Misteri Letusan Super Toba 74.000 Tahun Lalu Bagaimana Manusia Bisa Selamat

Misteri Letusan Super Toba 74.000 Tahun Lalu: Bagaimana Manusia Bisa Selamat?
Penulis mengambil sampel kriptotefra di sebuah situs arkeologi. Sampel dikumpulkan dalam kolom kontinu di sepanjang penampang stratigrafi yang terekspos.(Jayde N. Hirniak/The Conversation)

SEKITAR 74.000 tahun lalu, Bumi diguncang salah satu letusan gunung api terbesar dalam 2,5 juta tahun terakhir: supererupsi Toba. Gunung yang kini berada di Sumatra, Indonesia, memuntahkan sekitar 2.800 km³ abu vulkanik ke atmosfer, menciptakan kaldera raksasa yang panjangnya setara 1.000 lapangan sepak bola. Dampaknya begitu besar hingga langit menghitam, sinar matahari terhalang, dan suhu global diduga turun drastis selama bertahun-tahun.

Di sekitar lokasi letusan, hujan asam meracuni air, lapisan abu tebal menutupi tumbuhan dan hewan, dan populasi manusia yang tinggal dekat Toba kemungkinan musnah total. Namun, yang mengejutkan, Homo sapiens justru berhasil bertahan dan melanjutkan peradaban hingga kini.

Selama bertahun-tahun, ilmuwan berpegang pada hipotesis Katastrofe Toba. Teori ini menyatakan letusan memicu pendinginan global hingga enam tahun dan memangkas populasi manusia menjadi kurang dari 10.000 jiwa. Bukti genetik dari DNA manusia modern menunjukkan adanya genetic bottleneck, penurunan besar populasi yang mengurangi keragaman genetik.

Meski demikian, kini muncul perdebatan. Beberapa data arkeologi justru menunjukkan manusia mampu beradaptasi dan bahkan berkembang setelah bencana ini.

Jejak Arkeologi: Bukti Ketangguhan Manusia

Lapisan abu Toba, atau tephra, ditemukan di banyak situs arkeologi dari Afrika hingga Asia. Di Afrika Selatan, situs Pinnacle Point memperlihatkan aktivitas manusia sebelum, saat, dan sesudah letusan. Bahkan, setelahnya muncul inovasi baru seperti teknologi alat batu.

Temuan serupa hadir di Ethiopia, di mana manusia kuno beradaptasi dengan memanfaatkan sungai musiman dan mengembangkan teknologi panah. Bukti-bukti ini menunjukkan, alih-alih punah, manusia justru mengasah kemampuan bertahan hidup mereka.

Pelajaran untuk Masa Kini

Supererupsi Toba mungkin tidak sepenuhnya menjelaskan mengapa populasi manusia sempat menurun drastis, tetapi jelas memberikan gambaran tentang resiliensi manusia. Dengan kondisi minim, nenek moyang kita mampu menemukan cara baru untuk hidup di tengah perubahan lingkungan ekstrem.

Kini, manusia jauh lebih siap menghadapi ancaman serupa. Lembaga seperti USGS Volcanic Hazards Program dan Global Volcanism Program terus memantau aktivitas gunung api dengan teknologi mutakhir. Namun, yang paling penting, sejarah Toba mengingatkan bahwa kunci bertahan hidup bukan hanya teknologi, tetapi juga kemampuan beradaptasi.

Jika manusia 74.000 tahun lalu bisa melewati salah satu bencana alam terbesar di planet ini, maka hari ini kita pun memiliki peluang besar untuk menghadapi tantangan masa depan. (Space/Z-2)

[OTOMOTIFKU]