Moratorium Cukai 3 Tahun Dinilai Bisa Lindungi Industri Tembakau

Moratorium Cukai 3 Tahun Dinilai Bisa Lindungi Industri Tembakau
Ilustrasi(Antara)

Keresahan pekerja industri hasil tembakau (IHT) kembali memuncak menjelang pengumuman kebijakan tarif cukai hasil tembakau (CHT). Ketidakpastian akibat potensi kenaikan tarif cukai terus menghantui, di tengah tekanan industri yang  berpotensi berujung pada pengurangan tenaga kerja dan meningkatnya peredaran rokok ilegal.

Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman – Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI), Andreas Hua, mengungkapkan pahitnya dampak regulasi terhadap nasib pekerja.

“Paling vital kami mengalami penurunan pekerja sejak 2012 dan dalam lima tahun produksi turun terus tapi cukai naik terus. Karena kenaikan cukai, jumlah produksi rokok menurun tajam, tapi cukainya dinaikkan terus karena target penerimaan cukai juga naik,” ungkapnya dilansir dari keterangan resmi, Kamis (25/9).

Ia menambahkan bahwa keresahan buruh semakin memuncak setiap akhir tahun, menjelang keluarnya aturan baru mengenai tarif cukai. “Setiap kenaikan cukai, kita sebagai pekerja, setiap tahun kita was-was,” kata Andreas.

Menurutnya, kenaikan cukai yang tinggi tidak hanya memberatkan industri dan pekerja, tetapi juga mendorong pergeseran konsumsi ke rokok murah dan rokok ilegal yang tidak berkontribusi pada penerimaan negara.

Dari sisi industri, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur, Adik Dwi Putranto, menyatakan bahwa moratorium kenaikan tarif CHT selama tiga tahun ke depan merupakan solusi konkret untuk merespons keresahan pelaku industri dan jutaan tenaga kerja yang bergantung pada sektor hasil tembakau. 

“Bagi masyarakat, moratorium kenaikan cukai (rokok) akan melindungi tenaga kerja dari ancaman PHK massal akibat penurunan produksi,” ujarnya.

Adik menilai bahwa kebijakan ini tidak hanya berdampak pada perlindungan tenaga kerja, tetapi juga strategis dalam menjaga stabilitas penerimaan negara. Menurutnya, kenaikan tarif yang terlalu agresif justru mendorong konsumen beralih ke rokok ilegal, yang tidak berkontribusi pada penerimaan negara dan merugikan industri legal.

Kadin mencatat bahwa realisasi penerimaan cukai pada tahun 2024 hanya mencapai 95,4% dari target yang ditetapkan pemerintah. Salah satu faktor utama yang menyebabkan tidak tercapainya target tersebut adalah penurunan produksi rokok yang terus berlanjut dalam beberapa tahun terakhir.

Tren penurunan ini terlihat konsisten. Pada tahun 2022, total produksi rokok nasional tercatat sebesar 323,9 miliar batang. Angka ini menurun menjadi 318,1 miliar batang pada tahun 2023, dan kembali turun menjadi 317,4 miliar batang di tahun 2024. Penurunan berlanjut hingga semester pertama tahun 2025, di mana produksi hanya mencapai 142,6 miliar batang, lebih rendah dibandingkan 146,18 miliar batang pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Penurunan produksi ini menunjukkan bahwa kebijakan kenaikan tarif cukai yang terlalu agresif tidak hanya menekan kinerja industri, tetapi juga berdampak langsung pada penerimaan negara. Ketika produksi menurun dan konsumen beralih ke rokok ilegal yang tidak dikenai cukai, potensi penerimaan negara pun ikut tergerus.

“Bagi industri, moratorium kenaikan cukai akan memberikan ruang pemulihan dan transformasi, karena jeda tiga tahun memungkinkan efisiensi rantai pasok, penataan ulang portofolio, dan peningkatan standarisasi kepatuhan,” tutup Adik. (E-3)

[OTOMOTIFKU]