
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. MK menilai permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum. Putusan yang dibacakan pada Kamis (28/8/2025) di Ruang Sidang Pleno Gedung I MK itu, menegaskan kedudukan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) sebagai lembaga utama pengelola zakat di Indonesia. Ini menjadi bagian dari upaya mengawal konstitusi yang menjaga dana umat agar ”aman syar’i, aman regulasi, dan aman NKRI”.
Pengelolaan dana publik yang etis merupakan salah satu landasan utama dalam tata kelola yang baik, hal ini menjadi sangat penting dalam kerangka ekonomi Islam (Mooneeram-Chadee, 2020; Shalhoob, 2025). Di sini, tanggung jawab tersebut tidak hanya terbatas pada pengelolaan keuangan yang benar, tetapi juga terkait dengan ajaran ilahi yang menekankan keadilan (‘adl), kesejahteraan publik (maslahah), dan perlindungan kekayaan yang suci (hifz al-mal). Sebagai respons terhadap kewajiban ini, mekanisme seperti audit syariah dan transparansi telah muncul sebagai pilar yang sangat penting, yang bertujuan untuk memastikan sistem keuangan beroperasi dalam batasan hukum Islam dan prinsip etika (Khalid & Sarea, 2020). Peranannya bersifat ganda untuk menjamin akurasi keuangan sekaligus memastikan kepatuhan yang ketat terhadap syariah, dengan tujuan melindungi sumber daya dari penyalahgunaan seperti bunga (riba) dan ketidakpastian berlebihan (gharar).
Sejumlah penelitian sebelumnya mencoba mengungkap kompleksitas audit syariah, dengan perhatian besar pada standar teknisnya, integrasinya dalam struktur tata kelola perusahaan, serta dasar filosofisnya dalam Maqasid al-Shariah (Algabry, Alhabshi, Soualhi, & Othman, 2020; Aslam & Haron, 2020). Transparansi juga selalu didorong sebagai prasyarat yang tak bisa ditawar untuk membangun kepercayaan dan memastikan akuntabilitas. Namun, meskipun banyak penelitian yang ada, sintesis kritis yang menyeluruh masih sangat kurang. Literatur yang ada cenderung terpecah-pecah, terutama dalam hal membahas lembaga eksternal yang menegakkan prinsip-prinsip ini. Sementara komite audit internal dan regulator nasional sering dianalisis, peran kuat badan pengadilan puncak, khususnya Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga utama keuangan publik, masih jarang dibahas (Masud et al., 2023).
Kelalaian ini bukanlah hal sepele. Janji teoretis dari audit syariah dan transparansi berisiko hanya menjadi aspirasi semata tanpa ada lembaga yang kuat dan independen yang mampu menegakkan akuntabilitas terhadap aktor negara yang kuat. Mahkamah Konstitusi, yang memiliki kewenangan besar untuk membatalkan peraturan perundang-undangan dan tindakan eksekutif, berada dalam posisi yang unik untuk bertindak sebagai perwujudan modern dari konsep klasik Islam tentang hisbah (akuntabilitas publik). Namun, interaksi dinamis antara proses audit, yang mengungkap bukti kepatuhan atau penyalahgunaan, dan proses pengadilan, yang memberikan keputusan yang mengikat, belum dianalisis secara sistematis dan kritis.
Sebagian besar tinjauan literatur sebelumnya telah membahas audit syariah atau transparansi secara terpisah, sering kali dengan fokus yang sempit pada penerapannya dalam sektor perbankan (Almutairi & Quttainah, 2020; Ullah et al., 2016). Adapun yang menarik, tidak ada satupun yang mengintegrasikan dimensi penting pengawasan yudisial konstitusional dalam kerangka analitis yang kohesif. Selain itu, sintesis yang ada belum mampu mengikuti perkembangan pesat di bidang ini, gagal menangkap kekurangan metodologisnya, bias geografis yang nyata, atau potensi gangguan dari teknologi keuangan (FinTech), yang berpotensi mendefinisikan ulang proses audit melalui inovasi seperti blockchain dan kecerdasan buatan (Avci & Erzurumlu, 2023; Bamhdi, 2024).
