
Zakat, infak, sedekah, dan wakaf bisa menjadi solusi kebutuhan kehidupan umat Islam. Kita semua menyepakati bahwa pendidikan (bukan sekadar sekolah) merupakan kebutuhan dasar setiap muslim. Bahkan, dalam paradigma Islam, kebutuhan akan pendidikan lebih mendasar daripada kebutuhan akan pangan.
Mengapa? Jika umat Islam kesulitan mengakses pangan, itu hanya akan merusak raganya. Namun, jika umat Islam tidak bisa mengakses pendidikan, maka bisa merusak akal dan jiwanya. Oleh sebab itu, pendidikan yang berkualitas patut diperjuangkan, salah satu instrumen yang dapat dioptimalkan yaitu dengan wakaf.
Pendidikan sebagai Indikator Kualitas Peradaban
Dalam konteks membangun peradaban, sumber daya manusia sebagai unsur terpentingnya. Pendidikan merupakan hal yang wajib atau harus diperhatikan. Ketika masyarakatnya tidak bisa mengakses atau terlayani dengan pendidikan berkualitas, maka kualitas sumber daya manusianya akan tertinggal. Dampaknya akan lebih luas dan sangat serius, masyarakat akan tertinggal dalam banyak sektor kehidupan. Umat Islam pada khususnya tidak akan bisa menjadi pemain dan hanya akan menjadi penonton dan objek.
Survey PISA (The Programme for International Student Assessment) pada 2022 yang melakukan survey di 81 negara untuk mengukur kemampuan siswa dalam kompetensi membaca, matematika, dan sains, menunjukkan data yang belum menggembirakan bagi Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar. Secara keseluruhan Indonesia berada di peringkat ke-66 dari 81 negara yang disurvei.
Terlepas dari adanya pihak yang masih meragukan validitas dan objektivitas data PISA, hasil survey PISA mestinya membuat kita tersadar bahwa masih banyak sekali anak di Indonesia, yang kemungkinan besarnya muslim, yang belum bisa mengakses pendidikan berkualitas. Layanan pendidikan yang diberikan hanya alakadarnya dan jauh dari berkualitas. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua. Lantas, bagaimana solusinya?
Wakaf Menjadi Solusi Pendidikan
Mari kita belajar dari sejarah. Nizhamul Mulk, Perdana Menteri Dinasti Saljuk, telah menyadari kebutuhan asasi umat Islam akan pendidikan. Karenanya, pendidikan (berkualitas) tidak boleh mahal. Jika pendidikan mahal, maka tidak semua umat Islam bisa mengakses pendidikan. Semestinya pendidikan bisa didesain gratis untuk semua muslim. Dari sinilah sumber daya manusia berkualitas dihasilkan. Pertanyaannya, bagaimana melahirkan model pendidikan berkualitas, namun gratis? Jawabannya adalah dengan wakaf. Nizhamul Mulk kemudian mendirikan Madrasah Nizhamiyah sebagai pilot project yang merupakan wakaf dari dirinya.
Lalu, dari mana pembiayaannya? Di sinilah pentingnya dibangun dan dikembangkan aset wakaf produktif lainnya untuk menopang pembiayaan pendidikan. Nizamul Mulk membangun pusat-pusat ekonomi (pasar) untuk membiayai Madrasah Nizhamiyah. Pasar-pasar inipun dibangun dalam skema wakaf. Lalu, diproduktifkan menghasilkan profit (keuntungan).
Keuntungan inilah yang kemudian disalurkan kepada Madrasah Nizhamiyah (mauquf ‘alaih). Setiap kali Nizhamul Mulk membangun Madrasah Nizhamiyah di kota lain diluar Baghdad, bersamaan dengan itu pula dibangun dan dikembangkan pula aset wakaf produktif untuk menopangnya. Sehingga, Madrasah Nizhamiyah bisa berdiri di berbagai kota sebagai pusat pengkaderan sumber daya manusia unggul dengan memberikan layanan pendidikan berkualitas dan gratis.
Apa yang dilakukan oleh Nizamul Mulk ini, kemudian menginspirasi Nuruddin Zanki di Suriah untuk menduplikasinya. Berdirilah Madrasah Nuriyah sebagai lembaga pendidikan gratis dan berdiri pula aset-aset wakaf produktif sebagai penopang pembiayaannya. Karena itu, pola atau skema subsidi silang dalam lembaga pendidikan sebetulnya tidak dikenal dalam sejarah pendidikan Islam.
