
BAYANGKAN jika sampel batuan Mars pertama yang berhasil dibawa pulang ke Bumi bukan mendarat di Houston, melainkan di Beijing. Skenario yang dulu terasa mustahil itu kini semakin mendekati kenyataan.
Misi Mars Sample Return (MSR) yang dipimpin NASA dan semula ditargetkan selesai awal 2030-an kini tersendat. Proyek ambisius senilai lebih dari US$11 miliar itu dianggap terlalu rumit, mahal, dan berlarut-larut. Padahal, sedikitnya 30 tabung sampel yang dikumpulkan rover Perseverance di Kawah Jezero masih tertinggal di permukaan Mars.
Sementara itu, Tiongkok justru melaju dengan Tianwen-3, misi yang lebih sederhana dengan jadwal peluncuran 2028 dan target kembali ke Bumi pada 2031. Jika berhasil, Beijing akan mencatat sejarah lebih cepat dari Amerika Serikat, bahkan berpotensi mendahului beberapa dekade.
Menurut astronom Chris Impey dari University of Arizona, NASA sudah “terjebak” dengan rancangan MSR yang kompleks sehingga tidak mungkin lagi beralih ke pendekatan yang lebih murah dan cepat. “Mereka sudah terlalu jauh di jalur yang ada,” ujarnya.
Nilai Ilmiah dan Gengsi Politik
Pengembalian sampel Mars sangat krusial. Analisis di laboratorium Bumi akan membuka peluang meneliti batuan pada tingkat atom, mendeteksi senyawa organik, bahkan mencari fosil mikroba. Hasilnya bisa menjawab pertanyaan besar: apakah Mars pernah dihuni makhluk hidup atau tidak.
Namun, seperti banyak pencapaian luar angkasa lain, misi ini juga sarat dengan nilai geopolitik. Gerard van Belle dari Lowell Observatory menilai, menjadi yang pertama membawa sampel Mars akan memiliki dampak simbolis besar, mirip “momen Sputnik” yang dulu memicu perlombaan luar angkasa antara AS dan Uni Soviet.
Tantangan Anggaran NASA vs Strategi Jangka Panjang Tiongkok
Selain kendala teknis, NASA juga menghadapi tekanan anggaran. Pemerintah AS mengusulkan pemangkasan besar hingga hampir setengah dari anggaran sains NASA. Jika benar terjadi, proyek MSR bisa tertunda puluhan tahun.
Di sisi lain, Tiongkok telah membuktikan konsistensi lewat keberhasilan misi Chang’e-5 dan Chang’e-6 yang membawa sampel bulan, membangun stasiun luar angkasa, hingga merencanakan pangkalan permanen di bulan pada 2035. Tianwen-3 pun menjadi bagian dari strategi jangka panjang itu, dengan target misi berawak ke Mars pada 2050.
Para ilmuwan menekankan pentingnya keberhasilan kedua misi, karena setiap sampel hanya mewakili sebagian kecil dari planet yang luas. Kombinasi temuan NASA dan Tiongkok dinilai akan memberi gambaran lebih lengkap tentang sejarah dan kemungkinan kehidupan di Mars. (Live Science/Z-2)
[OTOMOTIFKU]