Keunikan tinjauan ini terletak pada pendekatannya yang terintegrasi. Ia melampaui diskusi terpisah untuk mensintesis berbagai aliran literatur melalui lensa baru pengawasan yudisial konstitusional, menyatukan prinsip etika (Maqasid al-Shariah), mekanisme tata kelola (Agency Theory), dan dinamika institusional (Institutional Theory) dalam sebuah kerangka yang kohesif. Penelitian ini memberikan kontribusi: pertama, memberikan peta sistematis yang komprehensif tentang lanskap ilmiah saat ini; kedua, merumuskan Mahkamah Konstitusi sebagai aktor penting namun terabaikan dalam ekosistem tata kelola; dan ketiga, memberikan kajian kritis yang mendalam tentang janji dan potensi masalah dari gangguan teknologi dalam audit syariah.
Keutamaan Audit Syariah sebagai Mekanisme Tata Kelola
Literatur meninggalkan sedikit keraguan bahwa audit syariah telah melampaui fungsi akuntansi teknisnya untuk menjadi landasan tata kelola etis. Hal ini, secara konsisten dibingkai bukan sebagai latihan daftar periksa pasif, tetapi sebagai sistem proaktif yang digerakkan oleh nilai yang dirancang untuk mencegah penyalahgunaan dana publik dengan menanamkan kepatuhan agama dan etika ke dalam DNA pengawasan keuangan (Saad et al., 2021).
Studi empiris, khususnya dari Malaysia dan Indonesia, semakin menunjukkan korelasi yang kuat antara praktik audit syariah yang diterapkan dengan baik dan hasil yang diinginkan seperti berkurangnya kesalahan pelaporan keuangan dan peningkatan kepercayaan investor terhadap lembaga Islam (Kamaruddin & Hanefah, 2022; Sani & Abubakar, 2021). Terpenting adalah lingkup audit bersifat dualistik harus memverifikasi akurasi keuangan sekaligus memastikan semua transaksi dan kontrak yang mendasarinya (‘uqud) tidak terlarang (haram) seperti ketidakpastian yang berlebihan (gharar) dan bunga (riba). Perpaduan ketelitian keuangan dan pengawasan etis inilah yang membedakannya dari audit konvensional dan menetapkan nilai uniknya dalam menjaga kepentingan publik (maslahah).
Mahkamah Konstitusi sebagai Penjaga Kepentingan Umum
Peran Mahkamah Konstitusi tidak lagi dipandang sebagai penengah pasif sengketa hukum, tetapi semakin dikonseptualisasikan sebagai penjaga yang aktif dan kuat dari kepentingan umum. Kekuasaannya untuk membatalkan undang-undang atau tindakan eksekutif yang memungkinkan penyalahgunaan sumber daya publik menciptakan efek jera yang kuat, membentuk perilaku organ negara lainnya (Masud et al., 2023).
Dari perspektif ekonomi Islam, fungsi peradilan ini secara elegan ditafsirkan sebagai inkarnasi modern dari konsep Islam klasik hisbah (akuntabilitas) dan siyasah syar’iyyah (kebijakan berorientasi syariah), di mana negara memikul kewajiban agama untuk mencegah penindasan (zulm)) dan ketidakadilan ekonomi. Namun, literatur dengan bijak memperingatkan bahwa efektivitas Pengadilan tidak diberikan, hal itu bergantung pada independensi operasionalnya, kapasitasnya untuk memahami instrumen keuangan yang kompleks, dan keberanian yurisprudensialnya untuk menerapkan prinsip-prinsip Maqasid al-Syariah dalam putusannya (Ibrahim & Amin, 2021). Hal ini, mengungkapkan hubungan simbiosis: proses audit syariah menghasilkan bukti kepatuhan atau kesalahan, sementara Mahkamah Konstitusi memberikan otoritas tertinggi yang dapat ditegakkan.
