Oligarki Politik dan Ancaman Sistemik bagi Demokrasi

Oligarki Politik dan Ancaman Sistemik bagi Demokrasi
Ilustrasi.(Freepik)

SAAT ini, Indonesia sedang menghadapi tantangan serius yang menggerus substansi demokrasi, berupa menguatnya praktik korupsi yang mengakar dalam sistem politik oligarkis. Fenomena ini bukan lagi sekadar kejahatan personal, tetapi telah menjadi bagian dari arsitektur kekuasaan itu sendiri. Jika tidak segera disikapi secara sistemik dan strategis, korupsi oligarki politik berpotensi menggiring Indonesia ke dalam stagnasi pembangunan, krisis legitimasi, dan kehancuran demokrasi.

Partai politik yang seharusnya menjadi pilar demokrasi menjelma menjadi instrumen oligarki. Penentuan pejabat publik, baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, sebagian besar dikendalikan oleh elite partai pemberi restu dan jaringan bisnis yang membiayainya. Tingginya biaya politik mendorong para calon pejabat untuk tunduk ke para penyokong modal, dan ketika kekuasaan diraih, yang pertama ditagih bukanlah janji kepada rakyat, melainkan ‘balas budi’ kepada sponsor.

Koalisi penguasa dan pengusaha menciptakan pusaran patronase yang sulit diputus. Kekuasaan politik menjadi pintu masuk untuk mengendalikan sumber daya ekonomi, proyek negara, bahkan sistem hukum. Penegakan hukum menjadi selektif, transaksional, dan seringkali digunakan untuk melindungi kekuatan politik tertentu sekaligus menekan lawan.

Dalam kondisi ini, korupsi tidak lagi bersifat insidental, melainkan sistemik sebagai pembusukan internal yang parah. Bahkan, lembaga pengawasan pun bisa dilumpuhkan, dan aktivis anti korupsi dikriminalisasi.  

Menguatnya oligarki politik di Indonesia tidak terlepas dari sejumlah faktor kunci sebagai akar permasalahan. Pertama dan yang paling krusial, adalah adanya amendemen UUD 1945, yang alih-alih  untuk meningkatkan kualitas demokrasi berbasiskan prinsip one man one vote, namun sayangnya tanpa disertai dengan penguatan institusi checks and balances sehingga memperkuat dominasi partai politik, membatasi peran DPD, membuat semunya sistem presidensial, dan mempersempit ruang partisipasi rakyat. 

Kedua, mahalnya sistem pemilu yang mendorong maraknnya politik uang,  menciptakan siklus ketergantungan yang berujung pada timbulnya korupsi kebijakan. 

Ketiga, lemahnya pendidikan politik rakyat yang membuat masyarakat mudah dimanipulasi oleh narasi populis dan citra palsu. Partisipasi publik lebih  bersifat seremonial, bukan substantif. 

Keempat, lemahnya dan inkonsistennya penegakan hukum yang memberi ruang bagi impunitas dan pelanggengan kekuasaan.

Dampak  oligarki politik sangat luas dan serius. Yakni, kehilangan legitimasi demokrasi, karena rakyat merasa tidak memiliki kendali atas jalannya pemerintahan, pemborosan fiskal akibat proyek-proyek yang tidak efisien dan bermuatan rente, terganggunya iklim usaha karena persaingan yang tidak sehat dan adanya ketidakpastian hukum, stagnasinya pembangunan, terutama di sektor-sektor strategis yang dikuasai oleh kartel atau kelompok kepentingan tertentu. Dampak lebih jauhnya adalah teriptanya apatisme politik, lemahnya semangat kebangsaan, dan bisa berujung pada terjadinya instabilitas sosial. 

Untuk mengatasi permasalahan di atas, diperlukan terobosan langkah-langkah reformasi yang tegas dan berani. Pertama, diagendakannya reformasi UU Partai Politik dan Pemilu, dengan menekan biaya politik, mewajibkan audit dana partai secara independen, serta memperkuat posisi KPU dan Bawaslu sebagai Lembaga non-partisan. 

Kedua, dilakukannya revisi terbatas terhadap UUD 1945, untuk mengembalikan sistem check and balances sejati dan memperluas ruang partisipasi rakyat, termasuk penguatan fungsi DPD. 

Ketiga, dilakukannya langkah diskresi oleh Presiden, dalam situasi krisis sistemik, untuk membentuk Tim Transisi Pemberantasan Korupsi lintas lembaga, yang melibatkan BPKP, Aparat Penegak Hukum, Lemhannas, dan elemen masyarakat sipil. 

Keempat, diselenggarakannya pendidikan politik berbasis rakyat, melalui penggunaan platform digital dan kurikulum pendidikan kewarganegaraan yang mengedepankan etika politik dan tanggung jawab konstitusional. 

Dan, kelima, penguatan sistem transparansi dan keterbukaan informasi dalam rangka peningkatan pengawasan  publik atas  proses kebijakan dari hulu ke hilir.. 

Di tengah melemahnya institusi pengawasan dan meningkatnya keresahan masyarakat, Presiden memegang peran kunci yang menjadi pareto (titik pengguncang) perubahan menuju masa depan yang lebih baik. yakni menjadi pengarah reformasi atau justru membiarkan status quo terus menggerogoti republik. 

Keberanian untuk memutus mata rantai oligarki politik bukan hanya tindakan politik, tetapi tanggung jawab sejarah. Generasi mendatang akan mengingat apakah kita–sebagai bangsa–memilih jalan reformasi yang menyelamatkan, atau menyerah pada kejumudan yang merusak.

[OTOMOTIFKU]