
PADI menjadi sumber makanan pokok bagi lebih dari 3,5 miliar orang di seluruh dunia. Namun, di balik perannya yang penting, budidaya padi menyimpan biaya lingkungan, iklim, dan ekonomi yang sangat tinggi.
Ketergantungan terhadap pupuk nitrogen sintetis, yang menjadi kunci revolusi hijau pada abad ke-20, kini semakin menunjukkan sisi negatifnya. Produksi pupuk tersebut membutuhkan energi besar, menghasilkan emisi karbon signifikan, dan penggunaannya sering kali tidak efisien karena sebagian besar nitrogen terbuang ke lingkungan.
Penelitian terbaru yang dilakukan ilmuwan dari Universitas Massachusetts Amherst (UMass) dan Universitas Jiangnan, Tiongkok, menawarkan solusi menjanjikan. Dalam studi yang dipublikasikan di Proceedings of the National Academy of Sciences, mereka membuktikan penggunaan selenium dalam skala nano dapat mengurangi kebutuhan pupuk, meningkatkan produktivitas, memperbaiki kualitas gizi padi, memperkaya ekosistem mikroba tanah, serta menekan emisi gas rumah kaca.
Masalah efisiensi nitrogen
Efisiensi penggunaan nitrogen (NUE) dalam pertanian padi tergolong rendah. Tanaman padi rata-rata hanya menyerap sekitar 30% nitrogen dari pupuk yang diberikan. Sementara itu, sisanya sekitar 70% tercuci ke sungai, danau, hingga laut.
Hal tersebut memicu eutrofikasi, terbentuknya zona mati, serta berbagai kerusakan ekosistem perairan. Bagi petani, kondisi ini juga berarti kerugian ekonomi besar karena sebagian besar biaya pupuk terbuang percuma.
Lebih jauh, nitrogen di tanah berinteraksi dengan proses kimia dan mikroba, menghasilkan emisi metana, amonia, dan nitrous oxide, gas rumah kaca yang berkontribusi besar terhadap pemanasan global. Di sisi lain, produksi pupuk sintetis itu sendiri merupakan sumber emisi karbon yang signifikan.
“Semua orang tahu kita perlu meningkatkan efisiensi nitrogen. Pertanyaannya, bagaimana caranya?” ungkap Baoshan Xing, Profesor Kimia Lingkungan dan Tanah di UMass, sekaligus salah satu penulis utama penelitian ini.
Jawaban atas pertanyaan itu datang melalui aplikasi selenium berskala nano. Selenium adalah unsur penting bagi kesehatan manusia dan tanaman. Dalam percobaan lapangan berskala nyata, tim peneliti menyemprotkan suspensi nano-selenium langsung ke batang dan daun padi menggunakan drone. Cara ini membuat tanaman menyerap selenium secara lebih efektif dibandingkan aplikasi ke tanah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode ini mampu:
- Mengurangi dampak negatif pupuk nitrogen hingga 41%
- Meningkatkan keuntungan ekonomi sebesar 38,2% per ton padi
- Meningkatkan efisiensi nitrogen dari 30% menjadi 48,3%
- Mengurangi emisi gas rumah kaca (N2O dan amonia) hingga 18,8%–45,6%
Selain itu, fotosintesis tanaman meningkat lebih dari 40%, membuat akar padi lebih besar dan sehat. Akar tersebut kemudian melepaskan senyawa organik yang merangsang pertumbuhan mikroba tanah bermanfaat. Mikroba ini membantu tanaman menyerap lebih banyak nitrogen dan nutrisi lainnya.
Tak hanya ramah lingkungan, hasil panen padi dengan aplikasi nano-selenium juga terbukti lebih bergizi. Kadar protein, asam amino penting, serta selenium dalam butiran padi meningkat. Panen pun lebih tinggi dengan kualitas yang lebih baik.
Keuntungan lain adalah berkurangnya kebutuhan pupuk nitrogen hingga 30%. Mengingat budidaya padi menyumbang 15%-20% penggunaan nitrogen global, inovasi ini berpotensi membawa perubahan besar dalam pertanian dunia.
Menurut Xing dan timnya, teknologi nano-selenium bisa menjadi langkah penting dalam menciptakan revolusi hijau generasi baru. Jika diterapkan secara luas, pendekatan ini mampu menjawab tiga tantangan besar sekaligus, yakni pertumbuhan populasi, perubahan iklim, serta tingginya beban ekonomi dan lingkungan dalam sistem pertanian modern.
“Revolusi Hijau di abad lalu telah meningkatkan produksi pangan secara dramatis. Namun saat ini, kita perlu memutakhirkan pendekatan itu agar relevan dengan tantangan zaman ini,” kata Xing.
Dengan teknologi ini, pertanian padi bukan hanya soal memenuhi kebutuhan pangan miliaran orang, tetapi juga menjaga keseimbangan lingkungan dan keberlanjutan ekonomi global. (Sciencedaily/Z-2)
[OTOMOTIFKU]