Interaksi Konteks Regional dan Evolusi Regulasi
Salah satu wawasan paling penting dari analisis ini adalah bahwa implementasi dan kemanjuran audit syariah sangat dibentuk oleh konteks lokal. Literatur menggambarkan spektrum kematangan peraturan. Kerangka kerja yang canggih dan komprehensif di Malaysia dan GCG sering digambarkan sebagai model tolok ukur, yang ditandai dengan standar yang tepat, sertifikasi auditor profesional, dan struktur pengawasan terintegrasi (Algabry, Alhabshi, Soualhi, & Alaeddin, 2020).
Sebaliknya, penelitian tentang Indonesia dan Bangladesh sering berfokus pada proses pengembangan peraturan yang dinamis, terkadang kontroversial, dan tugas kompleks untuk menyelaraskan hukum nasional yang ada dengan prinsip-prinsip syariah yang muncul (Alam et al., 2023; Darmawan & Wandirah, 2025). Kesenjangan regional ini menggarisbawahi tantangan terpentin, tidak adanya kerangka kerja standar global untuk audit syariah menyebabkan inkonsistensi yang signifikan dalam praktik. Kurangnya harmonisasi ini menghadirkan rintangan yang tangguh bagi pertumbuhan keuangan Islam lintas batas dan menghambat perbandingan lembaga. Literatur dengan benar mengidentifikasi fragmentasi ini sebagai hambatan kritis untuk pematangan global industri dan area utama untuk penelitian berorientasi kebijakan di masa depan (Almutairi & Quttainah, 2020).
Disrupsi Teknologi dan Masa Depan Audit
Tema yang sangat menarik adalah pemeriksaan kritis terhadap potensi teknologi untuk merevolusi audit syariah. Teknologi blockchain disambut dengan optimisme yang cukup besar atas kapasitasnya untuk membuat buku besar yang terdesentralisasi, transparan, dan hampir anti gangguan untuk transaksi keuangan publik. Ini menjanjikan pergeseran paradigma menuju ketertelusuran dana secara real-time, yang berpotensi secara drastis mengurangi peluang korupsi dan penyalahgunaan (Avci & Erzurumlu, 2023).
Potensi kontrak pintar untuk mengotomatiskan kepatuhan yang mengeksekusi transaksi hanya setelah memenuhi kondisi syariah yang telah dikodekan sebelumnya adalah bidang lain yang sangat menarik. Selain itu, AI dan analitik big data dipandang sebagai alat yang ampuh untuk meningkatkan manajemen risiko dengan secara proaktif mengidentifikasi pola kompleks yang mengindikasikan aktivitas penipuan atau perilaku yang tidak patuh. Namun, literatur tidak naif tekno-utopis.
Hal ini, dengan cermat memperingatkan terhadap determinisme teknologi, menyoroti tantangan signifikan seperti kebutuhan akan kotak pasir peraturan, pengembangan aset digital yang sesuai dengan syariah, dan kebutuhan mendesak untuk menjembatani kesenjangan keterampilan digital dalam profesi audit itu sendiri (Bamhdi, 2024; Hancur, 2025). Tema ini mewakili batas penelitian yang paling dinamis dan berwawasan ke depan, secara langsung menghadapi masalah peningkatan transparansi dalam ekonomi global yang semakin kompleks dan digital.
Peran Sentral Audit Syariah dan Sinergi Teoritis
Fokus utama pada audit syariah sebagai landasan untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas sejalan dengan prinsip-prinsip inti ekonomi Islam, yang menekankan keadilan (‘adl), kesejahteraan umum (maslahah), dan perlindungan kekayaan (hifz al-mal) (Khalid et al., 2018). Analisis kami menegaskan bahwa audit syariah bukan hanya tugas prosedural atau kepatuhan, tetapi alat komprehensif yang mengawinkan prinsip-prinsip etika dengan praktik audit modern.