Karena, bila ditelisik lebih dalam, ketika sebagian siswa membayar mahal untuk bisa membiayai siswa dhuafa di lembaga pendidikan tersebut, seringkali yang terjadi adalah transaksional pendidikan. Siswa berbayar mahal tersebut seringkali memiliki bargaining position (diperlakukan berbeda) oleh pihak lembaga pendidikan. Di sinilah sudah mulai terjadi penyimpangan dalam pendidikan. Bagaimana bisa lembaga pendidikan menjadi berkah? Lantas, apakah siswa yang orangtuanya kaya tersebut tidak membayar sama sekali alias gratis sama dengan siswa dhuafa?
Konsep Wakaf yang Bertumbuh
Kembali lagi ke konsep wakaf. Semestinya, para orangtua yang kaya itu diajak berwakaf tunai untuk pengembangan aset wakaf produktif yang dimiliki lembaga pendidikan tersebut. Ini jelas saja berbeda akadnya dengan membayar biaya pendidikan. Selain anaknya bisa sekolah gratis, mereka juga akan memperoleh pahala yang terus mengalir.
Ini jauh akan lebih memotivasi para orangtua kaya untuk berkontribusi bagi pengembangan lembaga pendidikan. Jika akadnya adalah biaya pendidikan, selesai sampai disitu saja. Namun, jika akadnya adalah wakaf tunai untuk pengembangan aset wakaf produktif yang dimiliki lembaga pendidikan tersebut, maka pahalanya akan terus mengalir.
Inilah pembeda dari hanya sekedar sekolah yang gratis lainnya. Melalui konsep wakaf ini justru bisa jadi nilai aset yang dimiliki lembaga pendidikan bertumbuh secara akseleratif atau bahkan eksponensial. Karena, bisa jadi justru ada orangtua siswa yang berwakaf dalam jumlah besar. Ini berbeda dengan membayar biaya pendidikan yang memang jumlahnya sudah ditentukan.
Karena itu, mari kita ubah cara pandang atau paradigma kita dalam mengelola pendidikan. Jadikan wakaf produktif sebagai instrumen pembiayaan pendidikan. Dengan demikian, lembaga pendidikan akan memiliki marwah dalam mendidik karena tidak “meminta” kepada orangtua siswa dalam bentuk biaya pendidikan (SPP).
Poin penting yang perlu jadi catatan, setiap kali membangun lembaga pendidikan berkualitas dan gratis berbasis wakaf, maka bangun pula aset wakaf produktif lainnya yang bisa dikembangkan secara bisnis, sehingga menghasilkan profit bagi pembiayaan lembaga pendidikan tersebut. Misalnya, membangun sentra peternakan dan pertanian.
Lalu, para orangtua siswa bisa diarahkan untuk berwakaf tunai bagi pengembangan sentra peternakan dan pertanian. Bisa juga aset wakaf produktif berupa mal atau pusat perbelanjaan muslim. Buatlah konsorsium orang tua siswa yang kaya untuk membangun pusat perbelanjaan muslim. Bisa juga membangun aset wakaf berupa pom bensin, restoran, dan aktivitas ekonomi sektor riil lainnya. Dengan begitu aset wakaf akan bertumbuh dengan produktif
ZISWAF itu paradigmanya adalah membangun dan mengembangkan ekonomi sektor riil. Karena, disinilah aktivitas jual beli terjadi, sehingga uang berputar dan beredar di masyarakat. Jika semua umat Islam, terutama para aghniya-nya, menyadari potensi besar dan dahsyat wakaf, maka kita akan mampu melahirkan instrumen-instrumen layanan kebutuhan mendasar bagi umat, seperti pendidikan berkualitas dan kesehatan gratis. Karena itu, tugas kita bersama untuk mempromosikan wakaf sebagai instrumen penting menghadirkan kehidupan yang sejahtera, berkualitas, dan beradab bagi umat.
Dompet Dhuafa hadir sebagai lembaga pengelola wakaf yang kredibel dan terpercaya, melalui program wakaf asrama santri, mewujudkan generasi Islami yang unggul. Mari tunaikan wakaf melalui link berikut: https://digital.dompetdhuafa.org/wakaf/asramaetahfidz. (Z-10)
[OTOMOTIFKU]