratusan, mengalami keracunan makanan sesudah mengonsumsi MBG.
Langkah pertama, tentu harus ada sistem untuk mendeteksi keracunan yang terjadi di berbagai tempat di negeri kita ini. Kalau jumlahnya banyak, mungkin mudah dikenali, tapi kalau hanya beberapa anak, jangan sampai luput pula.
Masalah kesehatan tentu bukan hanya kalau ada puluhan atau ratusan kasus yang diberitakan luas. Ada satu atau dua anak saja yang memperlihatkan gangguan kesehatan sesudah mengonsumsi MBG tentu perlu jadi perhatian walaupun belum tentu karena keracunan makanan, mungkin saja kejadian ikutan saja. Jadi, perlu ada sistem pencatatan dan pelaporan yang baik dan termonitor dengan saksama.
Langkah kedua, jelas harus segera dilakukan penyelidikan epidemiologik (PE) secara amat mendalam dan sistematis. Petugas kesehatan masyarakat sejauh ini sudah punya pengalaman panjang dalam melakukan penyelidikan epidemiologik untuk berbagai KLB atau wabah penyakit.
Prosedur kerjanya (standard operating procedure/SOP) juga sudah ada dan teruji berjalan baik. Tentu setidaknya ada dua hal yang perlu dikaji. Kesatu, apa penyebabnya, baik dalam bentuk mikroorganisme, mungkin bakteri, atau jamur, virus, maupun bahan kimia.
Kedua, juga harus dapat dipastikan di mana ‘kesalahan’ prosesnya sehingga pencemaran dapat terjadi. Dalam hal ini, peran dan ketersediaan laboratorium yang memadai jadi pegang peran penting pula agar hasil pemeriksaan sahih dan cepat sehingga analisis biologi dan kesehatan masyarakat dapat dilakukan dengan baik dan akurat.
Perlu benar-benar ditegaskan tentang apa yang sebenarnya terjadi pada ribuan anak-anak kita ini, apalagi ada yang menyebutkan kemungkinan terjadinya alergi pula walaupun perlu dijelaskan bagaimana alergi dapat terjadi pada puluhan atau ratusan anak di satu sekolah yang sama.
Di sisi lain, Mediaindonesia.com 24 September 2025 menurunkan berita berjudul BGN Curigai Anomali Laporan Keracunan MBG yang antara lain menuliskan BGN sedang menginvestigasi laporan kasus keracunan yang diduga karena konsumsi MBG banyak terjadi mulai 14 September 2025 yang dilaporkan secara terus-menerus tanpa ada jeda.
Langkah ketiga, tentu korban keracunan perlu ditangani dengan baik. Untuk penanganan itu, ada tiga aspeknya. Kesatu tentu mengatasi keadaan klinis anak-anak yang keracunan. Kedua, mengatasi kegalauan dan kegelisahan orangtua mereka dan, ketiga, mengatasi keresahan para guru dan pengelola sekolah tempat terjadinya keracunan itu. Artinya, itu bukan hanya penanganan klinis, tetapi juga aspek penanganan kesehatan mental.
Jangan pula sampai ada ‘ketakutan’ pada anak-anak dan orangtua mereka untuk kembali mengonsumsi MBG sesudah mereka sembuh dari keracunan.
Harus ada upaya yang jelas untuk mengatasi keluhan ibu-ibu yang di siaran TV antara lain menyampaikan kesedihan bahwa pagi hari mengantar anak yang sehat-sehat saja ke sekolah, tetapi siang atau sorenya harus menerima kenyataan anaknya di puskesmas atau rumah sakit yang sebagian bahkan terbaring diinfus.
Langkah keempat, jelas perlu ada transparansi tentang apa yang terjadi. Berita viral yang pernah beredar tentang adanya surat bahwa orangtua di daerah Brebes diminta tidak menggugat keracunan MBG tentu bukan kebijakan yang tepat, kalau berita viral ini benar terjadi di lapangan. Transparansi jelas amat diperlukan agar didapat kepercayaan masyarakat di tengah berbagai berita yang terus beredar sekarang ini dan bahkan juga ada pendapat tentang peninjauan kembali program MBG. Transparansi juga harus sejalan dengan dilakukannya komunikasi sosial yang terbuka dengan baik dan bijak.
Langkah kelima yang perlu dilakukan sesudah keracunan terjadi ialah bagaimana pengelola program MBG mengambil pelajaran dari kasus-kasus yang terjadi di berbagai daerah negara kita ini. Karena sudah lebih setengah tahun berjalan dan sudah ada ribuan kasus, tentu sudah terkumpul data ilmiah yang dapat dipakai sebagai dasar untuk penanganan dan pencegahan pada waktu mendatang.
Kalau dari waktu ke waktu masih terus terjadi kejadian keracunan serupa, tampaknya analisis ‘belajar dari pengalaman’ belumlah dilakukan secara optimal. Monitoring juga tentunya perlu terus dilakukan dari waktu ke waktu dan datanya harus digunakan sebagai perbaikan kualitas program secara berkelanjutan, continous quality improvement.
Pada kesempatan ini baik juga disampaikan lima kunci pengolahan makanan yang aman, yang dikeluarkan World Health Organization (WHO). Pertama, benar-benar harus dijaga kebersihannya. Kedua, pisahkan makanan matang dan bahan mentah. Ada pendapat yang menganjurkan bahkan penggunaan pisau dan talenan yang berbeda warna untuk makanan matang dan mentah untuk mencegah kontaminasi silang.
Ketiga, masaklah dengan baik dan lengkap prosesnya. Keempat, makanan harus selalu dijaga berada dalam temperatur yang aman dan, kelima, untuk selalu menggunakan air bersih dan aman serta bahan mentah yang terjamin keamanannya pula. Dalam berbagai berita disebutkan akan ada pengawasan lebih baik pada SPPG. Lima kunci dari WHO itu dapat dijadikan pegangannya.
Sebagai penutup disampaikan bahwa program yang punya tujuan mulia seperti makan bergizi gratis itu perlu diimplementasikan secara baik, sistematis, terorganisasi, dan melibatkan semua lintas sektor terkait.
[OTOMOTIFKU]