Tinjauan ini, menambah kedalaman pemahaman ini dengan menunjukkan bagaimana kerangka teoritis yang dominan saling melengkapi. Maqasid al-Syariah memberikan kerangka moral menyeluruh, Teori Agensi menjelaskan bagaimana audit mengurangi asimetri informasi dan mengurangi konflik kepentingan antar pemangku kepentingan (Aslam & Haron, 2020). Secara bersamaan, Teori Kelembagaan menekankan tekanan eksternal baik regulasi, normatif, atau budaya yang membentuk cara audit Syariah diadopsi dan diimplementasikan dalam pengaturan yang berbeda (Algabry, Alhabshi, Soualhi, & Alaeddin, 2020; Hancur, 2025).
Menariknya, alih-alih memperlakukan teori-teori ini secara terpisah, sintesis ini menunjukkan bahwa menggunakannya secara bersamaan menawarkan pendekatan analitis yang lebih komprehensif. Efektivitas audit (Teori Agensi) sering bergantung pada kekuatan lembaga pengatur (Teori Kelembagaan) dan keselarasannya dengan tujuan etika yang lebih luas (Maqasid al-Syariah). Interketerkaitan ini mengatasi kesenjangan penting dalam literatur yang ada, di mana kerangka kerja ini sering dipandang terpisah daripada saling memperkuat.
Peran MK yang Kritis tetapi Kurang Dieksplorasi
Salah satu temuan utama dari tinjauan ini adalah munculnya Mahkamah Konstitusi sebagai perlindungan eksternal yang penting untuk transparansi. Peran badan-badan peradilan ini dalam memantau kepatuhan dan melindungi dana publik melalui putusan penting adalah perpanjangan dari studi sebelumnya yang sebagian besar berfokus pada mekanisme audit internal dan badan pengatur (Masud et al., 2023).
Hal ini, menyoroti hubungan penting antara audit dan penegakan peradilan, menunjukkan bahwa kerangka kerja tata kelola syariah yang kuat membutuhkan hubungan yang harmonis antara auditor independen dan peradilan yang kuat dan berpengetahuan syariah Mahkamah Konstitusi, bertindak sebagai mekanisme kelembagaan utama, meminta pertanggungjawaban entitas lain, memastikan bahwa prinsip-prinsip Maqasid al-Syariah secara efektif dioperasionalkan dalam tata kelola publik.
Tinjauan ini menawarkan perspektif unik dengan mengintegrasikan dimensi yudisial ke dalam wacana audit syariah. Tidak seperti penelitian sebelumnya yang umumnya menyebutkan badan pengatur, sintesis ini menyelidiki peran Mahkamah Konstitusi yang berbeda, dengan alasan bahwa wewenangnya untuk membatalkan undang-undang yang memfasilitasi penyalahgunaan dana publik merupakan intervensi yang kuat, namun sebagian besar kurang dieksplorasi, dalam tata kelola keuangan Islam.
Kesimpulan
Tinjauan sistematis ini, menggambarkan bahwa audit syariah dan transparansi adalah bidang yang berkembang, semakin fokus pada pengintegrasian prinsip-prinsip etika, pengawasan yudisial, dan teknologi inovatif. Namun, tantangan tetap ada dalam hal miopia geografis, keterbatasan metodologis, dan keterputusan antara potensi teknologi dan aplikasi praktis.
Dengan mensintesis temuan ini dan menekankan peran penting Mahkamah Konstitusi, tinjauan ini memberikan peta jalan yang komprehensif bagi para sarjana dan praktisi. Hal ini, menyerukan penelitian yang lebih ketat secara empiris, beragam secara geografis, dan integratif untuk memastikan pengelolaan dana publik yang transparan, akuntabel, dan etis sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam.
[OTOMOTIFKU]